“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Jumat, 22 Mei 2020

SIKAP IMAN KRISTEN TERHADAP PLURALISME AGAMA


SIKAP IMAN KRISTEN TERHADAP PLURALISME AGAMA
 Oleh: Niken DP Nababan

Pluralisme agama muncul sebagai reaksi terhadap eksklusivisme dan fundamentalisme agama. Pada awalnya merupakan suatu keterbukaan terhadap pluralitas (kemajemukan) namun kemudian berkembang menjadi inklusivisme yang ingin menggabungkan semua agama menjadi satu agama universalis. Pluralisme kelihatan seakan-akan merupakan jalan kompromi yang terbaik untuk menyatukan paham agama-agama yang acapkali menimbulkan pertikaian dan perang, namun pluralisme menjadi kurang menghargai keunikan agama-agama. Salah satu tokoh yang banyak berkontribusi menerbitkan hipotesis pluralisme adalah John Hick, seorang teolog Inggris dan filsuf analitik. Menurut John Hick semua agama adalah merupakan respon terhadap suatu keberadaan tertinggi yang bersifat transenden yang disebut The Real. Karena The Real melampaui semua kategori manusiawi maka semua agama tidak mungkin sempurna atau sepenuhnya benar. Keselamatan manusia digambarkan sebagai proses perubahan dari berpusat pada diri sendiri (self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Real-centered). Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau tidak dilihat pada kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan kekudusan. Pluralisme agama terlihat menjadi paham yang simpatik karena ingin membangun teologi yang terdengar amat toleran, yaitu ”semua agama benar” dan “semua agama menyelamatkan”, namun pada dasarnya bila dipandang dari iman Kristen pluralisme telah menyangkali Alkitab.
   Umat Kristen adalah gereja Tuhan yang harus berpikir terbuka dan menerima kenyataan bahwa ia hidup di bumi tidak sendirian tetapi berada di antara agama-agama lain. Sebagai umat Kristen kita harus bersikap inklusif terhadap masyarakat majemuk, tetapi di sisi lain harus bersikap eksklusif dalam pengakuan iman percaya kepada Allah Tritunggal. Sejarah agama Kristen yang dikandung dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru cukup meyakinkan umat Kristen untuk menerima keunikan Kristus. Kita dapat menerima kehadiran agama-agama lain dengan sikap terbuka bahwa semua penganut agama itu adalah umat manusia yang dikasihi Tuhan, namun penerimaan ini tidak harus diikuti dengan sikap yang menganggap bahwa semua jalan menuju surga itu sama.
Ketika Rasul Paulus berbicara di Athena dalam Kisah 17:16-34 ia menunjukkan sikap yang inklusif namun beriman eksklusif. Ia menunjukkan sikap inklusif dengan bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan para filsuf Epikuri dan Stoa. Ia mempelajari kitab suci dan tulisan para pujangga mereka. Ia tidak menolak kerinduan orang-orang dalam menyembah Allah Yang Tidak Dikenal tetapi Paulus sedih hatinya melihat banyaknya berhala dan kuil-kuil di kota itu. Karena itulah iman eksklusifnya menghasilkan suatu kesaksian bahwa Yang Tidak Dikenal itu diperjelasnya dengan memperkenalkan keunikan Allah yang menjadikan langit dan bumi, Tuhan atas langit dan bumi yang memberikan hidup dan nafas kepada semua orang, dan Injil tentang Yesus yang telah bangkit. Ia tidak memaksa orang lain mengikut Kristus (proselitisme) melainkan ia menceritakan imannya dan biarlah orang lain yang menentukan iman mereka sendiri. Hasilnya ada yang percaya dengan kesungguhan hati tanpa dipaksa atau terpaksa dan ada juga yang tidak percaya.
Kita dapat belajar dari sikap Paulus untuk memberitakan Injil di muka bumi dengan cara yang penuh damai. Sikap eksklusivisme merupakan sikap agama-agama yang menutup diri dan mengklaim agama yang dianutnya adalah paling benar seraya mengkafirkan atau menistakan agama lain. Apabila gereja memiliki sikap ini, kita perlu ingat akan perkataan Tuhan Yesus: “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! Harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” (Matius 5:22). Berita Injil tidak dapat disampaikan dengan cara memaksa apalagi menistakan sesama yang tidak seiman. Berita Injil juga tidak dapat disampaikan dengan bentuk spiritualitas yang merasa diri superior dan memandang inferior terhadap orang lain yang tidak seiman. Tuhan Yesus tidak pernah mendekati orang-orang yang tidak sepaham dengan pola pendekatan “superior-inferior”, bahkan kepada para musuh yang jelas-jelas membenciNya. Justru sebaliknya prinsip yang paling mendasar dari seluruh hidup dan pelayanan Tuhan Yesus adalah sikap “pengosongan diri” dan bersedia “mengambil rupa seorang hamba” dengan “merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati” (Filipi 2:6-8).
Di Indonesia kerap terjadi konflik antar suku, adat dan agama. Untuk menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah berupaya mencari jalan dalam bentuk dialog antar pimpinan dan umat beragama. Dialog dan diskusi agama biasanya dilakukan di antara para ahli agama untuk saling tukar-menukar informasi tentang kepercayaan dan amalan agama masing-masing, sehingga satu sama lain dapat tumbuh pengertian tentang persamaan dan perbedaan ajaran agama satu dengan lainnya. Diharapkan dengan pengertian ini akan terjadi saling menghargai dan menghormati.
Kita perlu memperluas wawasan untuk mengetahui pemahaman agama lain. Dialog keagamaan pun harus dapat kita terima dengan sikap tebuka. Kita dapat menggunakan dialog ini sebagai salah sayu kesempatan untuk memberitakan Injil. Dengan keterbukaan kita terhadap setiap orang dan semua agama, akan menjadi peluang yang baik bagi kita untuk menjadi saksi Kristus melalui perkataan dan perbuatan kita yang sesuai dengan keteladanan Kristus. Maka kita perlu terus-menerus membekali diri dan meneguhkan iman kita.
Bagi umat Kristen setidaknya ada tiga hal yang sungguh-sungguh harus kita imani, yaitu:

