“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Kamis, 17 April 2014

BUAH ROH (Galatia 5:22-25)

BUAH ROH (Galatia 5:22-25)
Oleh: Niken Nababan



22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.
24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.
25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,

Kata "buah" ditulis dalam bentuk "tunggal", artinya daftar kebajikan itu merupakan kesatuan dan kepaduan dari hidup di dalam Roh. Dapat kita umpamakan bahwa "Buah Roh" itu adalah "satu buah dengan 9 rasa" (kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri), ke-9 nya tampak dan terbukti secara bersama-sama.

Kita tidak perlu memberikan suatu strata dari setiap kebajikan yang dirincikan itu, misalnya menempatkan kasih lebih diatas sukacita, damai-sejahtera dan seterusnya. Kata buah yang tunggal itu menghasilkan suatu sifat yang jamak sang saling berkait satu sama lain dalam kesatuan. Yesus Kristus adalah contoh sempurna, karena di dalam Pribadi inilah tampak secara sempurna rincian buah Roh itu.

Kasih

Kata Yunani untuk kasih adalah agape. Kasih adalah sifat inti Tuhan, karena Tuhan adalah kasih (1 Yoh. 4:7-12 dan 16). Kasih dinyatakan melalui tindakan yang dihasilkannya (Yoh. 3:16; 1 Kor. 13:1-8). Kasih Kristen bukan suatu gerakan hati yang didasarkan pada perasaaan, juga tidak selalu sesuai dengan kecenderungan alami kita, juga tidak tercurah hanya pada hal-hal yang kita sukai secara alami atau menyenangkan atau indah.

Yesus mengatakan hal itu dengan sangat jelas: ”Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku ... Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firman-Ku ...” (Yoh. 14:21 dan 24). Yesus juga memberi teladan dalam kasih sejati kepada kita ketika Dia menderita dan mati, sesuatu yang jelas tidak dikehendaki-Nya. Kasih agape adalah suatu latihan dalam kehendak, pilihan yang disengaja, di mana itulah sebabnya Tuhan dapat memerintahkan kita untuk mengasihi musuh kita (Kel. 23:1-5; Mat. 5:44).

Kasih menggerakkan iman (Gal. 5:6), dan menguatkan kita untuk memberi dan terus memberi. Orang-orang Kristen harus dikenal karena kasih mereka terhadap satu dengan yang lain (Yoh. 13:35). Kasih adalah karakter yang istimewa dari kehidupan Kristen dalam hubungan dengan sesama saudara dan kepada semua umat manusia.

Sukacita

Sukacita (Yun. chara) adalah kualitas hidup yang timbul dari pengenalan kepada Tuhan, mempercayai-Nya, apa yang sudah diberikan-Nya kepada kita, dan apa yang dijanjikan-Nya kepada kita di masa depan. Ini adalah kegembiraan oleh karena pengharapan atau karena memperoleh berkat jasmani dan rohani. Kegembiraan semacam itu tidak dapat diambil dari kita oleh penderitaan dalam hidup ini, dan karena itu sukacita sejati tidak dipadamkan oleh kekhawatiran dari dunia ini. Kita harus membuat sukacita kita dapat terlihat agar orang lain dapat dimenangkan oleh sukacita tersebut.

Yesus adalah contoh kita yang terutama dari sukacita (Yoh. 15:11). Sukacita memberikan kita dasar yang kuat untuk optimisme; itu menolong kita melihat kepada masa depan yang diinginkan dan yang memungkinkan (Ibr. 12:2); dan itu menguatkan kita karena pekerjaan yang harus kita lakukan (Neh. 8:10). Tuhan memerintahkan kita untuk bersukacita (1 Tes. 5:16; Flp. 3:1), jadi itu harus merupakan pilihan dari kehendak kita, yang didasarkan pada bagaimana kita memandang keadaan kita. Sukacita dapat dihasilkan dari cara kita memilih untuk menafsirkan hal-hal yang terjadi kepada kita, terutama hal-hal yang menyakitkan (Yak. 1:2). Rasul-rasul bersukacita setelah disiksa, di mana mereka dipandang layak untuk menanggung malu demi nama Yesus (Kis. 5:41). Sukacita berkaitan dengan sikap bersyukur.

