“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Kamis, 16 Agustus 2012

FALSAFAH DALIHAN NA TOLU DALAM MASYARAKAT BATAK

FALSAFAH DALIHAN NA TOLU DALAM MASYARAKAT BATAK 
Oleh: Niken Nababan

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang terdiri dari  enam  suku  cabang,   yaitu  Toba,  Simalungun,  Karo,  Pakpak,  Dairi, Mandailing, dan Angkola. Sebagian orang Batak menganut agama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan Parmalim) dan juga penganut kepercayaan animisme  (disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.  Arti kata  “batak”  belum  dapat  dijelaskan secara pasti. Menurut J. Warneck, batak berarti ‘penunggang kuda yang  lincah’,  tetapi  menurut  H. N.  van  der  Tuuk,  batak  berarti  ‘kafir’,  sedangkan yang lain mengartikannya ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’.[i]  Sedangkan menurut Kamus Batak Indonesia yang ditulis oleh J. P. Sarumpaet, ”batak” berarti kukuh atau mantap.
Dalam masyarakat Batak adat merupakan persatu-paduan kebudayaan kerohanian dan kemasyarakatan yang meliputi kehidupan, keagamaan, hukum, kemasyarakatan atau kekerabatan, bahasa, seni, tehnologi, dan sebagainya.[ii] Orang  Batak  percaya  bahwa  adat  yang  diturunkan  oleh  nenek-moyang  itu diilhami oleh Debata Mulajadi Nabolon[iii]. Menurut mitologi suku Batak, Debata Mulajadi  Nabolon  adalah  ilah  yang  tidak bermula dan tidak berakhir.  Dia adalah   awal   dari   semua   yang   ada.[iv]   Dia  dipercaya  sebagai Allah Yang Mahatinggi,  yang  menjadikan  langit,  bumi  dan segala isinya, yang secara terus-menerus memelihara hidup ini. 
Dengan demikian sejak zaman berhala sesungguhnya orang Batak sudah mempercayai adanya Tuhan, dilihat dari perumpamaan yang mengatakan:
Disi si rungguk, disi sitata.
Disi hita juguk, disi do Namartua Debata.
(di mana ada rumput, di sana ada pisang;
di mana kita duduk, di sana ada Tuhan)

Perumpamaan ini menandakan bahwa  orang  Batak sudah mengenal Tuhan yang hadir di mana-mana.[v]  Tuhan  yang  dipanggil  dengan  Debata  Mulajadi Nabolon  menciptakan  Debata Natolu  melalui  telur-telur raksasa burung  Patiaraja  atau disebut juga Hulambujati. Debata Natolu adalah tiga dewa yang bernama  Batara Guru, Soripada (Sori) dan Mangala Bulan (Bala Bulan) yang masing-masing mempuyai kekuasaan dan tugas yang berbeda-beda.  Kepada  Debata  Natolu  diberikan  oleh  Debata Mulajadi Nabolon  wewenang sebagai penguasa kosmos: Benua Bawah, Benua Tengah dan Benua Atas.[vi]
Keyakinan itu juga terlihat pada ungkapan doa pemujaan martonggo (memanggil sang ilah):
“Daompung, Debata na tolu, na tolu suhu, na tolu harajaon sian langit na  pitu  tindi,  sian  ombun  na  pitu  lapis”.  (Ompung[vii]  kami,  Dewa  Tritunggal, yang berfungsi tiga, yang menguasai tiga wilayah kerajaan yang terdapat di langit yang tujuh tingkat dan di atas awan-awan yang terdiri dari tujuh lapis).

