“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Selasa, 26 Januari 2016

BERBAGAI PANDANGAN TERHADAP DALIHAN NA TOLU

Berbagai Pandangan Terhadap Dalihan Na Tolu
Niken Nababan

Pandangan mengenai adat budaya Batak, khususnya Dalihan Na Tolu, telah banyak muncul melalui karya-karya tulis di berbagai media, buku-buku, bahkan berbagai seminar. Dari pengamatan penulis baik yang diperoleh dari pengamatan langsung terhadap orang-orang Batak sejak bergabung dalam komunitas kumpulan (punguan) marga pada tahun 1994 di Yogyakarta; pengamatan dari berbagai referensi yang telah dibaca; serta hasil wawancara dengan beberapa orang Batak dari berbagai Gereja di Yogyakarta; maka setidaknya secara umum orang Batak dibagi menjadi tiga kelompok besar. Pertama, kelompok orang Batak yang menerima dan melakukan adat tanpa penyaringan. Kedua, kelompok yang menolak adat karena menganggap adat adalah sesat. Ketiga, kelompok yang selektif dalam menerima dan  melaksanakan adat.

Pandangan yang Mendukung

Pada umumnya orang Batak tetap hidup di dalam adat meskipun sudah lama meninggalkan kampung halaman. Bahkan di daerah asal orang Batak di        Tapanuli, dapat dilihat bahwa hampir setiap hari ada acara adat. Untuk mendukung tetap terpeliharanya adat budaya Batak, pada tahun 1991 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tapanuli Utara memutuskan pembentukan Lembaga Adat Dalihan Na Tolu sebagai wadah pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah. Kelompok orang Batak yang mendukung adat, pada umumnya mengagungkan adat Batak secara membabi buta, dan menjadikannya seolah-olah sesuatu yang tanpa salah, yang setara dengan Alkitab. Bahkan ada yang memperlakukan adat Batak berada di atas Alkitab.[i]
Kelompok yang menerapkan budaya Batak secara ekstrim biasanya terjadi pada orang Batak yang masih menetap di kampung. Sementara orang Batak yang sudah merantau, pada umumnya tidak lagi menerapkan adat secara ekstrim meskipun sebagian besar cenderung hanya mengikuti apa yang sudah diatur oleh para pendahulu tanpa mengkaji apakah adat itu masih relevan untuk dilaksanakan oleh orang Batak Kristen masa kini. Sesungguhnya budaya Batak sudah mengalami pergeseran khususnya dalam pelaksanaan upacara adat. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi, sehingga upacara adat dilaksanakan dengan prinsip rasional dan efisien, namun tetap efektif dan proporsional. Artinya, semua aspek dalam Dalihan Na Tolu harus tetap ada.
Penulis G. M. P. Simangunsong mengartikan adat Batak itu sebagai norma yang mengatur kehidupan masyarakat Batak yang sudah ada sejak nenek moyang suku bangsa Batak.[ii]  Adat adalah patokan yang menentukan sikap, perilaku,  tata tertib,  pola  pikir  dan  etika  hidup.  Raja Patik Tampubolon   menyatakan bahwa ajaran adat Dalihan Na Tolu terdiri dari patik dan uhum. Patik adalah pagar pembatas yang baik untuk mencegah seseorang berperilaku salah dengan tiga kaidah moral yang diperuntukkan bagi anak-anak, muda-mudi dan orang dewasa. Uhum adalah aturan penindakan atau penerapan hukum untuk menegakkan keadilan  dan kebenaran.
Ketaatan melaksanakan ajaran adat Dalihan Na Tolu akan memberikan pengharapan bagi warga Batak untuk mampu mencapai derajat hatuaon, yaitu konsep kebahagiaan dalam wujud kehormatan/hasangapon dalam diri           seseorang. Tatanan Dalihan Na Tolu dilihat sebagai suatu nilai luhur di dalam masyarakat Batak. Hal itu terbukti dari kenyataan hidup sehari-hari komunitas Batak, yang telah mampu mengatur kehidupannya dengan mempraktekkan    nilai-nilai luhur di dalam Dalihan Na Tolu tersebut. Karena itu, sangatlah     berlebihan jika menilai Dalihan Na Tolu itu sebagai sepenuhnya merupakan penjelmaan dari dewa-dewa dan melihatnya sebagai hasil karya Lucifer.[iii]
 Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut; ada saatnya menjadi hula-hula, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi boru. Semua posisi itu harus dijalani dengan sukarela oleh setiap orang Batak. Jadi Dalihan Na Tolu mencerminkan sebuah sistem yang sangat adil untuk diikuti. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang   sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan “Sistem Demokrasi” orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal.
