“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Jumat, 01 November 2013

PRINSIP KOMUNIKASI KRISTIANI



Prinsip Komunikasi Kristiani
Oleh: Niken Nababan

Komunikasi kristiani adalah elemen yang sangat fundamental dari kekristenan. Sejak awal penciptaan dunia ini, manusia tidak dimaksudkan untuk hidup sendiri. Orang Kristen harus hidup di dalam komunitasnya, yaitu gereja. “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah,.. “ (Efesus 2:19). Sejak menerima Kristus sebagai Juruselamat maka setiap orang Kristen menjadi bagian dari keluarga Allah, yang juga digambarkan Paulus sebagai bagian dari tubuh Kristus yang saling membutuhkan satu sama lain. “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.” (1 Korintus 12:27).  Selain bersekutu kita juga ditugaskan untuk mengerjakan Amanat Agung Tuhan Yesus, yaitu mengajar, menjadi saksi Kristus, dan menjadikan murid. Maka komunikasi menjadi sangat vital dalam persekutuan Kristiani bagaikan urat nadi dalam tubuh manusia, sebagaimana ungkapan Jonathan L. Parapak[1] dalam buku Kepemimpinan Kristiani (STT Jakarta 2003).

Alkitab penuh dengan contoh-contoh komunikasi. Pesan Allah kepada Adam dan Hawa sangat jelas dan tegas, komunikasinya langsung dan mudah dipahami. Semua persoalan komunikasi berakar di Taman Eden. Allah memilih hubungan yang sangat intim dengan manusia, yang Ia ciptakan sebagai makhluk yang dapat berkomunikasi. Adam berkomunikasi secara pribadi dengan menggunakan bahasa. Kemudian Iblis mengupayakan tipu daya untuk memunculkan keraguan akan firman Allah kepada Hawa hingga akhirnya menjatuhkan manusia. Maka komunikasi dengan Allah dan sesamanya menjadi retak.

Bagi seorang Kristen, kualitas komunikasi dengan Tuhan berperan penting dalam komunikasinya dengan sesama. Semakin dalam komunikasinya dengan Tuhan, semakin ia memahami apa yang Tuhan ingin ia perbuat terhadap diri, sesama, dan lingkungannya. Bila komunikasi dengan Sang Pencipta tidak berjalan lancar dan baik, komunikasi dengan sesama menjadi tidak efektif karena ia tidak bisa memahami sesamanya. Banyak masalah terjadi yang disebabkan oleh kegagalan seseorang dalam berkomunikasi. Kunci keberhasilan seseorang dalam berkomunikasi adalah kejernihan pikiran dan kejelasan akan apa yang hendak disampaikan, bukan sekadar kalimat-kalimat indah yang tak jelas maknanya.

Kita akan mempelajari komunikasi yang dilakukan Tuhan Yesus dalam perjalanan-Nya untuk menyelesaikan misi Allah. Yesus adalah komunikator yang agung. Ia memahami keadaan manusia (Yohanes 2:25). Ia, tahu setiap orang adalah berdosa dan membutuhkan Juruselamat (Lukas 5:30-32). Yesus berjalan bersama dengan orang- orang berdosa, berbicara dengan mereka, dan ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Ia mendatangi orang-orang itu di pinggir jalan, di ladang, di pesta pernikahan. Ia betul-betul mengenal audience-Nya.

Kedatangan Yesus ke dalam dunia merupakan metode Allah untuk berkomunikasi dengan manusia. Allah mempunyai berita, pesan, firman yang harus disampaikan kepada manusia. Tetapi Ia juga tidak mengabaikan metode penyampaiannya. Cara Tuhan menyampaikan firman kepada manusia pun beraneka ragam. Kepada Adam dan Hawa, Allah menyampaikan perintah-Nya dengan suara yang jelas. Kepada Raja Daud, Allah menegur melalui Nabi Natan dengan sindiran yang tegas dan keras. Kepada orang banyak, Yesus banyak menyampaikan perumpamaan-perumpamaan. Saat berkhotbah di bukit, Yesus menggunakan bahasa yang sederhana. Namun ketika berbicara dengan Nikodemus, seseorang yang terpelajar, Ia menggunakan bahasa yang filosofis. Dan itu baru sebagian dari cara Tuhan kita berkomunikasi. 

