“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Sabtu, 30 Oktober 2010

KESAKSIAN HIDUP SUAMIKU MENGHADAPI GAGAL GINJAL

KESAKSIAN HIDUP SUAMIKU MENGHADAPI PENYAKIT GAGAL GINJAL
Oleh: Niken Nababan

(Tulisan ini dimuat dalam buku berjudul "Mengapa Ada Penderitaan" karya Pdt. Dr. Mangapul Sagala, penerbit: Persekutuan Kristen Antar Universitas, Januari 2011 -- beberapa kisah diperbarui dan ditambahkan pada 12 Nopember 2012)

I. Permulaan sakit.

Tiba-tiba di bulan Oktober 2002, sesaat setelah menyelesaikan makan malamnya, bang Mian tidak bisa menggerakkan tangan kanan dan kaki kanannya. Dia mencoba duduk, ternyata tidak bisa. Waktu kami membantunya untuk dudukpun, dia tidak sanggup bertahan ketika kami lepaskan. Badannya terkulai lemas dan rebah kembali. Ternyata tubuh sebelah kanannya dari bawah leher sampai ujung kaki sudah lumpuh, tidak dapat digerakkan sama sekali, bahkan untuk gerakan kecil sekalipun. Aku berteriak panik dan untuk beberapa saat bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku bersyukur pada saat itu di rumah sedang ramai dengan kedatangan adik-adik kami dengan keluarganya. Mereka adalah Elkan dengan Dian istrinya dan Poltak dengan Tami istrinya.

Setelah tenang, bang Mian minta dipanggilkan ahli pijat refleksi langganan kami. Dia tidak mau dibawa ke rumah sakit. Pukul 21.00 pak Heru Widodo, ahli pijat itu datang dan langsung melakukan terapi. Malam itu aku terus berada di sisinya dan tidak berhenti berdoa dalam hati. Mujizat terjadi. Pagi harinya bang Mian sudah dapat menggerakkan bagian tubuh yang lumpuh, bahkan sudah bisa berjalan dengan kaki terseret. Terapi refleksi kemudian dilanjutkan sampai tiga kali. Hanya dalam tempo satu minggu bang Mian sudah pulih meski masih lemas. Satu bulan kemudian dia benar-benar pulih, bahkan sudah bisa mengendarai sepeda motor. Setelah itu barulah dia memeriksakan diri ke dokter, diketahui ternyata dia sudah kena penyakit hipertensi dan trigliseridnya di atas normal.

Bang Mian orang yang energik, aktif, dan tidak pernah mengeluh atau merasakan sakit di tubuhnya. Pola hidupnya sangat sehat. Banyak minum air putih, lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah, sangat sedikit makan daging, tidak merokok, tidak suka minuman beralkohol. Maka kami heran bagaimana dia bisa terkena hipertensi. Meski sudah pulih, namun sejak saat itu tubuh bang Mian mengalami penurunan kesehatan. Dia mudah capek, sering pusing, dan kadang merasa kehilangan keseimbangan. Obat dari dokter rutin dikonsumsinya. Kondisi yang seperti ini tidak mengurangi semangatnya untuk berkarya. Dia tetap aktif dan bersemangat menjalani kehidupan sebagaimana biasa, tidak ada yang dikuranginya. Sukacita dan rasa syukur tetap terpancar di wajahnya. Sampai akhirnya memasuki bulan Desember 2003 bang Mian mengalami sesak napas yang hebat dan tidak bisa tidur dengan tubuh rebah. Artinya dia harus tidur dengan posisi duduk. Sudah seperti inipun dia tidak mau dibawa ke rumah sakit. Dia hanya mau berdoa saja dengan istri dan anaknya memohon mujizat Tuhan dan kembali terapi pijat refleksi. Setelah satu bulan tidak ada tanda-tanda sembuh, diapun menyerah dan mau pergi ke rumah sakit. Betapa kami semua terkejut dengan hasil pemeriksaan tensi yang mencapai angka 240 per 170, dan bang Mian masih bisa berjalan tanpa merasa pusing. Hari itu juga dia harus opname.