Pergeseran nilai akibat kemajuan teknologi yang mengglobal saat ini ternyata tidak cukup dihadapi dengan aspek Ilahi saja karena di dalam kehidupan berbangsa melalui ajaran adat istiadat Dalihan Na Tolu, bangsa Batak memiliki suatu nilai peradaban yang dapat menghantar suku bangsa Batak mencapai kebahagiaan insan dan ilahi. Kepatuhan masyarakat Batak atas ajaran Dalihan Na Tolu termasuk kepatuhan terhadap system kekerabatan     patrilineal telah menempatkan suku Batak itu sebagai salah satu komunitas suku bangsa yang tingkat perceraian dan sengketa harta warisannya tergolong terendah dari berbagai komunitas suku-suku di Indonesia.[iv]
Kaidah moral dalam Dalihan Na Tolu juga berperan untuk                 menempatkan posisi setiap warga Batak dalam semua bidang kegiatan kemasyarakatan di manapun dia berada. Inti ajaran Dalihan Na Tolu dapat    diformulasikan sebagai nilai moralitas adat budaya Batak yang timbul dan   tumbuh berkembang dalam pergaulan hidup warga Batak dengan berpatokan pada ikatan kekerabatan marga di manapun dan kapanpun dia berada. Hukum adat dalam ajaran Dalihan Na Tolu adalah tergolong hukum positif yang bertujuan mengatur pergaulan hidup secara damai.[v]
Suatu kenyataan bahwa adat Batak tetap dilaksanakan oleh sebagian   besar orang Batak, di manapun berada, tanpa mengurangi ketekunannya     mengikuti aturan-aturan gereja sebagai orang Kristen. Bagi orang Batak yang masih memegang adat, menjadi orang Kristen yang taat tidak harus melepaskan identitasnya sebagai orang Batak.[vi] Ir. Rishon Tua Siallagan (jemaat HKBP Yogyakarta) berpendapat bahwa adat Dalihan Natolu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Batak selama berabad-abad dan tentu tetap dirasakan manfaat positif dari pelaksanaan adat itu dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sampai saat ini. Prinsip Dalihan Na Tolu dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, misalnya dengan bersikap hormat kepada atasan di kantor, menghargai rekan sekerja yang satu level, serta bersikap rendah hati di hadapan para bawahan. Dalihan Na Tolu masih sangat relevan untuk diterapkan di masa sekarang dan masa yang akan datang. Justru dengan menerapkan Dalihan Na Tolu orang Batak akan lebih akrab dan dekat satu sama lain.
Pendapat senada juga diutarakan oleh B. Isti br. Sirait (jemaat GKJ Kotagede). Baginya Dalihan Na Tolu sejalan dengan Firman Tuhan karena di dalamnya terdapat unsur saling mengasihi satu sama lain. Menghormati hula-hula sama dengan menghormati  orang tua dan itu benar menurut Alkitab.  Yohana E. S. br. Simaremare (jemaat HKBP Yogyakarta) dan Yetty br. Sigiro (jemaat Gereja Katholik Kotabaru) berpendapat bahwa Dalihan Na Tolu masih relevan untuk dijalankan pada masa kini karena di dalamnya terkandung aspek kebersamaan dalam keluarga sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Jika setiap orang Batak menerapkan Dalihan Na Tolu dengan konsekuen sesuai konteksnya maka akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang tinggi satu sama lain. Di dalamnya juga terdapat aspek melayani dan menolong. Ini merupakan berkat dari Allah karena mencontoh apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45).
Tanpa manfaat yang jelas yang diberikan oleh adat dalam kehidupan, mungkin sejak lama adat Batak punah sendiri dari kehidupan masyarakat Batak. Adat Dalihan Na Tolu menjadi tata tertib sosial dalam masyarakat Batak, yang mengatur hubungan-hubungan kekerabatan dengan rapi dan sekalikgus membangun rasa kebersamaan, rasa tanggung jawab bersama dalam berbagai aspek kehidupan mereka, tanpa merasa diri eksklusif di dalam masyarakat yang semakin pluralistik. Kepatuhan terhadap ajaran Dalihan Na Tolu telah menempatkan komunitas Batak sebagai communicative society yang akan mampu membina karakter warga Batak menghadapi tantangan era globalisasi yang bersifat individual.
Adat istiadat itu memang lahir dalam masa kekafiran, akan tetapi tidak mustahil manfaat-manfaat positifnya dapat dibersihkan oleh iman kekristenan dalam Tuhan Yesus Kristus. Jika setiap warga Batak mampu menerapkan tata hidup Dalihan Na Tolu untuk mengejar tujuan kebahagiaan (hatuaon), lembaga Gereja akan lebih mudah mendampingi jemaatnya untuk juga mengejar pengharapan  (keselamatan  Ilahi). Upaya transformasi gereja  sering  mengalami benturan konflik karena para Imam (Pendeta) kurang memahami inti ajaran Dalihan Na Tolu. Tanpa dukungan ajaran adat budaya, hidup kekristenan itu rapuh.[vii]

