“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Kamis, 17 April 2014

BUAH ROH (Galatia 5:22-25)

BUAH ROH (Galatia 5:22-25)
Oleh: Niken Nababan



22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.
24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.
25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,

Kata "buah" ditulis dalam bentuk "tunggal", artinya daftar kebajikan itu merupakan kesatuan dan kepaduan dari hidup di dalam Roh. Dapat kita umpamakan bahwa "Buah Roh" itu adalah "satu buah dengan 9 rasa" (kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri), ke-9 nya tampak dan terbukti secara bersama-sama.

Kita tidak perlu memberikan suatu strata dari setiap kebajikan yang dirincikan itu, misalnya menempatkan kasih lebih diatas sukacita, damai-sejahtera dan seterusnya. Kata buah yang tunggal itu menghasilkan suatu sifat yang jamak sang saling berkait satu sama lain dalam kesatuan. Yesus Kristus adalah contoh sempurna, karena di dalam Pribadi inilah tampak secara sempurna rincian buah Roh itu.

Kasih

Kata Yunani untuk kasih adalah agape. Kasih adalah sifat inti Tuhan, karena Tuhan adalah kasih (1 Yoh. 4:7-12 dan 16). Kasih dinyatakan melalui tindakan yang dihasilkannya (Yoh. 3:16; 1 Kor. 13:1-8). Kasih Kristen bukan suatu gerakan hati yang didasarkan pada perasaaan, juga tidak selalu sesuai dengan kecenderungan alami kita, juga tidak tercurah hanya pada hal-hal yang kita sukai secara alami atau menyenangkan atau indah.

Yesus mengatakan hal itu dengan sangat jelas: ”Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku ... Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firman-Ku ...” (Yoh. 14:21 dan 24). Yesus juga memberi teladan dalam kasih sejati kepada kita ketika Dia menderita dan mati, sesuatu yang jelas tidak dikehendaki-Nya. Kasih agape adalah suatu latihan dalam kehendak, pilihan yang disengaja, di mana itulah sebabnya Tuhan dapat memerintahkan kita untuk mengasihi musuh kita (Kel. 23:1-5; Mat. 5:44).

Kasih menggerakkan iman (Gal. 5:6), dan menguatkan kita untuk memberi dan terus memberi. Orang-orang Kristen harus dikenal karena kasih mereka terhadap satu dengan yang lain (Yoh. 13:35). Kasih adalah karakter yang istimewa dari kehidupan Kristen dalam hubungan dengan sesama saudara dan kepada semua umat manusia.

Sukacita

Sukacita (Yun. chara) adalah kualitas hidup yang timbul dari pengenalan kepada Tuhan, mempercayai-Nya, apa yang sudah diberikan-Nya kepada kita, dan apa yang dijanjikan-Nya kepada kita di masa depan. Ini adalah kegembiraan oleh karena pengharapan atau karena memperoleh berkat jasmani dan rohani. Kegembiraan semacam itu tidak dapat diambil dari kita oleh penderitaan dalam hidup ini, dan karena itu sukacita sejati tidak dipadamkan oleh kekhawatiran dari dunia ini. Kita harus membuat sukacita kita dapat terlihat agar orang lain dapat dimenangkan oleh sukacita tersebut.

Yesus adalah contoh kita yang terutama dari sukacita (Yoh. 15:11). Sukacita memberikan kita dasar yang kuat untuk optimisme; itu menolong kita melihat kepada masa depan yang diinginkan dan yang memungkinkan (Ibr. 12:2); dan itu menguatkan kita karena pekerjaan yang harus kita lakukan (Neh. 8:10). Tuhan memerintahkan kita untuk bersukacita (1 Tes. 5:16; Flp. 3:1), jadi itu harus merupakan pilihan dari kehendak kita, yang didasarkan pada bagaimana kita memandang keadaan kita. Sukacita dapat dihasilkan dari cara kita memilih untuk menafsirkan hal-hal yang terjadi kepada kita, terutama hal-hal yang menyakitkan (Yak. 1:2). Rasul-rasul bersukacita setelah disiksa, di mana mereka dipandang layak untuk menanggung malu demi nama Yesus (Kis. 5:41). Sukacita berkaitan dengan sikap bersyukur.