Aku sangat gelisah menunggu hasil pemeriksaan laboratorium karena di awal dokter sudah mengatakan bahwa ada hal yang serius dengan bang Mian dan harus menjalani serangkaian pemeriksaan yang mendetail. Esok harinya dokter menyampaikan hasil pemeriksaan. Diagnosa dokter adalah: fungsi ginjal terganggu, jantung bengkak, luka lambung. Dokter merujuk untuk pergi ke ahli ginjal dan ahli jantung. Dokter juga menyarankan agar melakukan USG di dua laboratorium lain dan melakukan foto nuklir untuk memastikan hasil yang akurat. Semua yang dikatakan dokter kami jalankan.

II. Divonis Gagal Ginjal

Siang itu, di Unit Radiologi R.S. Dr. Sarjito, aku sendirian mengambil hasil foto nuklir, yang terletak di lantai dua. Bang Mian menunggu di ruang tunggu lantai satu. Aku terus menyerukan doa dalam hatiku sambil berjalan menuju ke ruang foto. Aku menguatkan hati dan mempersiapkan diri untuk menerima kabar paling buruk sekalipun meskipun di sisi lain aku berharap bang Mian hanya mengalami sakit ringan. Sampai di ruang foto aku bertemu langsung dengan kepala unit radiology yang kebetulan masih ada hubungan marga dengan bang Mian, pak Petrus Ginting. Dia menjelaskan penyakit bang Mian dengan detail. Meskipun sudah demikian kusiapkan hatiku, tak urung aku sangat syok menerima kesimpulan akhir penyakit bang Mian. Vonisnya: gagal ginjal kronis, tidak bisa disembuhkan. Yang bisa dilakukan hanya bertahan hidup dengan cuci darah rutin seminggu 2 kali. Aku tinggalkan ruang foto itu dengan perasaan yang tak dapat kugambarkan. Seperti mendapatkan sebuah mimpi buruk. Aku merasa tubuhku melayang. Kutahan air mata yang mau tumpah. “Aku harus kuat, aku harus kuat”, begitu hatiku berseru minta kekuatan pada Tuhan. Perlahan kuturuni anak tangga menuju ruang tunggu di lantai satu tempat bang Mian menungguku. “Ya Tuhan, tolong kuatkan aku. Di hadapan bang Mian aku tidak boleh menangis agar kami sama-sama sanggup menghadapi cobaan ini”.

Aku terus berdoa dan menguatkan hatiku. Kujumpai bang Mian dengan senyum yang sudah kupasang dari jauh agar dia tidak menangkap kegelisahanku. Namun sesampai di hadapannya, aku tak dapat menahan air mataku lagi. Kami berpelukan dan menangis. Tanpa kukatakanpun bang Mian sudah tahu apa hasilnya. Dia masih bisa tersenyum dan malah menghiburku. “Sudahlah mah…. Nggak apa-apa. Jangan kuatir. Tuhan pasti menguatkan kita”. Aku memaksakan diri untuk bisa tersenyum namun hatiku sangat sedih, takut dan marah. Aku protes sama Tuhan, kenapa kami harus mengalami penderitaan seperti ini. Rasanya kami sudah hidup benar dan selalu mengkonsumsi makanan sehat sesuai menu food combine yang kupelajari dari para ahli gizi. Dan dari mana kami bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan bang Mian yang biayanya begitu besar? Jalan di depan terlihat gelap, aku tidak tahu harus berbuat apa.

III. Saat-saat Cuci Darah

Tak urung bang Mian mengalami juga kegelisahan saat akan cuci darah pertama kali. Aku mengabari keluarga dan sahabat dekat kami serta Pendeta agar mendoakan dan menemani kami. Akhirnya bang Mian bisa melewati terapi dengan baik. Akupun sudah mulai tenang dan bisa menerima kenyataan pahit itu. Satu hal yang terus menjadi pergumulan berat adalah bagaimana cara kami membiayai perawatan selanjutnya. Di sinilah aku justru banyak belajar dari bang Mian tentang beriman dan bersyukur. Di dalam ketidakpastian penghasilan, dia masih bisa mengucapkan syukur dengan senyum di bibir. Bang Mian bahkan terus menguatkan aku agar jangan kuatir akan hari depan.