Ketiga dewa itu kemudian menikah dan melahirkan banyak keturunan. Dari Bataraguru, lahir anak perempuan bernama Boru Deak-Parujar. Dari salah satu dewa yang lain, lahir anak laki-laki bernama Raja Odap-odap. Boru Deak-Parujar menikah dengan Raja Odap-odap dan pada generasi keenam lahirlah Raja Batak yang diakui sebagai nenek moyang suku Batak.
Satu  identitas  khusus  yang  meliputi seluruh orang Batak   ̶  yang tak dipunyai oleh suku lain di Indonesia  ̶   ialah pembagian masyarakat atas tiga golongan fungsional, yang disebut  dengan  istilah  Dalihan Na Tolu.[viii]  Tiga  golongan fungsional tersebut adalah: hula-hula, dongan sabutuha dan boru.[ix] Hula-hula, dongan sabutuha  dan  boru  mewakili (represent)  dunia bawah, tengah dan atas.  Ketiganya  bersama-sama  membentuk  sebuah  komunitas masyarakat (microcosmic).[x] Sistem sosial Dalihan Na Tolu juga merupakan refleksi dari Debata Na Tolu.  Batara Guru, penguasa benua bawah, diwakili hula-hula, memakai simbol ulos. Soripada, penguasa Benua Tengah, diwakili dongan sabutuha, memakai simbol pustaha, berisi aturan-aturan yang mengatur tata-tertib dan kerjasama keseluruhan kosmos. Balabulan, penguasa Benua Atas, diwakili oleh boru, memakai simbol piso[xi]. Masing-masing unsur tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda, namun saling melengkapi satu sama lain.
Pengertian Dalihan Na Tolu secara literal adalah satuan tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu.  Pada zamannya,  kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu,  dalam bahasa Batak disebut dalihan.  Falsafah Dalihan Na Tolu dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.  Tungku merupakan  bagian peralatan rumah yang sangat vital karena digunakan  untuk  memasak  makanan  dan  minuman  yang  terkait  dengan  kebutuhan untuk hidup keluarga.  Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk yang ukurannya tidak sama persis. Maka digunakanlah benda lain untuk mengganjal agar posisinya dapat sejajar.  Dalam  bahasa Batak, benda itu disebut sihal-sihal. Maka kemudian muncul istilah falsafah dalihan na tolu paopat sihal-sihal.
Dalihan Na Tolu diuraikan dalam tiga tatanan adat: Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.  Itulah  tatanan adat Batak  yang cukup  adil  dan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial sejak lahir sampai meninggal dunia.  Ketiga-tiganya saling berhubungan menurut pola tertentu, sehingga menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Setiap orang Batak akan menduduki  semua posisi dalam konteksnya masing-masing.  Ada  saatnya  menjadi hula-hula, di saat lain bisa menjadi boru atau dongan tubu.  Semua  posisi ini memiliki kewajiban dan hak masing-masing yang harus dijalankan dengan senang hati, bahkan sebelum diminta.

Somba marhula-hula

Hula-hula adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu (marga dari pihak perempuan). Yang termasuk dalam golongan hula-hula:
1.      Simatua, yakni mertua (orang tua istri) beserta abang dan adiknya, serta saudara-saudaranya semarga.
2.      Tulang atau Simatua ni Ama, yakni mertua ayah beserta saudara-saudaranya semarga.
3.      Bona Tulang atau Simatua ni Ompung, yakni mertua dari Ompung beserta saudara-saudaranya semarga.
4.      Bona ni ari[xii], yakni mertua dari ayah ompung beserta saudara-saudaranya semarga.  Bona ni ari  merupakan lapisan hula-hula tingkat teratas.
5.      Hula-hula  pangalapan  boru,  yakni  mertua  dari  putra-putri  seseorang, yang telah berumah tangga beserta saudara-saudaranya semarga.

Pihak hula-hula menempati kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Batak.  Penghormatan  tersebut  harus  selalu  ditunjukkan  dalam sikap, perkataan dan perbuatan. Orang Batak harus somba mar hula-hula, yang berarti harus bersikap hormat, tunduk serta patuh terhadap hula-hula.  Keputusan hula-hula  dalam musyawarah adat,  sulit ditentang.  Dalam adat  Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki.   Pihak perempuan pantas dihormati karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada suatu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung (kakek) dan seterusnya.
Hula-hula diibaratkan sebagai sumber air kehidupan, karena dianggap merupakan pangalapan pasu-pasu dohot pangalapan tua, yakni merupakan sumber berkat dan kebahagiaan, terutama berkat berupa keturunan putra dan putri.[xiii] Pihak boru tidak akan berani melawan hula-hulanya karena diyakini perbuatan itu akan dikutuk oleh sahala hula-hula, sehingga dia tidak akan memperoleh keturunan, sengsara, jatuh sakit, panen gagal, kemalangan dan   sebagainya.[xiv]
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.[xv] Sahala mencakup kewibawaan, kekayaan harta benda dan turunan, keberanian, kegagahan, kecerdasan, kecerdikan, kemahiran bicara, keluhuran budi, rasa keadilan, kesaktian dalam ilmu gaib,  pengetahuan yang luas,  dan lain sebagainya.[xvi] Sahala is the quality, natural disposition as well as the destiny of man.[xvii] Boru memandang hula-hula sebagai orang yang dikaruniai dengan sahala. Sahala ini dapat memencarkan pengaruh yang berfaedah dan menyelamatkan bagi boru, tetapi dalam pada itu, kekuasaannya menciptakan rasa takut dan hormat kepadanya.[xviii] Sekelompok kecil warga Batak masih     menerapkan ajaran Dalihan Na Tolu bersifat spiritisme, yaitu kepercayaan akan adanya kuasa arwah (roh) nenek moyang, karena adanya sahala tersebut.
Kualitas hasangapon (kedudukan terhormat) suatu keluarga tidak lepas dari penerapan ajaran Dalihan Na Tolu, yaitu suatu proses adat melalui upaya mendapatkan doa berkat dari hula-hula. Doa berkat itu umumnya diyakini suku Batak memberikan berkat hamoraon (kekayaan) dan hagabeon (keturunan),  suatu keyakinan yang sulit dijelaskan tetapi nyata dalam kehidupan setiap warga Batak, di mana saja, kapan saja dan kepada siapa saja yang menerapkan ajaran adat Dalihan Na Tolu.[xix]  T. M. Sihombing[xx] menulis: Molo naeng ho gabe, somba/hormat ma ho marhula-hula.[xxi] Artinya: “Kalau kamu mau mendapat keturunan, hormatlah kepada Hula-hula”.
Terdapat juga umpasa (ungkapan): Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak adalah ubi yang dianggap   sebagai salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar,  seakan-akan busuk dan isinya berair.  Pernyataan itu mengandung makna: “Pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah”.
Di dalam satu wilayah, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula. Apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu   terdapat   sikap-sikap   yang  tidak  menghormati  hula-hula,  sehingga  pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu  kepada pihak hula-hula.