Damai Sejahtera

Damai sejahtera (Yun. Eirene) adalah ketenangan, keheningan, ketentraman; timbul karena kekuatan dari dalam, suatu kelepasan dari amukan dan kekacauan konflik di dalam atau di luar. Ini berkaitan kata Ibrani shalom, yang merupakan salam dari Yahudi kuno dan ucapan selamat sejahtera, yang mencakup konsep kesejahteraan menyeluruh, termasuk perlindungan, keamanan, keselarasan, kemakmuran dan kebahagiaan. Damai sejahtera sejati mencakup ketenangan jiwa yang yakin akan keselamatannya melalui Kristus, kepastian yang dapat meredakan semua ketakutan yang kita miliki dalam hidup ini.

Damai sejahtera bukanlah keadaan yang tidak terganggu hanya karena kita tidak peduli apa yang terjadi. Sebaliknya, itu adalah keadaan yang tenang yang timbul dari kesadaran bahwa akan ada akhir yang benar bagi hidup dan dunia. Orang-orang Kristen memiliki damai sejahtera bersama Tuhan (Rm. 5:1). Yesus adalah Raja Damai (Yes. 9:6). Damai sejahtera dari Tuhan akan memelihara hati Anda (Flp. 4:7). Alkitab berkata, “Besarlah ketenteraman pada orang-orang yang mencintai Taurat-Mu, tidak ada batu sandungan bagi mereka” (Mzm. 119:165).

Kesabaran

Kesabaran (Yun. Makrothumia, terdiri dari dua kata, makro = lama; thumia = kemarahan atau amarah) lebih mengarah pada ketahanan menghadapi penderitaan. Itu adalah kemampuan menghadapi orang-orang yang sulit untuk waktu yang lama; sabar dalam menanggung perlawanan dan luka dari orang lain; lembut dan lambat dalam membalas; lambat untuk marah, lambat untuk menghukum.

Inilah yang seharusnya dilakukan orang Kristen di dalam keadaan yang sulit terhadap orang-orang daripada segera menjadi marah. Hal ini berkaitan dengan kemurahan, dan merupakan kebiasaan Tuhan. Akan tetapi, itu tidak berarti  membiarkan diri sendiri dimanfaatkan atau dilecehkan. Sama halnya juga, tahan menderita yang sejati bukanlah menjadi ”terlalu rohani” atau ”terlalu kudus” untuk marah kepada orang-orang jahat, atau tidak tegas dalam menindak dosa.

Kesabaran dalam arti yang lain (Yun. hupomone), tidak disinggung dalam daftar buah roh, adalah bersabar terhadap hal-hal, bukan orang. Kesabaran ini adalah  tidak menyerah kepada keadaan atau tunduk di bawah penderitaan, dan itu berkaitan dengan pengharapan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik (1 Tes. 1:3). Makrothumia menunjuk kepada kesabaran kepada orang lain, hupomone kesabaran kepada keadaan. Seorang makrothumia jika dia harus berhubungan dengan orang yang melukai dan tidak membiarkan dirinya sendiri terprovokasi oleh mereka atau meledak dalam amarah (2 Tim. 4:2). Seorang hupomone jika dia dikepung oleh penderitaan yang luar biasa dan dia bertahan serta tidak kehilangan hatinya yang berani. Tahan menderita (makrothumia) dan kesabaran (hupomone) muncul bersama-sama dalam Kolose 1:11; 2 Korintus 6:4-6; 2 Timotius 3:10; dan Yakobus 5:10 dan 11.

Kemurahan

Kemurahan (Yun. chrestotes) adalah murah hati, hati yang hangat, ramah, alami, lembut. Itu adalah kebajikan yang menyebar dan menembus seluruh sifat seseorang dan melunakkan segala sesuatu yang keras atau kaku. Kemurahan adalah siap dan rela melakukan perbuatan baik yang diekspresikan dalam tindakan yang menciptakan kesenangan atau kelegaan pada orang lain.

Penting untuk memisahkan kemurahan hati dengan perasaan. Mudah sekali merasa kasihan terhadap seseorang yang terjebak dalam kekacauan, dan mulai menjaga dia, yang malah melemahkan orang itu. Dalam banyak situasi, apa yang sesungguhnya dibutuhkan seseorang agar menjadi kuat adalah bertobat dan berjuang untuk memulihkan hidupnya sendiri dengan pertolongan Tuhan.