Tetapi di balik semua metode yang kreatif itu, Yesus memulai dari pengenalan dan pemahaman mengenai manusia yang dihadapi-Nya. Berita yang disampaikan-Nya selalu berorientasi kepada kebutuhan audience-Nya. Perhatikanlah bagaimana Ia mendekati perempuan Samaria sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab Injil Yohanes pasal 4. Yesus tidak mulai dengan "message" atau berita atau firman yang hidup itu. Memang Kabar Baik itulah yang menjadi kebutuhan utama wanita Samaria tersebut. Itu juga yang menjadi kebutuhan yang sebenarnya (real need) dari manusia. Tetapi dalam pendekatan-Nya, Yesus mulai dengan apa yang dirasakan (felt need) perempuan Samaria itu. "Berilah Aku minum" adalah kata-kata pembukaan Yesus ketika Ia mendekati perempuan Samaria itu pada waktu terik matahari di pinggir sumur Yakub. Kalimat itu tidak sekadar menyatakan bahwa Yesus membutuhkan air minum, tetapi kata-kata itu bisa juga berarti "Aku mau bersahabat denganmu". Ungkapan ini sungguh menggetarkan hati perempuan Samaria itu. Sebab baginya tidak mungkin seorang Yahudi mengungkapkan kata-kata seperti yang Yesus ucapkan kepada seorang Samaria.

Pendekatan Yesus kepada perempuan Samaria langsung menyentuh kebutuhannya. Rupanya wanita Samaria itu merasa tertolak oleh kaum Yahudi yang, sebagaimana kebanyakan kita, tidak senang dengan sikap penolakan oleh orang lain. Manusia membutuhkan penerimaan dan pengakuan orang lain. Ia akan merasa tidak aman kalau ditolak. Nah, Yesus mengetahui keadaan ini. Karena itu, Ia mulai dengan suatu sikap bersahabat, "Berilah Aku minum."

Komunikasi dikatakan sukses bila pihak lain (dalam hal ini pendengar atau audience, ada juga yang mengistilahkannya dengan komunikan), mengerti maksud kita sebagai pembawa pesan (komunikator) dan bertindak sesuai dengan keinginan kita terhadapnya. Namun untuk sampai kepada taraf itu, kita harus mulai memahami kebutuhan audience.








[1] Ir. Jonathan Parapak, M. Eng., adalah seorang pakar telekomunikasi nasional yang aktif melayani sejumlah komunitas Kristen di Indonesia. Chairman Across Asia Multimedia, dan Ketua Dewan Penyantun STT Jakarta.

Minggu, 28 April 2013

SEKARANG SUKACITAKU PENUH




SEKARANG SUKA CITAKU PENUH
Yohanes 16:20

Oleh Niken Nababan
disampaikan dalam Ibadah Paskah PMK Fakultas Peternakan UGM bersama anak-anak Panti Asuhan Griya Kasih Victory, Kalasan, Yogyakarta, 28 April 2013

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.