Manat mar Dongan Tubu

Dongan tubu (dongan sabutuha)[xxii] adalah saudara semarga atau  sekelompok masyarakat dalam satu rumpun marga, yaitu orang-orang  seketurunan menurut garis bapak; para turunan laki-laki dari satu leluhur.  Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat, mereka menyatukan diri. Misalnya, Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing, terdiri dari Silaban, Lumbantoruan, Nababan dan Hutasoit.
Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Itulah sebabnya orang Batak diperintahkan untuk manat mardongan tubu, yang artinya: menaruh hormat dan bersikap hati-hati kepada saudara semarga agar tidak menyakiti hatinya. Untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian), orang Batak selalu membicarakannya terlebih dahulu dengan saudara semarga. Hal itu berguna untuk menghindarkan  kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat.
Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan sampai pada perkelahian. Masalah warisan juga sering menjadi penyebab pertikaian di kalangan na mardongan tubu. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Karena dekatnya hubungan na mardongan tubu, dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho” (kau), “ampara” (saudara),  “amani aha” (bapa si …),  dan lain-lain, panggilan yang sangat akrab. Namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian.
Sebuah  nasihat  untuk  mengingatkan  orang  Batak: Molo naeng ho sangap manat ma ho mardongan sabutuha.[xxiii] Maksudnya adalah: “Jika kamu ingin  dihormati  maka  bersikap hormatlah kepada saudara semarga”. Atau dengan kata lain, “berikanlah hormat kepada orang yang menghormatimu”.   Sebutlah “amang” (bapa) kepada saudara semarga yang setingkat dengan ayah; “hahang” (abang) kepada saudara yang lebih tua; “anggia” (adik) kepada   saudara yang lebih muda. Jangan meninggikan diri kepada saudara semarga meskipun lebih kaya atau memiliki pangkat lebih tinggi.  Jika nasihat ini diikuti maka dengan sendirinya akan mendapatkan kehormatan di antara saudara semarga, bahkan kehormatan di tengah-tengah masyarakat.

Elek Marboru

Yang termasuk Boru adalah:
1.      Anak perempuan.
2.      Saudara perempuan dari laki-laki.
3.      Kelompok Marga dari menantu laki-laki (hela).

Elek marboru adalah suatu sikap lemah lembut terhadap pihak “boru” agar dengan cara itu mereka mampu secara ikhlas mendukung pelaksanaan   acara adat.[xxiv] Sebuah nasihat Batak berbunyi demikian: Molo naeng ho mamora elek ma ho marboru. Artinya: “Jika kamu ingin memperoleh kekayaan, bersikap lembutlah kepada boru”. Bersikap lembut ini memiliki arti luas yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Tidak boleh memperlakukan boru dengan sikap yang tidak pantas.
2.      Tidak boleh menyuruh atau memerintah boru dengan paksa di segala waktu dan segala hal.
3.      Tidak boleh membentak-bentak boru.
4.      Tidak boleh menolak keinginan boru. Jika terpaksa harus menolak karena tidak tersedia apa yang diharapkan boru, maka tidak boleh memarahinya  tapi  harus  menyampaikan  dengan kata-kata yang halus.
5.      Harus lemah-lembut dalam berkata-kata dan bersikap santun saat menyuruh atau mengharapkan sesuatu dari boru.
6.      Harus bersikap baik dan menyapa dengan halus setiap saat.