Setiap datang waktunya cuci darah, dia berangkat dengan bersemangat dan sepanjang cuci darah dia selalu berbicara dan bercerita dengan pasien-pasien lainnya. Sebelum mulai terapi biasanya dia akan menyapa pasien-pasien lain, memberi semangat kepada mereka dan bersaksi tentang kasih setia Tuhan. Dia juga mendorongku untuk bersaksi dan menolong pasien yang tidak ditunggui keluarganya. Pernyataan yang disampaikannya sangat jelas tentang siapa Tuhan yang memelihara hidup kami sekeluarga dan telah menyediakan tempat di surga kelak bagi siapa saja yang percaya kepada-Nya. Iman ini membuat bang Mian tidak pernah takut menghadapi kematian. Bang Mian telah menjadi kotbah yang hidup. Kehadirannya di ruang HD menumbuhkan semangat juang bagi pasien-pasien lain dan menjadi penghibur mereka.

“Jika aku lemah, maka aku kuat”. Demikianlah Firman Tuhan yang menghidupi jiwa bang Mian. Dia terus belajar dari Rasul Paulus tentang arti kekuatan dalam kelemahan. Dia menguatkan hatinya agar terus dapat bersyukur dan bersuka cita dalam penderitaannya. “Jika aku serahkan hidupku sepenuhnya di tangan Tuhan, Roh Kudus akan memberi kekuatan luar biasa untuk menghadapi penyakit ini. Tidak ada yang perlu dikuatirkan”. Kalimat inilah yang terus dikatakannya untuk menghibur dan menguatkan aku, anak-anak, serta dirinya sendiri.

IV. Tawaran Untuk Sembuh

Ketika keluarga, para sahabat dan teman-teman kami mulai tahu tentang sakitnya bang Mian, banyak sekali tawaran berbagai pengobatan untuk kesembuhan bang Mian.

Pertama, pengobatan melalui doa tumpangan tangan. Para sahabat, saudara dan hamba-hamba Tuhan datang, mulai dari yang dekat sampai yang jauh. Dari dalam kota kami Yogyakarta, Solo, Surabaya, sampai Jakarta. Pamannya yang di Lampung dan Medan (yang telah mengambil saya menjadi anaknya) juga datang khusus melihat dan mendoakan bang Mian. Undangan-undangan untuk menghadiri KKR atau persekutuan doa besar maupun kecilpun terus datang. Semua tawaran ini diterimanya dengan penuh sukacita dan pengharapan bahwa Tuhan telah memberikan kesembuhan kepadanya. Bagi bang Mian, kesembuhan yang terutama adalah kesembuhan rohani.

Kedua, pengobatan dengan obat dan terapi. Berbagai obat herbal dan terapi disodorkan pada kami, mulai dari yang berharga seribu rupiah per buah sampai yang berharga jutaan rupiah. Beberapa obat dan terapi yang masuk akal dicobanya, namun bang Mian tetap mengutamakan terapi medis di Rumah Sakit.

Ketiga, pengobatan supranatural. Tawaranpun datang untuk mengantarkan bang Mian pergi ke dukun atau paranormal, dari yang dekat sampai yang jauh, dari murah sampai yang mahal. Untuk tawaran yang satu ini, bang Mian menolak dengan tegas, meskipun diberikan secara gratis. Hanya satu alasan yang dilontarkannya, “Saya tidak perlu kesembuhan fisik jika harus menukar keselamatan saya dengan kuasa setan”.
Bagi bang Mian, biarlah dia tetap sakit jika memang itu yang Tuhan kehendaki. Keselamatan surga lebih penting daripada keselamatan dunia. Imannya pada Yesus tidak tergoyahkan meski dia mengalami kesakitan terus-menerus dan bisa meninggal sewaktu-waktu.