1.    Percaya Allah Tritunggal (Allah Bapa, Anak, Roh Kudus).
Alkitab memang tidak memuat kata Tritunggal, namun ajaran mengenai Allah Tritunggal tersirat sebagai senuah kebenaran Alkitabiahyang tampak mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu. Realita ini dapat dibuktikan dengan cara melalui pernyataan-pernyataan dan kiasan-kiasan umum dan dengan menunjukkan adanya tiga pribadi keAllahan yang diakui sebagai Allah.

2.    Percaya Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat.
Pernyataan Allah dalam Yohanes 3:16 merupakan suatu anugerah bagi orang percaya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Hal ini pun sudah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama, Yesaya 43:11, “Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku.”

3.    Percaya Alkitab adalah Firman Allah.
Alkitab adalah Firman Allah, ditulis oleh para penulis yang diilhami oleh Roh Kudus. Alkitab mewujudkan tujuh keajaiban, yaitu:
-          Keajaiban formasinya.
Alkitab berkembang dari lima kitab pertama yang ditulis oleh Musa sampai menjadi 39 kitab Perjanjian Lama (PL) dan 27 kitab Perjanjian Baru (PB), merupakan sejarah perjalanan penuh misteri Allah yang tidak terjadi pada kitab yang lain.
-          Keajaiban kesatuannya.
Alkitab terdiri dari 66 kitab dan surat, ditulis oleh 44 penulis yang berbeda dalam kurun waktu 16 abad. Penulis-penulisnya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda dan tidak saling mengenal, di antaranya beberapa raja Israel, pejuang, gembala, penyair, tabib, dan nelayan. Meski demikian alkitab adalah buku yang paling menyatu di dunia, berisi suatu pewahyuan yang secara progresif menyampaikan pesan-pesan dari Allah tanpa sedikit pun saling berlawanan satu sama lain.
-          Keajaiban usianya.
Alkitab dapat dipastikan merupakan kitab yang paling tua di dunia, diawali dengan kelima kitab pertama yang ditulis oleh Musa sekitar 35 abad yang lalu.
-          Keajaiban penjualannya.
Alkitab buku yang paling laris di antara buku lainnya. Beberapa ratus juta terjual setiap tahun di seluruh dunia.
-          Keajaiban popularitasnya.
Setiap tahun Alkitab dibaca oleh lebih dari 1 miliar orang dewasa dan anak-anak dari segala bangsa dan klasifikasi manusia di planet bumi ini.
-          Keajaiban bahasanya.
Alkitab ditulis dalam tiga Bahasa: Ibrani, Aram, dan Yunani. Kebanyakan dari penulis Alkitab tidak pernah mengecap pendidikan tinggi secara formal namun Alkitab telah diakui sebagai hasil karya literatur yang terbesar di dunia.
-          Keajaiban pemeliharaannya.
Sepanjang sejarah peradaban manusia tidak ada buku lain yang demikian ditentang, dibenci, dianiaya, dan juga dibakar. Namun Alkitab selalu berhasil mempertahankan eksistensinya dimana Alkitab berkemenangan atas semua orang yang berusaha membungkam berita keselamatan melalui darah Yesus Kristus.

            Gereja tidak perlu cemas untuk bersikap inklusif terhadap realita dan tantangan pluralisme agama. Dengan sikap inklusif tersebut kita dapat membuka dialog dengan agama lain secara damai. Bahkan kini dialog menjadi kondisi yang tidak terelakkan di era komunikasi digital yang telah merasuk dalam kehidupan sehari-hari semua orang dari berbagai tingkat usia, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Kita harus berani selangkah lebih maju untuk “membandingkan” setiap ajaran iman dari tiap-tiap agama dengan rasa hormat yang tinggi, namun kita tidak boleh “mempertandingkan” agama-agama selayaknya atlet dalam arena pertandingan.
            Dengan mengetahui perbandingan ajaran-ajaran agama secara obyektif dan jernih, kita dapat memahami ajaran agama lain sehingga kita dapat bersikap bijaksana kepada penganutnya. Jikalau kita memiliki iman yang eksklusif yaitu percaya bahwa Yesus satu-satunya jalan keselamatan, maka kita harus membuktikan secara faktual dalam kehidupan nyata, bukan memperdebatkannya. Tuhan Yesus berkata dalam Matius 12:33, “Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” Jika gereja merupakan pohon yang baik maka harus terbukti dengan tindakan yang baik dan berkenan kepada Allah.
            Dalam Yohanes 15:2 Tuhan Yesus berkata, “Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah”. Dari buahnya yang nyata kita dapat mengoreksi diri kita, di samping kita juga dapat melihat bagaimana buah dari agama-agama yang ada. Karena itu kita harus terus-menerus meneguhkan iman kita agar dapat bersikap benar dalam menghadapi tantangan pluralisme dan memohon kekuatan dari Tuhan agar kita dimampukan menjadi saksi Kristus di tengah-tengah kemajemukan bangsa ini.