Konsep hamoraon dalam kultur Batak cenderung bersifat materialistik. Ajaran adat Dalihan Na Tolu dapat berjalan efektif, jika pelaksanaannya berorientasi pada ajaran hidup kekerabatan Batak yang bersifat “family atmosphere”, artinya kekayaan materi itu tidak bersifat individualistis dan selalu dikaitkan dengan kepentingan keluarga dekat.[xxv] Jika orang Batak (hula-hula) bersikap lemah-lembut dan santun kepada borunya, pasti boru berserta suami dan keluarganya  akan  selalu  mengasihi,  mencari,  dan  tidak  akan tega melihat kerepotan Hula-hula.  Mendapatkan kasih sayang dan pelayanan dari boru itulah yang dimaksud dengan kekayaan (hamoraon) yang sesungguhnya.

INTI AJARAN ADAT DALIHAN NA TOLU

No
Sikap Batin
Wujud
Sasaran
1.
Saling Menghormati (Marsihormatan)
Somba marhula-hula
Banyak Keturunan (Hagabeon)
2.
Saling Menghargai (Marsipangasapon)
Manat mardongan tubu
Kehormatan (Hasangapon)
3.
Saling Menolong (Marsiurupan)
Elek marboru
Kekayaan (Hamoraon)


*Tulisan ini adalah bagian dari Thesis yang ditulis untuk menyelesaikan Program Pasca Sarjana Magister Theologi STT Nazarene Indonesia Yogyakarta.


[i] Lumbantobing Andar M., Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 2, 1996, h. 1.
[ii] Marbun, M. A., Kamus Budaya Batak Toba, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, h. 13.
[iii] Lihat catatan kaki BAB I halaman 9.
[iv] Lumbantobing Andar M., Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 2, 1996, h. 7.
[v] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia: Buku Penghormatan 70 tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, h. 197.
[vi] Marbun, M. A., Kamus Budaya Batak Toba, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, h. 39.
[vii] Ompung berarti kakek atau nenek. Tapi dalam konteks kalimat ini adalah merupakan panggilan kepada orang yang sangat dihormati atau ditinggikan di antara keluarga, atau kelompok marga atau seluruh orang Batak.
[viii] Marbun, M. A., Kamus Budaya Batak Toba, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, h. 28.
[ix] Tobing O. L., Ph.,  The Structure  of  The Toba-Batak Belief  in  The High God,  South   and South-East Celebes Institute For Culture, Jakarta, Cet. 3, 1994, p. 148.
[x] Ibid, p. 150.
[xi] Piso adalah sebuah benda tajam yang ujungnya runcing, terbuat dari logam. Piso melambangkan setiap pembicaraan pihak Boru kepada pihak Hula-hula sesuai dengan bunyi cerita mitos yang mendasari filsafat tritunggal dalam kebudayaan Batak. (Kamus Budaya Batak karya H. Marbun halaman 141).
Pisopiso adalah uang yang diberikan oleh Boru dan Hela (suami dari Boru) kepada Hula-hula setelah mereka menerima ulos pada pesta adat perkawinan. (Kamus Batak Indonesia karya J. P. Sarumpaet halaman 216).
[xii] Bona ni ari = asal atau sumber matahari kehidupan.
[xiii] Dalam peribahasa disebut: hula-hula, mata ni mual si partio-tioon, mata ni ari so suharon. Artinya Hula-hula adalah sumber air yang harus selalu dipelihara supaya tetap jernih, dan matahari yang tak boleh ditentang. (Sumber: Kamus Budaya Batak karya M. A. Marbun)
[xiv] Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, h. 22.
[xv] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, Cet. 10, 1985, h. 114.
[xvi] Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, h. 21.
[xvii] Tobing O. L., Ph.,  The Structure  of  The Toba-Batak Belief  in  The High God,  p. 101.
[xviii]Vergouwen J. C., Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,  Pustaka Azet, Jakarta, Cet. 1, 1985, h. 62.
[xix] Panggabean H. P., Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu (Himpunan Karya Tulis), Penerbit Dian Utama, Jakarta, 2007, h. 18.
[xx] T. M. Sihombing  adalah mantan Inspektur Bahasa Batak Toba Sumatera Utara.
[xxi] Sihombing T. M., Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat, C. V. Tulus Jaya, 1989, h. 276.
[xxii] Dongan Tubu = Saudara semarga yang bukan kandung; Dongan Sabutuha = Saudara semarga kandung.
[xxiii] Sihombing T. M., Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat, h. 275.
[xxiv] Panggabean H. P., Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu (Himpunan Karya Tulis), Penerbit Dian Utama, Jakarta, 2007, h. 139.
[xxv] Ibid, h. 48.