Tuhan itu baik bahkan terhadap orang yang tidak bersyukur (Luk. 6:35), dan kebaikan Tuhan memimpin orang kepada pertobatan (Roma 2:4), tetapi pada umumnya Tuhan membiarkan kita mengupayakannya sendiri. Bagi Tuhan tidaklah sulit untuk mengangkat beban dari kita ketika kita sangat tertekan, menciptakan uang di dalam tabungan kita ketika kita terlalu boros, memberi kekuatan pada tubuh kita ketika kita menonton tv hingga larut malam, dsb. Sebaliknya, Tuhan membiarkan kita memerangi keinginan kita dan mengendalikan pola makan kita, cara belanja kita, kebiasaan tidur kita, dsb.

Yesus Kristus berkata bahwa kuk-Nya “tidak berat” (bukan ”mudah” seperti yang banyak diterjemahkan), karena tidak ada yang kasar, tajam, atau ejekan tentang itu (Mat. 11:30). Anda dapat memikul kuk Kristus tanpa mengkhawatirkan akan mendapat luka lecet yang menyakitkan atau serpihan dari Tuhan. Siapa saja yang sudah bekerja keras dalam pelayanan Kristen dapat membuktikan fakta bahwa kuk Kristus tidak selalu “mudah,” tetapi selalu “tidak berat.”

Kebaikan

Kebaikan (Yun. agathosune) adalah kejujuran dalam hati dan kehidupan, kecermelangan moral. Biasanya kebaikan diiikuti dengan kegiatan daripada sifat di dalam, meskipun tindakan yang baik memancar dari hati yang baik: “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik…” (Luk. 6:45). Kebaikan bukanlah memahami diri atau berorientasi pada penghiburan. Banyak tugas “yang baik” tidak nyaman dilakukan, seperti yang diperlihatkan Yesus kepada kita ketika Dia mati di kayu salib.

Kebaikan memiliki banyak kesamaan dengan kemurahan. Jika tidak ada “kebaikan” dalam hidup Kristen atau dalam masyarakat kita, kejahatan berlanjut tanpa takut terhadap konsekuensi. Roma 15:14 berkata, “Saudara-saudaraku, aku sendiri memang yakin tentang kamu, bahwa kamu juga telah penuh dengan kebaikan dan dengan segala pengetahuan dan sanggup untuk saling menasihati.” Kita orang Kristen seharusnya saling menasihati, yang melibatkan teguran dan perbaikan, karena kita sekalian “penuh dengan kebaikan.”

Ini mengangkat satu pokok yang sangat penting berkenaan dengan buah roh. Masing-masing dapat diterapkan dalam kehidupan seorang Kristen, tidak semuanya pada saat yang sama, seperti yang kita lihat ketika kita membandingkan ”kemurahan” dan ”kebaikan.” Keduanya baik dan bermurah hati untuk memberikan makanan kepada seorang yang lapar. Akan tetapi, itu baik (dan pantas) untuk menghukum mati seorang pembunuh berantai, namun itu tidak ”murah hati” kepada dia. Sama halnya juga, adalah baik bagi Tuhan untuk membakar orang-orang yang jahat di dalam Gehenna (Why. 20:15), tetapi itu tidak ”murah hati” kepada mereka.

Kesetiaan

Kesetiaan (Yun. pistis) dapat juga berarti ”iman”. Iman adalah mempercayai Tuhan dan janji-janji-Nya; kesetiaan adalah iman yang berlanjut atau ketekunan. Itu adalah kesetiaan yang teguh kepada Tuhan dan kehendak-Nya. Kita mempercayai Tuhan karena Tuhan dapat diandalkan, bahkan lebih lagi dari itu, kita harus terus tinggal dalam iman itu hari demi hari, dengan demikian kita ”setia” kepada Dia. Sebagai tambahan, kita harus setia juga dalam hal-hal duniawi. Orang Kristen harus menjadi orang yang setia: sahabat yang setia, tetangga yang setia, orangtua yang setia, anak yang setia, dan setia dalam doa, memberi, dan kebajikan Kristen yang lain. Banyak orang memiliki iman untuk waktu yang singkat, atau hanya memiliki sedikit iman.

Kelemahlembutan

Kelemahlembutan (Yun. praotes) adalah kualitas kerendahan hati yang mengakui ketidaksempurnaan diri sendiri dan kekurangannya sehingga menghasilkan kesediaan untuk mendengarkan teguran dan perbaikan, demikian juga menolong orang lain tanpa terlalu menonjolkan otoritas seseorang atau terlalu menguasai mereka.