PENDAHULUAN

Siapakah orang di dunia ini yang tidak pernah menangis dan meratap? Jawabannya sudah pasti, tidak ada seorang pun di dunia ini yang belum pernah menangis dan meratap, kecuali dalam kondisi khusus, misalnya lahir cacat atau karena suatu penyakit. Setiap kita mempunyai jiwa dan roh yang bisa mengalami bermacam-macam perasaan. Setiap kita pasti pernah menghadapi situasi yang membuat kita bersedih sehingga kita menangis dan meratap. Ayub mengalami situasi ini ketika musibah menimpanya. Nabi Elia juga meratap ketika  takut akan ancaman musuhnya dan merasa tidak sanggup menghadapinya. Yeremia bahkan disebut sebagai nabi peratap karena kesedihannya yang begitu mendalam melihat kerusakan moral bangsa Israel. Nehemia menangis dan berkabung selama beberapa hari ketika mendengar keruntuhan Yerusalem. Dan masih banyak lagi tokoh yang lain dalam Alkitab. Tetapi semua tangisan dan ratapan itu berubah menjadi kelegaan dan sukacita yang tak terhingga bukan hanya setelah mereka melewati penderitaan itu melainkan juga di saat mereka masih mengalami penderitaa. Mengapa demikian? Karena mereka hidup di dalam Tuhan.
           
DUKACITA DI DALAM TUHAN

            Apa arti dukacita di dalam Tuhan? Apakah berbeda jika dukacita kita tidak di dalam Tuhan? Jika memang berbeda, lalu apa bedanya? Mari kita perhatikan Yohanes  16:21,  Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia. Ayat ini menggambarkan bagaimana seorang perempuan mengalami dukacita saat melahirkan. Seorang ibu yang mau melahirkan anak mengalami kesakitan luar biasa yang tak bisa diceritakan secara detail. Bahkan ada pepatah Jawa yang menggambarkan kesakitan seorang ibu ini sebagai “sewu lara dadi siji” yang artinya “seribu sakit menjadi satu”. Tak terbayangkan lagi bagaimana sakitnya itu. Tapi hanya sedetik setelah bayi itu keluar dari perutnya, rasa sakit yang luar biasa itu hilang seketika itu juga, digantikan oleh rasa gembira dan syukur yang luar biasa besar.
            Tuhan Yesus begitu tepat dan cermat sekali dalam membuat perumpamaan untuk menggambarkan apa artinya menangis dan meratap di dalam Tuhan. Kita tidak perlu malu untuk menangis ketika kita sedang mengalami kesedihan. Mungkin kita sedang menghadapi masalah atau berada dalam masa-masa sulit yang membuat kita harus menangis dan meratap, itu adalah hal yang wajar. Yesus memberikan jawabannya kepada kita. Kesedihan, air mata, dan dukacita merupakan hal yang umum bagi setiap orang di dunia ini, bahkan bagi Yesus. Yohanes mencatat peristiwa Yesus menangis ketika Lazarus, sahabatnya, meninggal. ‘Ketika Yesus melihat Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia, maka masygullah hati-Nya. Ia sangat terharu dan berkata: "Di manakah dia kamu baringkan?" Jawab mereka: "Tuhan, marilah dan lihatlah!" Maka menangislah Yesus.’ (Yohanes 11:33-35).
Yesus juga menangis ketika melihat betapa umat Yerusalem telah begitu dalam terjerumus dalam dosa. ‘Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya, kata-Nya: "Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu...”’ (Lukas 19:41-42). Air mata yang begitu saja mengalir ke luar menunjukkan bahwa menangis adalah hal yang wajar bagi setiap orang. Dalam keadaan kita sedang menderita, Yesus memberikan pengharapan bahwa semua kesedihan akan berakhir dengan sukacita jika kita tetap memegang teguh iman kita kepada-Nya dengan membawa seluruh kesedihan kita kepada-Nya, bukan malah menghindar dari-Nya. ‘Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu.’ (Yohanes 16:22). Alkitab telah mencatat hal baik yang akan kita terima jika kita menangis dan meratap di dalam Tuhan.

·         Yesus mengatakan bahwa orang yang berdukacita itu berbahagia. Tentu saja tidak akan terjadi pada semua orang tetapi hanya bagi orang-orang yang percaya dan menyerahkan hidupnya sepenuhnya kepada Yesus. Disebut oleh Tuhan Yesus sebagai orang yang berbahagia, karena Allah akan memberikan penghiburan kepadanya dengan sukacita ilahi yang sejati, bukan dengan sukacita ala dunia yang mudah sirna dan mengecewakan.  ‘Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.’ (Matius 5:4).