V. Penyerahan Diri Untuk Melayani Tuhan

Panggilan Tuhan untuk menjadi Staff Perkantas Yogyakarta sejak saat bang Mian masih mahasiswa, ditolaknya. Berulang-kali kuingatkan tentang panggilan itu, tak digubrisnya. Dia selalu menjawab: “Belum waktunya”. Kali ini setelah dia dalam kondisi tak berdaya, aku menantangnya: “Kalau tidak sekarang, tidak akan pernah ada waktu lagi. Betapa kecewanya Tuhan sama Abang”. Dia menangis dan bertanya: “Aku sekarang sudah menjadi barang rongsokan tak berguna. Apakah Tuhan masih menerimaku?”. Kukatakan padanya bahwa Tuhan menerima siapa saja yang mau menyerahkan diri sepenuh hati. Sampahpun berguna asal berada di tangan orang yang tepat. Tuhan juga akan tempatkan murid-Nya pada ladang di mana dia dapat dipakai Tuhan untuk menuai dengan efektif. Sebuah keputusanpun diambilnya pada bulan April 2004, sepenuhnya melayani Tuhan. Kami pergi menjumpai Bapak Yusuf Langke, seorang evangelis yang juga adalah bapak rohani kami. Sejak itu bang Mian bergabung dengan beliau dalam pelayanannya yang disebut Life Ministry.

Suatu hari kami bertemu dengan kak Yakobus Here (Staff PMKT UGM) beserta istrinya kak Ling, yang kemudian mengajak bang Mian untuk ikut melayani di PMKT. Tahun 2005 Tuhan memanggil kak Obus (panggilan kesayangan buat beliau) pulang ke Rumah Bapa di sorga dan bang Mian melanjutkan pelayanannya di PMKT sepenuh waktu bersama-sama dengan kak Ling. Aku selalu mendampinginya ke manapun dia pergi karena abang bisa sewaktu-waktu anfal dan memerlukan bantuanku. Aku ibaratnya perawat dan apotek berjalan karena di dalam tasku selalu ada sekantong obat-obatan yang banyak lengkap dengan tabung oksigen kecil. Bang Mian sering tiba-tiba sesak napas atau kesakitan, baik ketika berkotbah atau hanya ketika ber KTB. Tapi itu semua tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk tetap melayani Tuhan.

Udara pagi begitu dingin membuat nyeri tulang dan sendi kakinya yang mulai terkena radang dan pengeroposan sebagai efek samping dari cuci darah. Anehnya, bang Mian justru mengajak mahasiswa untuk ber KTB pada pukul 06.00. Aku menegurnya karena kuatir dengan keadaannya jika harus pergi terlalu pagi. Tapi dia mengatakan bahwa itulah yang menjadi kesaksian hidup bagi adik-adik mahasiwa yang dibimbingnya. Betapa seorang yang sangat sakit dapat melakukan hal-hal yang seharusnya dihindarinya, terlebih lagi yang sehat seharusnya bisa melakukan lebih dari itu. Bang Mian menjalani hari-hari dengan sangat disiplin dan tidak pernah mengeluh, akhirnya memang menjadi berkat bagi banyak orang. Prinsipnya, selagi masih bisa berdiri dan berjalan, tidak ada seorangpun yang boleh menghalanginya untuk mengerjakan tugas-tugas pelayanannya.

Bang Mian juga mengajakku untuk mengunjungi teman-teman sesama penderita gagal ginjal, terutama pasien yang putus asa. Kunjungan juga meluas pada keluarga dan para sahabat. Tak henti-hentinya dia menceritakan kasih Tuhan kepada semua orang yang ditemuinya. Bagaimana Tuhan telah memberikan kekuatan padanya, aku dan ketiga anak kami. Bagaimana Tuhan selalu menyediakan kebutuhan kami tepat pada waktunya melalui orang-orang yang mengasihi kami. Bagaimana Roh Kudus menghidupi kami dalam penderitaan ini. Tuhan tidak pernah membuat malu umat-Nya yang berserah penuh kepada-Nya. Sampai akhir hidupnya segala biaya untuk kami sekeluarga dicukupkan-Nya.