Damai Sejahtera

Damai sejahtera (Yun. Eirene) adalah ketenangan, keheningan, ketentraman; timbul karena kekuatan dari dalam, suatu kelepasan dari amukan dan kekacauan konflik di dalam atau di luar. Ini berkaitan kata Ibrani shalom, yang merupakan salam dari Yahudi kuno dan ucapan selamat sejahtera, yang mencakup konsep kesejahteraan menyeluruh, termasuk perlindungan, keamanan, keselarasan, kemakmuran dan kebahagiaan. Damai sejahtera sejati mencakup ketenangan jiwa yang yakin akan keselamatannya melalui Kristus, kepastian yang dapat meredakan semua ketakutan yang kita miliki dalam hidup ini.

Damai sejahtera bukanlah keadaan yang tidak terganggu hanya karena kita tidak peduli apa yang terjadi. Sebaliknya, itu adalah keadaan yang tenang yang timbul dari kesadaran bahwa akan ada akhir yang benar bagi hidup dan dunia. Orang-orang Kristen memiliki damai sejahtera bersama Tuhan (Rm. 5:1). Yesus adalah Raja Damai (Yes. 9:6). Damai sejahtera dari Tuhan akan memelihara hati Anda (Flp. 4:7). Alkitab berkata, “Besarlah ketenteraman pada orang-orang yang mencintai Taurat-Mu, tidak ada batu sandungan bagi mereka” (Mzm. 119:165).

Kesabaran

Kesabaran (Yun. Makrothumia, terdiri dari dua kata, makro = lama; thumia = kemarahan atau amarah) lebih mengarah pada ketahanan menghadapi penderitaan. Itu adalah kemampuan menghadapi orang-orang yang sulit untuk waktu yang lama; sabar dalam menanggung perlawanan dan luka dari orang lain; lembut dan lambat dalam membalas; lambat untuk marah, lambat untuk menghukum.

Inilah yang seharusnya dilakukan orang Kristen di dalam keadaan yang sulit terhadap orang-orang daripada segera menjadi marah. Hal ini berkaitan dengan kemurahan, dan merupakan kebiasaan Tuhan. Akan tetapi, itu tidak berarti  membiarkan diri sendiri dimanfaatkan atau dilecehkan. Sama halnya juga, tahan menderita yang sejati bukanlah menjadi ”terlalu rohani” atau ”terlalu kudus” untuk marah kepada orang-orang jahat, atau tidak tegas dalam menindak dosa.

Kesabaran dalam arti yang lain (Yun. hupomone), tidak disinggung dalam daftar buah roh, adalah bersabar terhadap hal-hal, bukan orang. Kesabaran ini adalah  tidak menyerah kepada keadaan atau tunduk di bawah penderitaan, dan itu berkaitan dengan pengharapan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik (1 Tes. 1:3). Makrothumia menunjuk kepada kesabaran kepada orang lain, hupomone kesabaran kepada keadaan. Seorang makrothumia jika dia harus berhubungan dengan orang yang melukai dan tidak membiarkan dirinya sendiri terprovokasi oleh mereka atau meledak dalam amarah (2 Tim. 4:2). Seorang hupomone jika dia dikepung oleh penderitaan yang luar biasa dan dia bertahan serta tidak kehilangan hatinya yang berani. Tahan menderita (makrothumia) dan kesabaran (hupomone) muncul bersama-sama dalam Kolose 1:11; 2 Korintus 6:4-6; 2 Timotius 3:10; dan Yakobus 5:10 dan 11.

Kemurahan

Kemurahan (Yun. chrestotes) adalah murah hati, hati yang hangat, ramah, alami, lembut. Itu adalah kebajikan yang menyebar dan menembus seluruh sifat seseorang dan melunakkan segala sesuatu yang keras atau kaku. Kemurahan adalah siap dan rela melakukan perbuatan baik yang diekspresikan dalam tindakan yang menciptakan kesenangan atau kelegaan pada orang lain.

Penting untuk memisahkan kemurahan hati dengan perasaan. Mudah sekali merasa kasihan terhadap seseorang yang terjebak dalam kekacauan, dan mulai menjaga dia, yang malah melemahkan orang itu. Dalam banyak situasi, apa yang sesungguhnya dibutuhkan seseorang agar menjadi kuat adalah bertobat dan berjuang untuk memulihkan hidupnya sendiri dengan pertolongan Tuhan.