REFERENSI

Alkitab
Abel, Harnold, Pemahaman Tentang Allah dan Keselamatan, Sebuah Studi Perbandingan Pokok Ajaran Iman Kristen dan Agama Lain, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, 1997.
Aritonang, Jan S., Pdt., Dr., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 1, 1995.
Bedjo, SE., M.Div., Pluralisme Agama dalam Perspektif Kristen, Makalah Seminar bagi Guru-guru Pendidikan Agama Kristen, Surabaya, 24 Februari 2007.
Linneman, Eta, Prof., Dr., Theologi Kontemporer, Ilmu atau Praduga?, Persekutuan Pelayanan Injil Indonesia (PPII), Batu, Jawa Timur, 2006.
Lumintang, Stevri L., Pdt., Dr., Theologi Abu-abu, Pluralisme Agama, Gandum Mas, Bandung, Cet. 1, 2004.
Newbigin, Lesslie, Injil dalam Masyarakat Majemuk, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 5, 2006.
Octavianus, P., Dr., Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang, Cet. 1, 1985.
Smith, Huston, Agama-agama Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Ed. 5, 1999.
Song, Choan Seng, Allah yang Turut Menderita, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
Wijaya, Dede, Pesona Alkitab, PBMR ANDI, Yogyakarta, 2007.

Sabtu, 16 Mei 2020

MENGHADAPI BADAI KEHIDUPAN


MENGHADAPI BADAI KEHIDUPAN
Oleh: Niken Nababan

Saat ini dunia sedang menghadapi suatu badai kehidupan yang sangat dahsyat, yaitu wabah pandemi virus Corona. Pandemi ini berdampak besar bagi kehidupan semua orang, bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Orang yang miskin menjadi semakin miskin, pengusaha kecil banyak yang menutup usahanya, bahkan pengusaha besarpun mulai terdampak. Ribuan karyawan bukan hanya dirumahkan tapi bahkan di PHK. Di sektor pemerintahan dan BUMN mungkin dampaknya tidak terlalu besar, namun di sektor swasta dampaknya sudah sangat luar biasa. Kondisi perekononomian masyarakat saat ini sudah sangat memprihatinkan. Sebagai contoh di kota Yogyakarta yang mengandalkan sektor pariwisata bagi sebagian besar warganya pun sudah banyak yang terpuruk. Baru dua minggu Covid merebak di kota ini, tercatat 98 hotel ditutup, termasuk hotel berbintang empat sekalipun.
Bagaimana kita harus menghadapi kondisi ini sedangkan untuk keluar rumahpun sangat dibatasi. Mungkin di antara kita sudah berusaha dengan berbagai cara untuk memperoleh penghasilan namun hanya sedikit yang dapat dihasilkan untuk sekedar bertahan hidup atau bahkan belum membuahkan hasil apapun. Mungkin sejuta pertanyaan memenuhi benak kita. Takutkah kita akan hari esok? Benarkah Tuhan memelihara hidup kita sepenuhnya? Bila Tuhan memelihara kita dengan kasih setia-Nya lalu mengapa penderitaan ini tak kunjung berakhir? Iman kita kepada Tuhan Sang Pencipta dan Pemilik hidup ini sedang diuji.