Kelemahlembutan adalah sikap tunduk terhadap kehendak Tuhan. Secara alkitabiah, kelemahlembutan adalah kemampuan untuk menerima pelatihan, pengajaran atau bahkan teguran dari orang lain tanpa perlawanan, marah, atau mencoba mendendam dan membalas, dan juga hal itu mencakup menjadi lembut ketika memimpin orang lain. Kelemahlembutan orang Kristen pertama-tama dan terutama adalah terhadap Tuhan. Itu adalah sifat roh di mana kita menerima penanganan-Nya terhadap kita sebagai sesuatu yang baik, dan oleh karena itu tanpa menimbulkan perbantahan atau penolakan.

Kelemahlembutan ilahi adalah sikap mental dari kuasa, bukan kelemahan. Asumsi yang umum adalah kelemahlembutan sama dengan menjadi ”pemalu” atau ”penakut,” dan itu berasal dari perasaan yang lemah, tetapi dalam hal ini kelemahlembutan kebalikan dari itu. Tuhan Yesus adalah ”lemah lembut dan rendah hati” (Mat. 11:29), sama sekali bukan sosok yang lemah. Dia dapat membimbing, dan mengambil pengarahan dari Tuhan dan orang lain di saat yang tepat. Seseorang yang lembut dapat sanggup berbuat itu karena kekuatan dan keyakinannya membuat dia rela mendengarkan orang lain. Musa adalah manusia yang terlembut di dunia dalam masanya, tetapi hidupnya dipenuhi dengan tanda-tanda ajaib dan mukjizat yang penuh kuasa (Bil. 12:3).

Penguasaan diri

Penguasaan diri (Yun. egkrateia, akar kata: kratos = kuasa dalam tindakan; mengerahkan kekuatan) adalah menjadi tuan atas diri sendiri. Seperti yang dipakai oleh orang-orang Yunani, egkrateia adalah kebajikan seseorang yang memiliki kuasa atas dirinya sendiri sehingga menguasai keinginan dan hasratnya, terutama nafsu sensualnya. Tuhan merancang kita agar kita tidak diperbudak oleh daging atau pikiran kita, tetapi sebaliknya kita dapat memakai kehendak kita untuk memutuskan apa yang kita pikirkan dan perbuat.

Seluruh konsep penguasaan diri menyiratkan bahwa terdapat sebuah standar penyesuaian. Jika tidak ada standar, maka tidak alasan untuk mengendalikan. Firman Tuhan adalah standar menurut apa yang Tuhan harapkan agar orang-orang mempraktikkan pengendalian diri, dan melecehkan Firman Tuhan dalam masyarakat kita sekarang ini adalah alasan terbesar mengapa orang begitu sangat kehilangan kendali dalam pikiran mereka, perasaan dan tindakan. Orang-orang tidak memiliki standar, jadi tidak ada alasan untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Lebih jauh lagi, sementara budaya kita menjadi semakin tidak kudus, kita orang Kristen harus mengenali bahwa apa yang sah tidak selalu kudus. Orang-orang Kristen tidak boleh hidup seperti orang yang tidak percaya yang menuruti keinginan daging (Ef. 2:3). Kita harus menghindari dosa, termasuk secara budaya menerima kegemaran dan sensualitas yang sah. Kita harus menguasai diri kita sendiri, meskipun membutuhkan upaya yang sangat keras (1 Kor. 9:24-27).

Penguasaan diri adalah mengendalikan situasi demi situasi dan keinginan daging kita. Sama halnya juga, penguasaan diri bukanlah mengalahkan kecenderungan dosa melalui praktik agamawi secara lahiriah, meskipun melakukan praktik kudus dalam kehidupan seseorang dapat menambah kemampuan seseorang untuk mengendalikan pikiran dan keinginannya. Penguasaan diri sejati berasal dari perpaduan antara keputusan kehendak bebas, hati yang benar di hadapan Tuhan, dan sifat rohani kita yang baru di dalam Kristus.

Seseorang dengan penguasaan diri yang luar biasa dapat mencapai banyak hal untuk dirinya sendiri. Penguasaan diri dapat menimbulkan ambisi kesombongan dan peninggian diri jika itu tidak dipadukan dengan buah roh yang lain, dan hasrat untuk melayani Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, tampaknya sangat cocok bahwa penguasaan diri adalah buah terakhir dalam daftar, karena hal tersebut menunjukkan bahwa kita orang Kristen memerlukan semua itu untuk menjalani hidup Kristen yang produktif dan kudus.

Hanya bagi kemuliaan-Nya