Tuhan itu baik bahkan terhadap orang yang tidak bersyukur (Luk. 6:35), dan kebaikan Tuhan memimpin orang kepada pertobatan (Roma 2:4), tetapi pada umumnya Tuhan membiarkan kita mengupayakannya sendiri. Bagi Tuhan tidaklah sulit untuk mengangkat beban dari kita ketika kita sangat tertekan, menciptakan uang di dalam tabungan kita ketika kita terlalu boros, memberi kekuatan pada tubuh kita ketika kita menonton tv hingga larut malam, dsb. Sebaliknya, Tuhan membiarkan kita memerangi keinginan kita dan mengendalikan pola makan kita, cara belanja kita, kebiasaan tidur kita, dsb.

Yesus Kristus berkata bahwa kuk-Nya “tidak berat” (bukan ”mudah” seperti yang banyak diterjemahkan), karena tidak ada yang kasar, tajam, atau ejekan tentang itu (Mat. 11:30). Anda dapat memikul kuk Kristus tanpa mengkhawatirkan akan mendapat luka lecet yang menyakitkan atau serpihan dari Tuhan. Siapa saja yang sudah bekerja keras dalam pelayanan Kristen dapat membuktikan fakta bahwa kuk Kristus tidak selalu “mudah,” tetapi selalu “tidak berat.”

Kebaikan

Kebaikan (Yun. agathosune) adalah kejujuran dalam hati dan kehidupan, kecermelangan moral. Biasanya kebaikan diiikuti dengan kegiatan daripada sifat di dalam, meskipun tindakan yang baik memancar dari hati yang baik: “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik…” (Luk. 6:45). Kebaikan bukanlah memahami diri atau berorientasi pada penghiburan. Banyak tugas “yang baik” tidak nyaman dilakukan, seperti yang diperlihatkan Yesus kepada kita ketika Dia mati di kayu salib.

Kebaikan memiliki banyak kesamaan dengan kemurahan. Jika tidak ada “kebaikan” dalam hidup Kristen atau dalam masyarakat kita, kejahatan berlanjut tanpa takut terhadap konsekuensi. Roma 15:14 berkata, “Saudara-saudaraku, aku sendiri memang yakin tentang kamu, bahwa kamu juga telah penuh dengan kebaikan dan dengan segala pengetahuan dan sanggup untuk saling menasihati.” Kita orang Kristen seharusnya saling menasihati, yang melibatkan teguran dan perbaikan, karena kita sekalian “penuh dengan kebaikan.”

Ini mengangkat satu pokok yang sangat penting berkenaan dengan buah roh. Masing-masing dapat diterapkan dalam kehidupan seorang Kristen, tidak semuanya pada saat yang sama, seperti yang kita lihat ketika kita membandingkan ”kemurahan” dan ”kebaikan.” Keduanya baik dan bermurah hati untuk memberikan makanan kepada seorang yang lapar. Akan tetapi, itu baik (dan pantas) untuk menghukum mati seorang pembunuh berantai, namun itu tidak ”murah hati” kepada dia. Sama halnya juga, adalah baik bagi Tuhan untuk membakar orang-orang yang jahat di dalam Gehenna (Why. 20:15), tetapi itu tidak ”murah hati” kepada mereka.

Kesetiaan

Kesetiaan (Yun. pistis) dapat juga berarti ”iman”. Iman adalah mempercayai Tuhan dan janji-janji-Nya; kesetiaan adalah iman yang berlanjut atau ketekunan. Itu adalah kesetiaan yang teguh kepada Tuhan dan kehendak-Nya. Kita mempercayai Tuhan karena Tuhan dapat diandalkan, bahkan lebih lagi dari itu, kita harus terus tinggal dalam iman itu hari demi hari, dengan demikian kita ”setia” kepada Dia. Sebagai tambahan, kita harus setia juga dalam hal-hal duniawi. Orang Kristen harus menjadi orang yang setia: sahabat yang setia, tetangga yang setia, orangtua yang setia, anak yang setia, dan setia dalam doa, memberi, dan kebajikan Kristen yang lain. Banyak orang memiliki iman untuk waktu yang singkat, atau hanya memiliki sedikit iman.

Kelemahlembutan

Kelemahlembutan (Yun. praotes) adalah kualitas kerendahan hati yang mengakui ketidaksempurnaan diri sendiri dan kekurangannya sehingga menghasilkan kesediaan untuk mendengarkan teguran dan perbaikan, demikian juga menolong orang lain tanpa terlalu menonjolkan otoritas seseorang atau terlalu menguasai mereka.