        Peristiwa ini mengingatkan kita pada suatu kisah dalam Injil Markus 4:35-41. Badai yang dahsyat menerjang danau Galilea di saat Yesus bersama murid-murid-Nya sedang berlayar dengan sebuah perahu. Kejadian yang menimpa murid-murid di danau Galilea, yang sebagian besar di antara mereka adalah nelayan, merupakan peristiwa yang biasa terjadi. Mereka pasti sudah mengetahui bahwa badai bisa datang kapan saja. Namun kita mendapatkan fakta bahwa sebagai nelayan tangguh seperti merekapun tidak siap menghadapi badai yang sangat dahsyat. Mereka sangat ketakutan melihat dahsyatnya amukan badai itu. Sangat menarik jika kita perhatikan bagaimana Yesus tetap tidur dalam amukan badai yang dahsyat. Secara logika perahu tersebut pasti bergoncang dengan hebat. Bagaimana mungkin seseorang bisa tetap tidur dalam kondisi demikian. Apakah Yesus sengaja membiarkan murid-murid-Nya menghadapi badai itu? Lalu apa yang dilakukan murid-murid Yesus? Dalam perasaan takut yang sangat besar murid-murid membangunkan Yesus dengan sebuah pernyataan protes karena Yesus seolah-olah tidak peduli dengan mereka.
            Saat ini kita ditantang hal yang sama. Tidak seorangpun tahu kapan wabah ini akan berakhir dan apa yang akan terjadi pada hari-hari mendatang. Jika kita hanya melihat sisi negatifnya saja maka kita akan beranggapan bahwa Tuhan berdiam diri dalam penderitaan kita. Namun jika melihat sisi positifnya maka kita memahami bahwa Tuhan selalu merencanakan hal yang terbaik bagi anak-anak-Nya. Melalui badai hidup ini kita dituntut melakukan transformasi hidup dalam segala hal. Perubahan gaya hidup, pola pikir, kreatifitas, kepekaan, ketekunan bekerja, dan banyak hal lainnya. Siap atau tidak kita harus merubah hidup kita. Perubahan ini bukan hanya meliputi hal jasmani tetapi juga hal rohani. Sekalipun kita dituntut untuk berpikir dan bekerja lebih keras namun usaha kita itu akan sia-sia jika kita tidak memperteguh iman kita kepada Yesus.
Sebagaimana teguran Yesus kepada murid-murid-Nya dalam peristiwa badai di danau Galilea, demikian juga kiranya menjadi teguran bagi kita di masa kini. Apakah sejauh ini kita masih sepenuhnya mengandalkan iman kepada Yesus, ataukah kita sudah mulai mengandalkan pikiran dan kekuatan kita sendiri? Marilah kita tetap memusatkan hidup kita kepada Yesus dan beriman bahwa Yesus telah menyediakan hal-hal yang baik bagi kita meskipun harus melalui penderitaan badai hidup yang sangat dahsyat. Iman itu akan menghasilkan pengharapan bahwa waktu Tuhan adalah yang terbaik dan itulah saatnya badai ini berhenti.