VI. Tuhan Mencukupkan Kebutuhan Kami

Ketika kami belajar bersyukur dan menyerahkan segala kekuatiran kami, Tuhan pun membuka jalan yang harus kami lalui. Kami hanya perlu setia berdoa, membaca firman-Nya dan melakukan dengan tekun apa yang ditunjukkan Tuhan kepada kami. Tingkap-tingkap di langit pun terbuka dan berkat-Nya tercurah bagi kami. Di dalam Tuhan selalu ada jalan keluar.

Rekening tabungan kami selalu berisi cukup untuk membayar biaya pengobatan bang Mian. Pembayaran uang sekolah anak-anak menjadi sering terlambat tapi pada akhirnya dapat diselesaikan juga pada waktu yang tepat. Tuhan menggerakkan hati orangtua, keluarga, sahabat, dan teman-teman yang dekat maupun jauh, untuk membagi kasih kepada kami. Ada salah satu anak bimbing bang Mian, Amsal Sihombing, tiba-tiba datang ke rumah bersama teman dekatnya Darmawasih Manullang (sekarang telah menjadi istrinya), menawarkan beasiswa dari GKI Kayu Putih Jakarta. Begitu juga dua ipar bang Mian, G. Sinaga dan J. Sinaga, berkomitmen untuk membayar SPP Yekho dan Yedi. Masih ada lagi bantuan rutin yang dikirim setiap bulan oleh alumni PMKT (bang Jimmy, mas Gunawan, dkk). Perhatian dari keluarga angkatku Nababan (Harry, Ayub, Riame, Betty, Simson, Ferdinan), teman-teman dari Perkantas DIY, punguan marga Sihombing dan Parna DIY, serta banyak lagi lainnya sungguh tak terhitung. Tuhan telah melakukan perkara besar lebih dari pada yang dapat kami pikirkan dan bayangkan.

VII. Suatu pagi bersama Anak-anak

Memasuki bulan Mei 2007, kira-kira dua bulan menjelang kepergiannya, bang Mian seperti merasa bahwa waktunya sudah dekat untuk menghadap Tuhan. “Ma.... sepertinya nggak lama lagi papa mau dipanggil Tuhan”. Begitu terus dikatakannya berulang-ulang setiap hari. Aku marah dan menangis, kularang dia untuk berkata seperti itu. Jawabnya, “Apalagi yang mau dipertahankan, ma? Seluruh tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki sudah sakit semua. Mungkin tugasku memang sudah selesai dan mama nanti yang harus melanjutkan”.

Pagi itu bang Mian memanggil ke-3 anak kami, Yekhonya (waktu itu klas 1 SMA), Yedija (2 SMP), Yehoiada (4 SD), lalu menyuruh mereka duduk dihadapannya. Kami menyanyi lagu-lagu pujian kepada Allah, berdoa lalu bang Mian mulai menceritakan mimpinya. Katanya dia telah bermimpi tentang kematian. Dalam mimpinya dia melihat tubuhnya terbaring dan dikerumuni orang-orang yang menangisinya. Tapi hatinya justru merasa sangat gembira. Dipanggilnya orang-orang yang menangis itu tapi tidak ada yang bisa mendengarnya, kemudian dia terbangun dari tidurnya.

Bang Mian menceritakan itu dengan sangat gembira. Kematian tidak menakutkannya tapi justru membuatnya sangat bersukacita. Mengapa? “Nak, kematian itu sangat indah. Saat papa nanti mati, semua sakit ini diambil sama Tuhan. Hati papa akan penuh dengan sukacita. Tidak ada sakit dan tidak ada tangis kesedihan. Maka kalian juga tidak boleh sedih ataupun menangis. jika papa sudah dipanggil pulang ke surga, anak-anak papa harus memuji Tuhan bersama dengan mama”. Itulah jawab bang Mian. Aku dan anak-anakpun menangis tapi serta-merta bang Mian menegur dan mengajak kami menyanyi lagi. Sejak itu, setiap kali aku dan anak-anak terlihat sedih, bang Mian selalu mengatakan hal itu.