Kelemahlembutan adalah sikap tunduk terhadap kehendak Tuhan. Secara alkitabiah, kelemahlembutan adalah kemampuan untuk menerima pelatihan, pengajaran atau bahkan teguran dari orang lain tanpa perlawanan, marah, atau mencoba mendendam dan membalas, dan juga hal itu mencakup menjadi lembut ketika memimpin orang lain. Kelemahlembutan orang Kristen pertama-tama dan terutama adalah terhadap Tuhan. Itu adalah sifat roh di mana kita menerima penanganan-Nya terhadap kita sebagai sesuatu yang baik, dan oleh karena itu tanpa menimbulkan perbantahan atau penolakan.

Kelemahlembutan ilahi adalah sikap mental dari kuasa, bukan kelemahan. Asumsi yang umum adalah kelemahlembutan sama dengan menjadi ”pemalu” atau ”penakut,” dan itu berasal dari perasaan yang lemah, tetapi dalam hal ini kelemahlembutan kebalikan dari itu. Tuhan Yesus adalah ”lemah lembut dan rendah hati” (Mat. 11:29), sama sekali bukan sosok yang lemah. Dia dapat membimbing, dan mengambil pengarahan dari Tuhan dan orang lain di saat yang tepat. Seseorang yang lembut dapat sanggup berbuat itu karena kekuatan dan keyakinannya membuat dia rela mendengarkan orang lain. Musa adalah manusia yang terlembut di dunia dalam masanya, tetapi hidupnya dipenuhi dengan tanda-tanda ajaib dan mukjizat yang penuh kuasa (Bil. 12:3).

Penguasaan diri

Penguasaan diri (Yun. egkrateia, akar kata: kratos = kuasa dalam tindakan; mengerahkan kekuatan) adalah menjadi tuan atas diri sendiri. Seperti yang dipakai oleh orang-orang Yunani, egkrateia adalah kebajikan seseorang yang memiliki kuasa atas dirinya sendiri sehingga menguasai keinginan dan hasratnya, terutama nafsu sensualnya. Tuhan merancang kita agar kita tidak diperbudak oleh daging atau pikiran kita, tetapi sebaliknya kita dapat memakai kehendak kita untuk memutuskan apa yang kita pikirkan dan perbuat.

Seluruh konsep penguasaan diri menyiratkan bahwa terdapat sebuah standar penyesuaian. Jika tidak ada standar, maka tidak alasan untuk mengendalikan. Firman Tuhan adalah standar menurut apa yang Tuhan harapkan agar orang-orang mempraktikkan pengendalian diri, dan melecehkan Firman Tuhan dalam masyarakat kita sekarang ini adalah alasan terbesar mengapa orang begitu sangat kehilangan kendali dalam pikiran mereka, perasaan dan tindakan. Orang-orang tidak memiliki standar, jadi tidak ada alasan untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Lebih jauh lagi, sementara budaya kita menjadi semakin tidak kudus, kita orang Kristen harus mengenali bahwa apa yang sah tidak selalu kudus. Orang-orang Kristen tidak boleh hidup seperti orang yang tidak percaya yang menuruti keinginan daging (Ef. 2:3). Kita harus menghindari dosa, termasuk secara budaya menerima kegemaran dan sensualitas yang sah. Kita harus menguasai diri kita sendiri, meskipun membutuhkan upaya yang sangat keras (1 Kor. 9:24-27).

Penguasaan diri adalah mengendalikan situasi demi situasi dan keinginan daging kita. Sama halnya juga, penguasaan diri bukanlah mengalahkan kecenderungan dosa melalui praktik agamawi secara lahiriah, meskipun melakukan praktik kudus dalam kehidupan seseorang dapat menambah kemampuan seseorang untuk mengendalikan pikiran dan keinginannya. Penguasaan diri sejati berasal dari perpaduan antara keputusan kehendak bebas, hati yang benar di hadapan Tuhan, dan sifat rohani kita yang baru di dalam Kristus.

Seseorang dengan penguasaan diri yang luar biasa dapat mencapai banyak hal untuk dirinya sendiri. Penguasaan diri dapat menimbulkan ambisi kesombongan dan peninggian diri jika itu tidak dipadukan dengan buah roh yang lain, dan hasrat untuk melayani Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, tampaknya sangat cocok bahwa penguasaan diri adalah buah terakhir dalam daftar, karena hal tersebut menunjukkan bahwa kita orang Kristen memerlukan semua itu untuk menjalani hidup Kristen yang produktif dan kudus.