                                    Pandangan yang Menolak

Adat Dalihan Natolu yang memang lahir dalam masa kekafiran orang Batak kuno dan diciptakan oleh para nenek moyang pada zaman itu, membuat beberapa kalangan dewasa ini menjadi anti adat Batak. Kelompok yang menolak ini menyatakan bahwa falsafah Dalihan Na Tolu bertentangan dengan iman kekristenan dan sama sekali tidak boleh dilakukan lagi. Bahkan oleh sebagian masyarakat Batak seolah-olah difatwakan bahwa adat Batak adalah haram bagi orang Batak Kristen, bersama segala sesuatu yang berhubungan dengan tatalaksana adat itu.
Struktur Dalihan Na Tolu diciptakan oleh iblis yang diilhamkan kepada leluhur Batak, kemudian diajarkan kepada keturunannya. Ciptaan iblis akan memberikan kemuliaan kepada si iblis sendiri. Struktur Dalihan Na Tolu       merupakan gambaran atau peta dari dewa sembahan leluhur yang hidup di     banua ginjang (dunia atau langit atas). Keberadaan ketiga dewa Batak di langit atas digambarkan atau dipetakan di bumi (banua tonga) oleh unsur pembentuk Dalihan Na Tolu. Perbuatan ini merupakan pelanggaran terhadap Hukum Taurat pertama, yaitu: “Akulah Tuhanmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, tanah perbudakan. Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” (Ulangan 5:6-7).
Dengan melakukan upacara adat kita memberikan jalan masuk pada   kehadiran roh sembahan leluhur di dalam kehidupan kita. Artinya, kita         menerima illah lain di luar Tuhan (Bapa di dalam nama Yesus Kristus) yaitu Debata Mulajadi Nabolo, Batara Guru, Mangala Sori, Mangala Bulan, dan    Debata Asiasi. Kita bahkan telah memberi diri kita sebagai “Peta dari Roh Sembahan Leluhur” itu sendiri, yaitu “Peta Iblis”. Pelaksanaan upacara adat Batak juga membuat kita melanggar Hukum Taurat yang kedua. Upacara adat Batak merupakan upacara religius yang menggambarkan atau memetakan roh sembahan para leluhur.  Peta ini  dapat  terlihat  dalam struktur masyarakat Batak yang disusun dengan prinsip Dalihan Na Tolu.
Setiap unsur dalam Dalihan Na Tolu memiliki hak dan kewajiban yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada tatanan sosial, Dalihan Na Tolu menata hak dan kewajiban antara seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok lainnya. Setiap orang dalam masyarakat Batak harus   menjalankan perannya sesuai statusnya dalam konteks upacara adat. Pada tatanan rohani, Dalihan Na Tolu menggambarkan relasi antara manusia dengan alam gaib, antara Banua Tonga dengan Banua Ginjang. Dr. Annicetus Sinaga menjelaskan struktur Dalihan Na Tolu menggambarkan hubungan tiga roh dewa sembahan leluhur yaitu Batara Guru, Sori, dan  Mangala Bulan  (Bala Bulan).  Dengan demikian, Dalihan Na Tolu merupakan tatanan rohani yang dimulai dari dunia atas (banua ginjang) dan harus dilakukan di bumi. Tiga roh dewa sembahan leluhur ini dikenal sebagai Debata Na Tolu.