VIII. Hari Terakhir

Pukul 11.00 kami naik becak berkeliling kota Yogyakarta seperti yang diinginkannya. Pukul 13.00 sampailah di RS Bethesda untuk menjalani cuci darah. Sambil menunggu giliran, bang Mian terlihat asyik memberikan kesaksian kepada orang-orang di sekitarnya yang juga menunggu giliran bersama-sama dengan kami. Siang itu dia terlihat pucat dan lemas, tapi seperti biasanya, dia tetap semangat untuk bersaksi, walaupun kali ini nampak ada raut gelisah di wajahnya. Pukul 16.00 mulai proses cuci darah, dan pukul 17.30 bang Mian pingsan. Cuci darah dihentikan, dia sadar kembali lalu dibawa ke ruang IGD.

Aku sedih sekali melihatnya, perasaanku mengatakan bahwa saatnya telah tiba. Benar, memang itulah yang dikatakan dokter. Aku segera mengontak keluarga dan meminta Pendeta untuk mengadakan perjamuan kudus. Bang Mian menerima perjamuan itu dengan sikap menyerah dan tersenyum. Tangan Pendeta digenggamnya erat-erat dan di tekannya dengan kuat ke dadanya yang sebelah kiri, tepat di atas jantung. Dia khusuk sekali mengikuti ibadah hingga selesai dan tetap menebarkan senyum sampai dibawa ke ruang ICU pada pukul 21.00. “Nggak usah sedih, aku nggak apa-apa kok. Semua akan baik-baik saja”. Begitu yang dikatakannya kepada semua keluarga dan sahabat yang melihatnya.

Kegelisahannya muncul saat sudah berada di dalam ruang ICU. Bang Mian memberontak sampai harus diikat oleh perawat. Aku masuk ke dalam dan itu membuat dia tenang, ikatannyapun bisa dilepas. Hatiku tersayat melihat senyumnya. Kata-kata terakhir yang diucapkannya, Sabar ya Ma”, lalu aku keluar dari ruang ICU. Pukul 02.00, tanggal 2 Agustus 2007, bang Mian menghadap Bapa di surga pada usia 47 tahun. Kesedihanku tak dapat tergambarkan lagi namun aku berusaha keras untuk menguasainya supaya putri sulungku, Yekhonya, yang ikut menemaniku juga tenang. Roh Kudus memberikan kekuatan luar biasa sehingga aku mampu menahan tangisku dan memeluk Yekho serta membawanya masuk untuk melihat papanya yang sudah terbebas dari penderitaan.

Pukul 07.00 kami tiba di rumah, sudah banyak orang berkumpul. Sanak saudara, sahabat, tetangga, teman-teman dari luar kotapun mulai berdatangan pada siang hari hingga esoknya. Banyak yang berduka dengan kepergian bang Mian. Banyak yang menangis untuknya. Bahkan perawat RS dan teman-teman sesama pasien cuci darahpun ikut menangis. Aku sempat terkejut karena beberapa orang teman SMA bang Mian yang sudah lebih dari 20 tahun tidak pernah bertemu, tiba-tiba datang melayat. Aku menyaksikan betapa orang yang mencintai Tuhan dengan segenap hatinya akan mendapatkan cinta dari Tuhan melalui orang-orang di sekitarnya.

Betapa besar kasih Tuhan kepada kami. Di puncak penderitaan inipun Tuhan menghiburku dengan cara-Nya yang tidak dapat diduga. Dikirim-Nya banyak orang yang mengasihi kami dan aku terhibur karenanya. Diberi-Nya kekuatan kepadaku dan anak-anak untuk berjalan ke depan dengan mantap. Pada saat itu aku bertekad akan melanjutkan perjuangan bang Mian di dunia ini. Melayani Tuhan sepenuh waktu; bersaksi kepada orang lain tentang kasih Tuhan; berusaha untuk dapat menjadi kotbah yang hidup; sampai Tuhan memanggilku pulang ke hadirat-Nya.