Hanya bagi kemuliaan-Nya

Kamis, 06 Maret 2014

MAKNA PENDERITAAN KRISTUS BAGI MANUSIA

Oleh: St. Niken Sijabat boru Nababan

Kematian Kristus dapat dianggap sebagai karya yang dilakukan-Nya karena kematian itu bukan suatu kebetulan yang menimpa diri-Nya atau terjadi tanpa disadari-Nya, melainkan merupakan akibat dari sebuah keputusan yang tegas, suatu pilihan yang diambil-Nya, ketika Ia sebenarnya dapat menolaknya. Berbeda dengan kenyataan yang dialami manusia biasa, maka justru kematian Kristus -- bukan kehidupan-Nya -- yang sangat penting.[i] Maka kematian Kristus merupakan tema pokok Injil dan menjadi ajaran yang menonjol dalam Perjanjian Baru, bahkan sudah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama. Kematian Kristus bukan dialami dengan cara yang mudah dan cepat, melainkan melalui sebuah proses penderitaan, dan semua itu dijalani-Nya dengan sebuah tujuan yaitu keselamatan manusia.

1)  Penderitaan Kristus ditujukan untuk orang-orang lemah dan durhaka.
“Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka…” (Roma 5:6). 
Di dalam bagian ini, Paulus langsung menunjukkan status dan kondisi kita yang berdosa. Pertama, kondisi “lemah”, dalam Alkitab terjemahan King James diartikan: “For when we were yet without strength…”;  International Standard Version (ISV) menerjemahkan sebagai powerless (=tidak ada kekuatan). Dengan kata lain, “lemah” berarti tanpa kekuatan (strengthless bisa diterjemahkan sick/sakit, impotent/tidak bertenaga, dll). Ini adalah kondisi manusia ketika jatuh ke dalam dosa. Dosa mengakibatkan manusia lemah, tak bertenaga apapun untuk berbuat sesuatu yang baik. Dengan kata lain, dosa mematikan keinginan manusia untuk menyenangkan Allah. Karena dosa adalah ketidaktaatan terhadap perintah-Nya atau menyelewengnya manusia dari jalan yang ditunjukkan Allah. Kematian Kristus menunjukkan bahwa ada pengharapan dan jalan keluar dari status dan kondisi manusia yang berdosa.
2)  Penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah.
“… Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah” (Roma 5:6b).
Kalimat ini tidak dapat kita jumpai pada KJV yang hanya menyebut “in due time”. NIV juga hanya menyebutkan, “at just the right time”. English Standard Version menyebutkan hal yang sama, “at the right time”. Di sini, LAI menambahkan kata “Allah” untuk menunjukkan bahwa kematian Kristus bukan ditentukan oleh manusia, atau Kristus dapat disalib karena ulah Yudas yang menjual-Nya (seolah-olah tanpa Yudas, Kristus tak mungkin disalib). Allah kita adalah Allah yang berdaulat dan yang merencanakan segala sesuatu dengan tepat.
3)  Penderitaan Kristus adalah penggenapan dari nubuat-nubuat dalam Perjanjian Lama.
Dalam Kitab Lukas 4:21, Yesus berkata: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”.
Itulah penggenapan dari nubuat nabi Yesaya mengenai tujuan kedatangan Yesus untuk menyelamatkan manusia (Yes 61:1-2).  Ketika Yesus akan ditangkap, Simon Petrus bertindak membela Dia, namun Yesus berkata: “Sarungkan pedangmu itu; bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku” (Yoh. 18:11). Ucapan ini mempunyai maksud yang sama dengan pernyataan-Nya dalam Kitab Matius 26:53-54, “Kausangka bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku? Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan bahwa harus terjadi demikian?”
4)  Penderitaan Kristus terjadi untuk menggantikan manusia.
“Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib” (1 Petrus 2:24).
Dalam Kitab Imamat dan Bilangan, berulangkali ditulis mengenai “menanggung dosa” atau “menanggung kesalahan”. “Jikalau seseorang berbuat dosa dengan melakukan salah satu hal yang dilarang Tuhan tanpa mengetahuinya, maka ia bersalah dan harus menanggung kesalahannya sendiri” (Im 5:17). Tapi kadang-kadang disebut juga bahwa seseorang dapat mengambil alih tanggung jawab atas dosa orang lain.[ii] Itulah makna Kristus “memikul dosa kita”. Kristus rela berkorban untuk menggantikan posisi manusia yang seharusnya menanggung dosanya sendiri.
5)  Penderitaan Kristus adalah bukti cinta kasih Allah kepada dunia yang jauh melampaui konsep keadilan manusia (Yohanes 3:16).