·         Tuhan Yesus menjanjikan penghiburan bagi mereka yang menangis di dalam Tuhan. Penderitaan kita hanya sementara dan akan berlalu tetapi penghiburan Tuhan adalah tidak terbatas, tersedia setiap waktu, tidak pernah habis, dan tidak bisa hancur. “Dan Ia, Tuhan kita Yesus Kristus, dan Allah, Bapa kita, yang dalam kasih karunia-Nya telah mengasihi kita dan yang telah menganugerahkan penghiburan abadi dan pengharapan baik kepada kita,” (2 Thessalonians 2:16).

·         Yesus membuka tangan-Nya lebar-lebar untuk menyambut setiap orang yang datang kepada-Nya menyerahkan segala permasalahan hidupnya. Namun kita harus sepenuh hati membiarkan Tuhan berkarya dalam hidup kita. Tuhan tidak dengan serta-merta mengangkat semua beban kita melainkan memberikan kekuatan kepada kita untuk memikulnya bersama-sama dengan Dia. Seringkali Tuhan mengijinkan kita mengalami penderitaan sebagai ujian keteguhan iman kita kepada-Nya ‘Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."’ (Matius 11:28-30).

·         Menderita sebagai pengikut Kristus adalah kasih karunia. Hal ini dinyatakan oleh Petrus dalam suratnya yang pertama., ‘Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah.’ (1 Petrus 2:20). Penderitaan karena iman kepada Kristus adalah panggilan Allah bagi semua orang Kristen.  Allah memanggil kita untuk hidup kudus (1:15), untuk bertumbuh (2:2), untuk menjadi saksi dan terang bagi orang lain (2:9), mengikut Yesus dalam penderitaan yang tidak adil (2:21-24), dan untuk menerima berkat dari kasih yang tidak membalas (3:9), dan kepada kemuliaan Kristus (5:10).  Panggilan ini berlaku dari dahulu, sekarang, dan sampai pada masa yang akan datang.

·         Rasul Paulus dapat merasakan kasih karunia Allah yang besar justru di dalam kelemahannya. “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” (2 Korintus 12:10).

CARA BERSERAH KEPADA TUHAN


·         Berdoa
·         Membaca Alkitab
·         Saat Teduh setiap hari
·         Ke Gereja
·         Ke pertemuan-pertemuan ibadah atau persekutuan

Sebagai manusia kita boleh saja mengatasi kesedihan kita dengan rekreasi, curhat ke teman, saudara, atau pembimbing rohani, namun penghiburan itu hanya sesaat dan terbatas. Maka yang terutama, segenap hidup kita harus diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan, bukan setengah-setengah. Bersama Tuhan kita akan kuat dan diberi kesanggupan untuk melewati berbagai perkara yang terjadi dalam kehidupan kita. Meski seumur hidup kita akan terus menghadapi masalah, namun kita tetap bersukacita karena kemenangan demi kemenangan yang kita peroleh. Dukacita kitapun berubah menjadi sukacita.
Penyerahan diri kepada Tuhan inipun harus merupakan penyerahan diri yang hidup. Artinya, penyerahan diri dengan perjuangan yang nyata dalam menjalani kehidupan kita. Contohnya, kita sudah rajin belajar tapi nilai ujiannya tetap buruk. Pertama yang dilakukan adalah bersyukur dan menyadari bahwa pencobaan yang kita alami adalah hal biasa, jauh lebih ringan dibandingkan penderitaan Tuhan Yesus. Kedua, datang kepada-Nya bukan berarti hari-hari hanya dipenuhi dengan doa, baca Alkitab, dan ke Gereja saja, melainkan kita juga harus belajar lebih keras lagi dengan usaha yang paling maksimal. Rasul Yakobus menyatakan dalam suratnya, “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” (Yakobus 2:17).