IX. Tuhan Memelihara Kami Sampai Hari Ini

Kini telah lima tahun aku melayani di PMKT UGM. Tuhan tidak pernah berhenti melakukan perkara besar bagi kami. Tahun 2009 aku ditahbiskan sebagai Sintua di HKBP Yogyakarta, semakin besar pelayanan yang dipercayakan-Nya padaku. Aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi program pasca sarjana Magister Theologi di STT Nazarene dengan dukungan penuh dari Yayasan Gloria dan PMKT dan telah lulus pada bulan September 2011. Masih satu langkah lagi untuk menempuh ujian negara, aku yakin jika Tuhan berkehendak maka aku akan dapat mencapainya pada waktu yang ditetapkan-Nya. Yekhonya telah mencapai semester 7 di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Yedija semester 3 di Fakultas Seni Pertunjukan ISI, dan Yehoiada duduk di kelas X SMU Pangudi Luhur. Semua bisa terjadi karena Tuhan. Tanpa Tuhan, aku tidak dapat berbuat apa-apa.

Tidak ada satu alasan pun bagiku untuk undur dari ladang-Nya.  Tuhanlah yang akan senantiasa memelihara dan menguatkanku dengan kasih yang dinyatakan-Nya melalui orang-orang di sekitarku. Doaku, kiranya aku selalu dapat menjadi berkat bagi orang lain. Amin.

13 komentar:

  1. walaupun sudah dipanggil, kisah hidup beliau tetap saja masih menjadi berkat bagi orang lain

    saya sungguh berterima kasih ini sudah ditulis

    BalasHapus
  2. Bp.Shuto:

    Bersyukur kepada Allah yang memampukan saya menuliskan semua itu, hanya sebagian dari pengalaman yang saya jalani dan saksikan dalam kehidupan saat bersama suami saya.

    Jika tulisan itu dapat menjadi berkat bagi Bapak dan setiap orang yang membacanya, itulah kerinduan saya yang mendatangkan suka cita.

    Kiranya Tuhan dimuliakan di atas segala yang terjadi dalam hidup kita.

    Salam kasih.

    BalasHapus
  3. Menjadi suatu inspirasi yang hidup...semoga keluarga besar bang Mian senantiasa dalam penyertaan TUHAN YESUS..

    BalasHapus
  4. Ada kata-kata dari bang Mian yang saya selalu ingat. Satu waktu saya datang menjenguk, waktu itu dengar kabar kalau bang Mian anfal, ketika bertemu, kondisi bang Mian sudah lebih baik, walau masih lemah, bang Mian sudah pulih dari anfal. Mungkin karena menangkap raut sedih di wajah saya dari awal bertemu, tiba-tiba bang Mian bilang: “kau tau Roy? Sakit yang ada di abang sekarang ini membuat hubungan pribadi abang dengan Tuhan lebih dekat daripada sebelumnya…”, saat itu juga saya yakin, muncul senyum di wajah saya.

    Kurang lebih tiga bulan berselang, berita duka itu datang. Mungkin sudah sepuluh tahun berselang sejak terakhir saya menangis seperti itu, sepanjang perjalanan menuju RS Bethesda saya menangis seperti anak kecil, saya benar-benar merasa kehilangan.

    Saya bukanlah pribadi yang benar-benar disiplin dalam kehidupan rohani saya, tapi saya percaya, orang yang memiliki hubungan dekat dengan Tuhan pastilah sosok pribadi yang dicintai, yang dikasihi banyak orang. Saya perhatikan sejak awal, sejak jenazah bang Mian dimandikan sudah banyak orang yang datang melayat. Sampai tiba saat pemakaman, orang-orang yang ikut menghantarkan bang Mian benar-benar ramai, berduyun-duyun. Banyak yang merasa kehilangan, banyak yang menangis seperti saya. Bang Mian dicintai banyak orang, dikasihi banyak orang, dan saat saya menyadari itu, saat itu juga saya yakin, muncul senyum di wajah saya.