 “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”. (Roma 5:8)
Di dalam struktur bahasa Yunani, terdapat perbedaan waktu dalam peristiwa ini. Pernyataan “kita masih berdosa” menggunakan keterangan waktu Present; dapat diterjemahkan: ketika kita sedang berdosa. Sedangkan pernyataan “Kristus telah mati” menggunakan keterangan waktu Aorist; berarti sesuatu yang sudah terjadi dan tidak terulang lagi (identik dengan keterangan waktu Past Perfect di dalam bahasa Inggris; dapat diterjemahkan: “Kristus telah satu kali mati untuk selama-lamanya”). Itulah kasih Allah yang jauh melampaui rasio manusia berdosa yang terbatas.
6)  Penderitaan Kristus menjadi pengharapan bagi kita yang berada di dalam penderitaan.
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa penderitaan yang terjadi, bukan saja dalam kedaulatan Allah, tetapi itu terjadi di dalam kasih-Nya.[iii] Kita dapat meyakini penegasan Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:10, “Pencuri datang hanya untuk mencuri, membunuh dan membinasakan. Tetapi Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”. Penebusan manusia oleh Kristus tidak berarti manusia tidak mengalami penderitan, namun ada pengharapan bahwa dibalik penderitaan itu ada janji hidup dalam segala kelimpahan.
7)  Penderitaan Kristus menjadi teladan bagi manusia untuk ikut menderita demi Injil.
 “Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian,  —  karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa  — ,” (1 Petrus 4:1) 
“Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia,” (Filipi 1:29) 
Petrus dan Paulus dengan jelas menyatakan persyaratan untuk menjadi seorang Kristen, selain dari percaya pada Kristus, adalah juga untuk turut menderita demi Dia. Percaya dan menderita itu beriringan, saling berkaitan. Semua orang Kristen sejati harus mau menderita demi Kristus. Penderitaan yang dimaksudkan di sini adalah penderitaan yang kita alami karena berjuang untuk hidup benar menurut firman Allah dan karena berbagai tantangan serta kesulitan yang dihadapi saat kita memberitakan Injil. Jadi bukan penderitaan yang disebabkan oleh dosa-dosa kita, misalnya menderita karena narkoba, mencuri, menipu, dan berbagai pelanggaran lainnya.
8)  Penderitaan Kristus memperdamaikan kita dengan Allah.
“Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” (Roma 5:10)
“sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.” (Efesus 2:15-16)
Kematian Kristus mendamaikan kita dengan Allah. Kata “diperdamaikan” dalam KJV adalah reconcile (=direkonsiliasikan/diperdamaikan). Di bagian ini kita belajar tentang status kita dahulu sebagai musuh/seteru Allah yang melawan ketetapan-Nya. Bagi seorang musuh, kita sudah seharusnya dimurkai oleh Allah, tetapi karena kasih-Nya yang begitu besar, kita diberi anugerah-Nya untuk diterima kembali oleh Allah di dalam iman kepada Kristus. Kini kita dapat tetap bersukacita menghadap Allah.
9)  Penderitaan Kristus membuat kita berbangga di dalam-Nya.
“Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,” (Roma 5:3) 
“Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.” (Roma 5:11) 
Kata “bermegah” bisa berarti bersukacita (joy/rejoice) atau berbangga (boast). Penderitaan Kristus memberikan pengharapan kepada kita bahwa meskipun kita mengalami penganiayaan, Roh-Nya yang Kudus membuat kita terus-menerus bersukacita atau bangga di dalam Allah. Mengapa kita bisa bersukacita atau bangga meskipun penderitaan mengancam kita? Karena kita memiliki pengharapan yang kokoh di dalam Kristus yang telah mengalami penderitaan dan menang mengalahkan segala pencobaan, sehingga Ia dinobatkan sebagai Imam Besar Agung (Ibrani 4:14-15). 
Penderitaan Kristus yang sedemikian rupa bagi kita apakah akan kita sia-siakan? Sebagai orang yang telah percaya dan menerima Kristus sebagai penyelamat hidup, kita seharusnya menyikapi pengorbanan Kristus dengan berjalan menurut kehendak-Nya.Mari kita memohon kepada Allah agar kita dikuatkan dan dimampukan menjalani proses kehidupan sebagai murid Kristus.