KEMATIAN BERHARGA DI MATA TUHAN


“Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya.”
(Mazmur 116:15)

Oleh Niken DP Nababan

Ayat dari Mazmur ini membuat kita berpikir tentang cara pandang Tuhan terhadap kematian seseorang. Sesuatu yang “berharga” pastilah bernilai tinggi. Ada makna yang besar dalam ayat ini. Ada sesuatu dalam kematian orang yang dikasihi Tuhan yang melampaui rasa dukacita kita atas kepergiannya.
Satu terjemahan Alkitab memberi penjelasan, “berharga” adalah hal yang penting dan bukan hal sepele. Versi lain mengatakan, “Orang-orang yang dikasihi Tuhan begitu berharga bagi-Nya dan Dia tidak membiarkan mereka mati begitu saja.” Artinya adalah Allah tidak menganggap enteng kematian seseorang. Yang ajaib dari anugerah dan kuasa-Nya bagi kita sebagai orang percaya adalah: hilangnya nyawa di bumi juga akan membawa keuntungan besar. Filipi 1:21 “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Inilah hal yang diimani Paulus dan yang menjadi iman kita semua.
Bagaimana kita memahami bahwa kematian adalah hal yang menguntungkan, supaya kita dapat memahami bahwa Allah memandang sebuah kematian itu berharga? Secara manusiawi kita yang ditinggalkan mengalami dukacita. Namun bagi yang meninggalkan adalah sukacita, dan kita pun seharusnya ikut bersukacita. Mengapa?
1. Karena dengan kematian maka dosa dan penderitaannya selama di dunia sudah ditinggalkan semua.
2.  Karena dengan kematian maka kini dia sudah bersama Bapa di surga.

Hal yang luar biasa adalah sukacita ini sudah ditunjukkan dalam tradisi budaya Batak. Terlebih orangtua kita saurmatua yang pada saat pemberangkatan tidak ada lagi tangisan dukacita melainkan pesta sukacita.
Maka  kita hendaknya mengucap syukur atas anugerah Tuhan yang ajaib itu, yang memberi kekuatan bagi kita untuk dapat memegang teguh iman kita, bahwa sungguh berharga kematian semua orang yang dikasihi-Nya.
Saat ini kita hanya mengetahui gambarannya. Suatu hari nanti, bila saatnya tiba kita akan memahami semuanya dalam terang-Nya yang sempurna.
Tuhan memberkati.
Amin.