Hula-hula merupakan personifikasi dari Batara Guru, Dongan Sabutuha personifikasi dari Sori dan Boru merupakan personifikasi dari Mangala Bulan. Tiga dewa ini juga melahirkan pola berpikir triade dalam tenunan Ulos dengan representasi warna-warnanya yang disebut bonang manalu yaitu tiga warna  magis; hitam, putih, merah. Warna hitam melambangkan dunia atas; warna   putih melambangkan dunia tengah; warna merah melambangkan dunia bawah. Struktur ini merupakan pola yang menata hubungan di dunia atas dan ditetapkan oleh Mulajadi Na Bolon untuk juga diberlakukan di dunia manusia (banua tonga). Sehingga struktur itu merupakan kehendak Debata (malaikat Iblis sembahan leluhur Batak) bagi manusia, dalam hal ini bagi orang Batak.[viii]
Manusia sebagai pelaku upacara adat adalah sarana yang dijadikan     untuk memproyeksikan eksistensi dan peranan roh sembahannya. Selama upacara adat Batak dilakukan, ketiga dewa tersebut tetap mendapat tempat untuk diproyeksikan eksistensinya dalam kehidupan bangsa Batak, sekalipun mereka tercatat sebagai orang yang beragama Kristen. Rheinhard Sinaga berpandangan bahwa Dalihan Na Tolu itu bukan hanya sebagai pengklasifikasian dari status dan  peranan sosial dari anggota masyarakat saja, namun melalui struktur itu Iblis memanipulasi diri kita untuk kepentingan  dirinya sendiri.
Tuhan Yesus tidak akan pernah berkenan hadir dalam suatu upacara adat,  sekalipun  dibungkus  dengan  doa kristiani dan memakai nama Tuhan Yesus. Karena Tuhan tidak akan pernah membagikan kemuliaan-Nya kepada yang lain. Bagaimana Tuhan Yesus berkenan hadir dalam suatu upacara adat yang Dia tahu untuk kemuliaan Iblis. Yesaya 42:8 menegaskan “Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain atau kemahsyuran-Ku kepada patung.
Ada sebagian orang yang membenarkan upacara itu dengan alasan  bahwa mereka melakukan doa dan umpasa yang memakai nama Yesus. Ada juga yang beranggapan bahwa dengan menyebut nama Yesus dalam acara adat istiadat (apalagi kalau yang memimpin doa itu seorang pendeta) maka sahlah acara adat itu. Membungkus upacara adat dengan membawa nama Yesus sama dengan menghujat Tuhan dengan menyebut nama-Nya dengan sembarangan. Ulangan 5 ayat 11;
“Jangan menyebut nama TUHANmu dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan”.