    Martabe Gold Mining Site, Batangtoru, 4 November 2014
    Roy A. Ginting

    BalasHapus
  5. Terimakasih adekku Noel Simalango dan Roy Ginting untuk kesaksian yang dibagikan mengenai bang Mian. Kakak baru saja membacanya dan merasa kembali dikuatkan untuk melangkah meski rasa sedih dan haru sempat muncul sesaat.

    Salam hangat.

    BalasHapus
  6. Terimakasih untuk informasi penyakit ginjalnya. Pencegan yang baik adalah dengan menjaga pola hidup sehat, seperti makanan sehat, olah raga teratur dan minum yang cukup serta jangan menahan buang air kecil..

    BalasHapus
  7. Ibu.. Bagaimana caranya menguatkan hati kita menyaksikan proses dialisa yg menyakitkan itu ibu...??
    Karena hati saya sgt sedih dan rasanya tidak kuat melihat mama menjalani proses itu?
    Mohon beri saya motivasi...

    BalasHapus
  8. Ibu.. Bagaimana caranya menguatkan hati kita menyaksikan proses dialisa yg menyakitkan itu ibu...??
    Karena hati saya sgt sedih dan rasanya tidak kuat melihat mama menjalani proses itu?
    Mohon beri saya motivasi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dear Latri.

      Di dalam kondisi kita sendiri tak mampu menguasai diri karena kesedihan yang mendalam, maka hanya Allah satu-satunya pegangan hidup kita. Semakin dekat dengan Allah membuat kita dikuatkan oleh kasih dan kuasa-Nya.
      Tak ada jalan lain lagi selain semakin mendekatkan diri kepada Allah dan memohon kekuatan dari-Nya.

      Saya seorang Kristiani, dengan mengingat penderitaan Tuhan Yesus yang jauh melampaui manusia manapun, saya dikuatkan untuk mengatasi kesedihan dan penderitaan dengan satu prinsip bahwa penderitaan yang dialami manusia tidak ada apa-apanya dibanding penderitaan Tuhan Yesus. Itulah iman saya untuk memiliki kekuatan yang tiada bandingannya.

      Selamat berjuang untuk mama terkasih, kiranya Tuhan memberkati.

      Salam hangat.

      Hapus
  9. Aku salut bgt sama kakak, salut dgn kehidupan rohani kakak, salut dgn kehidupan sosial kakak jg...
    Dan kisah nyata yg kakak tulis Ini sangat menguatkan dan menginspirasi buat saya dan jg orang lain.

    Salam hangat buat kak Niken,
    Dulu saya gk begitu aktif di PMKT jd mngkin kurang akrab sama kak Niken...
    :)

    BalasHapus
  10. Aku salut bgt sama kakak, salut dgn kehidupan rohani kakak, salut dgn kehidupan sosial kakak jg...
    Dan kisah nyata yg kakak tulis Ini sangat menguatkan dan menginspirasi buat saya dan jg orang lain.

    Salam hangat buat kak Niken,
    Dulu saya gk begitu aktif di PMKT jd mngkin kurang akrab sama kak Niken...
    :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dear Jason.

      Bahagia rasanya jika apa yang aku tulis dapat menjadi berkat bagi orang lain. Kiranya berkat yang diperoleh itu akan dibagikan bagi orang lain lagi sehingga semakin banyak orang terberkati.

      Apapun yang telah kukerjakan adalah semata-mata anugerah Allah, dapat dilakukan karena Allah menyertai, dan ingin kupersembahkan bagi kemuliaan Allah. Kristus yang terhebat, yang membuat semua orang percaya menjadi hebat.

      Salam hangat buat adekku Jason.

      Hapus
  11. terima kasih atas motivasi dan semangatnya. saya juga saat ini berada dalam pergumulan dimana ibu saya sedang menjalani cuci darah. mohon doa dari ibu dan semua umat. pengalaman almarhum sungguh menginspirasi. terima kasih.

    BalasHapus