Selasa, 12 Mei 2020

BAHAN PA EFESUS 2:1-10


BAHAN PEMAHAMAN ALKITAB
NATS: EFESUS 2:1-10
(Niken DP Nababan)


Ketika seseorang menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya, berarti ia tunduk dan berbakti kepada Yesus sebagai Tuhan dan Allahnya. Seringkali orang Kristen tidak menyadari hal tersebut. Pada PA ini kita akan belajar tentang hidup baru dan bagaimana seharusnya kita bersikap setelah menerima hidup yang baru di dalam Kristus.

PERTANYAAN:

1.    Rasul Paulus menggambarkan perbedaan “hidup lama” (ayat 1-3) dan “hidup baru” (ayat 4-7). Temukan apa saja perbedaan tersebut!
2.    Apa alasan Allah memberikan hidup baru kepada manusia? Bagaimana Dia melakukannya? (ayat 4-6)
3.    Dapatkah seseorang memegahkan diri karena telah mengalami hidup baru dan menerima keselamatan? Mengapa? (ayat 8-9)
4.    Hidup baru berarti menyerahkan segala kehidupan kita kepada Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus. Bandingkan dengan 1 Korintus 10:31 dan 2 Korintus 5:15. Bagaimana dengan kehidupan Anda sekarang; apakah Anda sudah memiliki hidup baru dalam Kristus? Ceritakanlah!
5.    Apa ciri-ciri hidup lama/kebiasaan buruk yang masih timbul dalam diri Anda? Ceritakanlah!
6.    Kita diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik … (ayat 10). Sebagai ucapan syukur akan anugrah Allah tersebut, apa yang dapat Anda lakukan untuk menggantikan hidup lama/kebiasaan buruk yang telah Anda ceritakan pada poin 5 di atas?
7.    Ambillah komitmen dan doakan dalam kelompok!


Rabu, 06 Mei 2020

KEBUTUHAN AKAN DASAR-DASAR PENGAJARAN KRISTEN



KEBUTUHAN AKAN DASAR-DASAR PENGAJARAN KRISTEN

Orang Kristen dituntut untuk menguasai sebanyak mungkin bidang pengetahuan secara intensif dan ekstensif, namun yang terutama harus selalu diingat adalah ayat Alkitab: “Takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat”. Jika Tuhan menjadi dasar dan sumber pendidikan, seharusnya orang Kristen akan bergairah, penuh semangat dan bersukacita dalam menjalani pendidikan. Namun faktanya pendidikan sering dirasakan sebagai sesuatu yang membosankan dan melelahkan.
Sebagai contoh pengajaran di kelas Sekolah Minggu. Apakah anak-anak dapat mengalami petualangan yang hebat bersama Tuhan selama pengajaran berlangsung di kelas? Seringkali kita mendapati bahwa anak-anak justru merasa gembira karena lepas dari sesi-sesi yang menjemukan dan membosankan. Jika demikian halnya maka pengajaran tersebut berada di bawah standar pengajaran Kristen. Keadaan semacam itu bisa terjadi karena hal-hal yang diuraikan dalam pembahasan berikut ini.

      1. Rutinitas Sebagai Ganti Hidup

Sesi-sesi dalam kelas tidak lagi menggetarkan hidup karena berlangsung sebagai sebuah rutinitas. Guru telah mempersiapkan diri dengan baik, lalu mengajarkan teori-teori Alkitab namun tidak menyentuh jiwa para murid karena tidak membumi. Para pengajar memiliki keterbebanan yang besar, memiliki kabar baik kemuliaan Allah namun tidak dapat menyampaikan kabar baik itu kepada orang lain.
Rutinitas selalu memiliki pengaruh yang mematikan termasuk rutinitas dalam mempelajari Alkitab. Kita sibuk menggunakan berbagai cara menurut akal kita tapi kita melupakan cara Allah padahal cara-cara Allah lebih mulia dan lebih baik dari pada cara-cara kita. Hal itulah yang membuat kita gagal dan pengajaran menjadi membosankan dan melelahkan.