Menurut Robert Simarmata (jemaat GBI Aletheia Yogyakarta), banyak orang  Batak  (khususnya yang masih tinggal di kampung),  telah mengaku mengenal Tuhan, tetapi jika dilihat dari perbuatan, sama sekali tidak             menunjukkan sebagai orang yang mengenal Tuhan. Ini dibuktikan dari          seringnya terjadi pertengkaran dan keributan. Jika Dalihan Na Tolu            mengajarkan kasih, mengapa orang Batak tidak bisa mengasihi dan berbuat baik kepada saudara atau sesamanya? Pertanyaan ini terus menjadi pemikiran dan perenungan sampai kemudian ditarik sebuah kesimpulan bahwa adat Batak   harus ditentang dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan. Bagi R. Simarmata,   perbuatan orang Batak itu sudah demikian melenceng, maka harus diperbaiki supaya benar, sebagaimana yang tertulis dalam Titus 1:13-14:
“Karena itu tegorlah mereka dengan tegas supaya mereka menjadi    sehat dalam iman, dan tidak mengindahkan dongeng-dongeng Yahudi dan hukum-hukum manusia yang berpaling dari kebenaran.”

Pandangan yang Selektif

Melalui penciptaan maupun pemeliharaan, Allah telah memberikan    kepada manusia karunia-karunia artistik dan kebudayaan untuk memungkinkan manusia menciptakan kebudayaan yang bervariasi dan kaya untuk kepentingan manusia selama di dunia ini.[ix] Kebudayaan itu tidak bernilai kekal namun bisa dipergunakan untuk tujuan yang kekal. Manusia telah jatuh ke dalam dosa,   semua karya yang indah dan baik itupun tercemar dengan dosa dan sebagian mengandung unsur kuasa gelap. Pernyataan tersebut dikeluarkan dalam konferensi hamba-hamba Tuhan Injili sedunia yang tercantum dalam The Lausanne Covenant.[x] Pernyataan ini mengarahkan orang Batak untuk tidak menolak adat atau menerima semuanya, melainkan harus bersikap selektif.
Orang Batak sulit untuk tidak terlibat dengan budayanya. Maka orang Batak dapat menjalani kehidupan budayanya dengan semaksimal mungkin   menurut ketuhanan Kristus. Itu berarti, menerapkankan adat dengan hati dan pikiran serta kehendak yang diperbaharui dan dikontrol sejauh yang disadari melalui penyataan Allah.[xi] Allah itu di atas budaya, dan melalui budaya pula Allah menggunakan elemen-elemen kebudayaan untuk berinteraksi dengan  manusia. Bila seseorang dibaharui Allah, maka inti kebudayaannya juga dibaharui (II Korintus 5:17).[xii] Maka adat Batak juga harus diubahkan dan terus-menerus diperbarui agar selaras dengan Injil Kristus. Sebagaimana penelitian Richard Niebuhr, Tuhan Yesus tidak hanya menerima adat di zaman-Nya, tetapi juga memperbaharui adat dan tradisi tersebut.[xiii]
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua gereja yang berlatar         belakang sub etnis Batak menerima keberadaan ajaran adat Dalihan Na Tolu sebagai ajaran moral yang turut berperan membina tata hidup kekerabatan warganya. Mewakili berbagai sikap gereja diajukan di sini beberapa pendapat:

1.        Pdt. Rudolf Pasaribu meminta warga Batak mengantisipasi  berbagai upacara adat Dalihan Na Tolu untuk tidak menerapkan paham okultisme, yaitu ajaran yang mempercayai adanya kekuatan gaib yang tersembunyi dalam benda atau arwah.[xiv] Misalnya, kekuatan roh kesaktian (sahala)  dalam ulos yang diberikan hula-hula kepada boru.