SEKARANG SUKACITAKU PENUH

Yesus tahu bahwa waktunya tidak akan lama lagi tinggal di bumi bersama-sama dengan murid-murid-Nya. Yesus sangat mengasihi murid-murid-Nya dan memberitahukan bahwa Ia akan meninggalkan mereka. Kepergian-Nya  akan membawa dampak yang sangat tidak menyenangkan bagi murid-murid-Nya. Yesus tahu bahwa Murid-murid-Nya akan  menangis, meratap, dan berdukacita karena kehilangan Yesus, tetapi di lain pihak orang-orang Yahudi akan bergembira karena mengira kematian Yesus adalah kemenangan bagi mereka. Karena itulah Yesus memberikan penguatan kepada murid-murid-Nya supaya berani menghadapi kematian Yesus dan penderitaan yang akan mereka alami. Yesus meneguhkan murid-murid-Nya agar mempunyai keyakinan dan pengharapan penuh bahwa kematian-Nya di kayu salib akan memberikan sukacita yang besar bagi orang-orang yang menerima-Nya karena hanya dengan cara itu manusia dapat diselamatkan dari dosa. Seluruh dukacita akan berubah menjadi sukacita bagi murid-murid Yesus dan bagi setiap orang yang menerima dan percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat manusia.
 Penyertaan Tuhan kepada kita tidaklah setengah-setengah, maka sukacita yang kita terima juga tidak setengah-setengah. Tuhan memberikan sukacita yang penuh kepada setiap orang yang datang dan meminta kepada-Nya. “Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu.” (Yohanes 16:24b). Yang Tuhan kerjakan ini bukanlah hanya menyelesaikan persoalan kehidupan kita di dunia ini saja tetapi juga persoalan yang jauh lebih besar dari pada itu yaitu kehidupan sesudah kita mati. Puncak pekerjaan Yesus di dunia ini adalah kerelaan-Nya mati di kayu salib untuk menggantikan kita yang seharusnya menerima hukuman kekal. Maka sukacita kitapun penuh karena Tuhan telah menyediakan tempat di surga bagi kita yang percaya kepada Kristus.

PENUTUP

Segala yang ada di dunia ini hanya sesaat saja. Kita lahir sesaat, hidup sesaat dan matipun sesaat, namun hanya ada satu kepastian untuk keabadian, Dia-lah Yesus Kristus Tuhan kita yang telah mengalahkan dukacita itu dalam waktu sesaat dan merubahnya menjadi sukacita yang abadi. Yesus menjanjikan sukacita kepada kita setelah mengalami kesedihan karena Ia setia mengasihi dunia. Kita tidak perlu takut dan gentar karena apapun pergumulan kita Yesus dapat menggantikannya dengan sukacita asal kita percaya dan menyerahkan hidup kita sepenuhnya ke dalam tangan-Nya. Penderitaan dan kedukaan bisa kita alami kapan saja. Dunia banyak menawarkan penghiburan, tapi semua itu hanya sesaat. Dunia juga bisa menawarkan keselamatan, tapi semuanya hanya semu dan akan cepat berakhir. Hanya Tuhanlah Penghibur sejati dan Pemberi keselamatan kekal. Mari datang kepada Tuhan dan Ia siap menyambut kita dengan kasih-Nya yang kekal. Amin.

Catatan Kecil:

Terharu hati saya melihat anak-anak Panti Asuhan Griya Kasih Victory yang tetap bersukacita dan bersemangat meskipun hidup di dalam keterbatasan. Mereka bersemangat memuji Tuhan, serius dalam mengikuti ibadah, dan hafal ayat-ayat Alkitab. Nampaknya mereka telah diajar dengan sangat baik oleh para pengurus panti untuk hidup mendekat kepada Tuhan. Waktu yang singkat itu telah mengajarkan kepada saya untuk tidak menyia-nyiakan karunia yang telah diberikan Tuhan. Rindu berbagi lagi dengan mereka.