      2. Pemakaian Sistem-sistem Pendidikan Buatan Manusia

Alasan mengapa pengajaran Injil kita kurang bersemangat, kurang berkuasa dan kurang nyata adalah karena kita telah merasa puas hanya memakai sistem-sistem pendidikan buatan manusia, dan bukannya mencari sistem yang berasal dari Allah. Falsafah dari pemikiran manusia tidak akan pernah memuaskan karena hanya akan sampai sebatas menjawab pertanyaan dan berdiskusi, namun tidak akan bisa membuat perubahan kehidupan secara signifikan. Hanya falsafah dari Firman Allah yang mampu memasuki setiap bidang kehidupan dan membuat perubahan.

     3. Pengajaran yang Hanya Merupakan Khotbah Jelek dari Orang Awam

Apakah beda antara khotbah dan pengajaran? Pengajaran bertujuan untuk mengetahui dan mengerti (mengajar orang), sedangkan berkhotbah adalah menyampaikan atau memberitakan kabar baik (memberitakan firman). Ada perbedaan penekanan pada dua hal tersebut.


      4. Kurangnya Kepemimpinan Kaum Injili yang Dewasa

Gereja seharusnya menghasilkan pemimpin-pemimpin yang kritis pada setiap bidang kehidupan. Bila potensi dari semua orang Kristen dikembangkan maka Gereja akan mampu menghasilkan pemimpin dewasa yang siap memberikan kontribusi dalam setiap bagian yang dibutuhkan. Pemimpin dewasa yang dimaksud adalah pemimpin dimana pengetahuan tentang Alkitab dan kedalaman rohani berjalan bersama-sama.

IMPLIKASI

Untuk memperbaiki Pendidikan Kristen kita perlu memikirkan ulang makna pengajaran. Kita terlalu sering menganggap pengajaran hanya sebagai pemberitahuan. Banyak pengajaran Alkitab masa kini kurang memiliki adanya saling hubungan antara kebutuhan anak didik dengan Firman Allah yang hidup dan berkuasa.

KELUARGA

Para orangtua diperintahkan untuk mengajarkan Alkitab pada anak-anak. Namun dalam praktiknya mereka memberlakukan rutinitas. Para orangtua kuatir membayangkan anaknya kelaparan namun mereka tidak kuatir bila anaknya lapar akan kebenaran Alkitab. Firman Tuhan telah terpisah dari kehidupan. Rancanglah sebuah rencana mengenai hubungan dengan kehidupan pengajaran Alkitab bagi kehidupan keluarga Anda.

GEREJA

Selidiki kelas Sekolah Minggu Anda dan catatlah adakah hubungan atau kurang ada saling hubungan antara isi Alkitab dengan kebutuhan-kebutuhan anak-anak didik. Buatlah catatan mengenai perhatian, minat dan persoalan-persoalan mereka yang dapat dikaitkan secara lebih baik dengan Firman Allah.

SEKOLAH

Gambarkan sebuah contoh bagaimana kita dapat mengaitkan disiplin akademik yang sedang Anda pelajari dengan kebutuhan-kebutuhan Anda dan atau kebutuhan-kebutuhan dunia ini.


ARTIKEL INI ADALAH RESUME DARI BUKU:


Judul: Education that is Christian, Proses Belajar Mengajar Kristiani dan Kurikulum yang Alkitabiah
Bab: I
Penulis: Lois E. Lebar
Penerbit: Penerbit Gandum Mas, Jakarta, 2006