2.        G. M. P. Simangunsong dalam buku Ruhut-ruhut Adat menekankan harus ada penafsiran atas ajaran adat Dalihan Na Tolu itu sesuai dengan keimanan agama, sehingga pelaksanaan adat harus diperluas yakni  Kristen yang rohani harus sekaligus menjadi Kristen yang beradat.[xv] Contoh adat Dalihan Na Tolu yang tidak mengandung paham okultisme adalah penebaran “beras sipir ni tondi” oleh hula-hula di atas kepala boru (bnd. Yoh. 14:27; Mat. 84:12).

3.        Lothar Schreiner memberikan pernyataan bahwa persekutuan Kristen berkembang secara wajar melalui pertumbuhan yang berangsur-angsur.[xvi] Maka adat yang sudah berlangsung selama ini tidak harus dihapuskan atau ditolak. Titik pegangan dalam segala persoalan dan bukanlah firman Allah yang dinyatakan dalam Yesus Kristus melainkan kebenaran Kristen yang timbul dari pengalaman manusia yang sudah diperbaharui di dalam Kristus.

4.        Kenyataan bahwa utusan Zending tidak dapat merubah susunan adat, maka Pdt. J. Warneck[xvii] berpendapat bahwa Gereja harus membiarkan adat tetap hidup dalam masyarakat Batak. Hubungan adat Batak dan Injil dipandang sebagai suatu perembesan yang satu terhadap yang lain. Tidak perlu ada usaha untuk mengkonfrontasikan adat itu terhadap Firman Allah.[xviii]

5.        Sinode Gereja Batak tahun 1934 menghasilkan suatu pernyataan bahwa agama harus berdiri di atas adat, dan bukan adat di atas agama. Sikap yang tepat terhadap persoalan adat haruslah dicari dengan bertolak dari kepercayaan Kristen.[xix]

6.        Ludwig Ingwer Nommensen[xx] mengabarkan Injil di tanah Batak tanpa menolak tradisi yang sudah ada. Menurut Nommensen, Injil mengubah seluruh kehidupan rakyat; tidak ada pemisahan antara yang “rohani” dan “jasmani”,[xxi] termasuk di dalamnya adalah budaya lokal. Pengembangan ajaran agama Kristen dilakukan dengan kemasan penerapan ajaran Dalihan Na Tolu  yang tidak bertentangan dengan ajaran Injil.

7.        Pdt. Dr. Mangapul Sagala berpendapat bahwa pelaku prinsip Dalihan Na Tolu harus sungguh-sungguh memperhatikan agar dalam penerapannya tidak merampas kemuliaan Allah, khususnya dalam hal memberi berkat. Satu-satunya sumber berkat hanya Tuhan, sedangkan hula-hula  hanyalah sebagai saluran berkat yang datang dari Tuhan. Ketiga unsur dalam Dalihan Na Tolu boleh saling memohon datangnya berkat dari Tuhan dengan saling mendoakan satu sama lain.[xxii]

8.        Prof. Sahat Simbolon (jemaat GKI) berpendapat bahwa falsafah Dalihan Na Tolu sejalan dengan Alkitab maka bisa diterapkan oleh orang Batak. Namun dalam pelaksanaannya harus selektif, disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Simbolon lebih menekankan pada masalah              pelaksanaan upacara adat yang sering dilaksanakan dengan berlebihan, terkesan memaksakan diri karena faktor harga diri dan kehormatan.

9.        Rishon Tua Siallagan berpendapat bahwa penerapan falsafah  Dalihan Na Tolu harus disesuaikan dengan konteks kekinian. Adat budaya itu bersifat  dinamis,  selalu  ada  perubahan  sesuai dengan zamannya. Sebagai contoh, ulos yang diberikan oleh Hula-hula kepada Boru yang tidak terlalu   dekat hubungan kekerabatannya dapat diganti dengan uang. Yang penting     alasan dan tujuannya jelas. Siallagan menekankan penerapan nilai-nilai dari  falsafah itu yang harus tetap dipegang orang Batak, sedangkan dalam hal     upacara adat dapat dilakukan dengan fleksibel sesuai dengan kondisi dan       kepentingan masing-masing. Siallagan tidak pernah mengadakan adat         mangompoi jabu, yaitu mengundang hula-hula untuk mendoakan rumah baru karena baginya itu tidak terlalu penting. Hula-hula memang alat untuk meminta berkat dari Allah, namun doa bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak harus Hula-hula.

10.    Yetty br. Sigiro (jemaat Gereja Katholik Kotabaru) berpendapat bahwa orang Batak  seharusnya  menyeleksi  adat  yang  cocok  untuk  tetap  diterapkan pada masa sekarang. Falsafah Dalihan Na Tolu menurutnya hanya cocok untuk diterapkan dalam upacara adat. Sedangkan untuk kehidupan  sehari-hari, tidak bisa diterapkan sepenuhnya karena akan membuat orang Batak tidak dapat menempatkan diri secara proporsional, dalam berbagai hal.

Catatan:
1.        Pandangan narasumber tidak berarti mencerminkan pandangan Gereja tempat narasumber beribadah.
2.        Tulisan ini adalah bagian dari “thesis” yang ditulis sebagai syarat kelulusan penulis dalam mengikuti Program Pasca Sarjana (Magister Teologi) di STT Nazarene Yogyakarta.

Referensi




[i] Sagala Mangapul, Injil dan Adat Batak, Yayasan Bina Dunia, Jakarta, Cet. 2, 2008, h. 18.
[ii] Panggabean H. P., Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu, h. 138.
[iii] Sagala, Injil dan Adat Batak, h. 51.
[iv] Panggabean, Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu, hlm. 59.

[v] Ibid, hlm. 79.

[vi] Pendapat Duaman Panjaitan dalam tulisannya di Google Blog berjudul: Dalihan Na Tolu dan Kekafiran.
[vii] Panggabean, Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu), h. 103.

[viii] Rheinhard Sinaga dalam artikel berjudul Siapakah Debata (Dewata) Itu?
[ix] Barclay Oliver R., Akal Budi Kristiani: Bukan Hanya Soal Intelek, Penerbit Gandum Mas, Malang, Cet. 1, 1993, h. 228.
[x] Sagala, Injil dan Adat Batak, h. 58.

[xi] Barclay Oliver, Akal Budi Kristiani, h. 231.

[xii] Tomatala Y., Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Penerbit Gandum Mas, Malang, Cet. 1, 1993, h. 79.

[xiii] Sagala, Injil dan Adat Batak, h. 60.

[xiv] Panggabean, Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu, h. 82.

[xv] Ibid.

[xvi] Schreiner Lothar, Adat dan Injil, Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 6, 2002, h. 62.
[xvii] Pdt. Johannes Warneck adalah Ephorus HKBP yang ditahbiskan pada tahun 1920 (Sumber: Almanak HKBP 2011, h. 457).

[xviii] Schreiner Lothar, Adat dan Injil, Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 6, 2002, h. 61.
[xix] Ibid.
[xx] Ludwig Ingwer Nommensen (Jerman) adalah pekabar Injil pertama yang berhasil mempertobatkan orang Batak pada tahun 1834, setelah sebelumnya pekabar-pekabar Injil dari Inggris dan Amerika gagal dalam pekabaran Injil sejak tahun 1824. Nommensen ditahbiskan sebagai Ephorus HKBP (Pimpinan tertinggi Gereja) yang pertama pada tahun 188. (Sumber: Harta Dalam Bejana, h. 271-274  dan Almanak HKBP 2011, h. 456).
Nommensen sendiri menerima gelar Ompui yang diberikan kepadanya dan dianggap sebagai raja oleh orang Batak karena sudah membuktikan sanggup membangun sebuah kampung Huta Dame yang mandiri. (Sumber: Lumbantobing Andar M., Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, h. 73).

[xxi] End Th. van den, Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 21, 2009, h. 273.
[xxii] Disarikan dari uraian Sagala dalam buku Injil dan Adat Batak, h. 50-55.