[i] Thiessen Henry C., Teologi Sistematika, Penerbit Gandum Mas, Malang, Cet. 1, 1992, 349.
[ii] Stott John R. W., Kedaulatan dan Karya Kristus: Basic Christianity, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, Ed. 5, 2008, 117.
[iii] Sagala Mangapul, Mengapa Ada Penderitaan: Kisah Nyata Anak-anak Tuhan, Persekutuan Kristen Antar Universitas, Jakarta, 2011, 37.



Kamis, 27 Februari 2014

DINAMIKA IMAN GIDEON

DINAMIKA IMAN GIDEON       
                                          
Niken Nababan
PENEGUHAN RAKORD PANITIA RUT PMKT UGM
27 Februari 2014
                                         
Hakim-hakim 6:11-24
                                             
PENDAHULUAN

Kitab Hakim-hakim menuliskan bahwa bangsa Israel kembali melakukan apa yang jahat di mata Tuhan maka Tuhan menyerahkan mereka di bawah kekuasaan bangsa Midian. Hidup bangsa Israel sangat menderita dan miskin. Setiap kali orang Israel selesai menabur, datang orang Midian, orang Amalek dan orang-orang dari sebelah timur mengambil hasil panen mereka. Ditengah penderitaan itulah bangsa Israel mulai ingat Tuhan dan berseru pada-Nya. Siklus ini terus berulang, Tuhan kemudian membangkitkan seorang hakim dan mereka hidup aman. Namun ketika hakim itu mati, mereka kembali melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Inilah siklus keberdosaan yang terus terjadi secara berulang dalam kehidupan bangsa Israel.
                                                                                     
Dibandingkan dengan hakim-hakim yang lain, dinamika perjalanan iman Gideon ini dicatat dengan sangat lengkap dalam Alkitab. Kisah Gideon dimulai ketika Allah memilihnya menjadi pemimpin seluruh bangsa Israel. Tuhan bahkan menyebutnya sebagai pahlawan yang gagah berani. Kehidupan Gideon dimulai dengan gelombang di titik awal (Psl. 6), mencapai puncak ketika Gideon berhasil menjadi seorang penakluk (Psl. 7), dan sampai pada fase tenggelam (Psl. 8), dimana Gideon mulai berkompromi dengan dosa dan mengakhiri karyanya dengan gelap.

TUHAN MEMANGGIL GIDEON MELALUI MALAIKATNYA (ayat 11-12)

Tuhan memanggil dan mengutus Gideon untuk menyelamatkan bangsa Israel, akan tetapi Gideon meragukan panggilan Tuhan tersebut. Ia ingin melihat tanda berupa mujizat yang bersifat supranatural dan spektakuler (ayat 15). Permintaan Gideon ini dilatarbelakangi oleh kondisi bangsa Israel yang hidup menderita di bawah jajahan orang Midian sehingga mereka membuat tempat persembunyian, yakni gua-gua dan kubu-kubu (Hak. 6:2). Ketika Tuhan memanggil Gideon pun didapati ia sedang bersembunyi dalam tempat pengirikan gandum (ayat 11). Kondisi bangsa yang demikian itulah yang menyebabkan Gideon meragukan pemeliharaan Tuhan dan berkesimpulan bahwa Tuhan tidak menyertai bangsa Israel lagi karena Tuhan membiarkan orang Midian menyiksa dan menyengsarakan bangsa Israel. Bangsa Israel merasa bahwa Tuhan telah melepaskan umat-Nya dari mulut singa yang satu menuju ke mulut singa yang lain.
                           
Tanda persembahan yang diminta Gideon ini menunjukkan bahwa dia membutuhkan konfirmasi panggilan Tuhan terhadapnya. Tuhan mengabulkan semua tanda yang diminta Gideon karena Tuhan ingin menguatkan iman Gideon yang rapuh. Gideon membutuhkan mujizat yang bersifat supranatural dan spektakuler untuk meneguhkan panggilan yang ada pada dirinya agar dia dapat melihat Allah yang Maha Besar.
Di dalam penjajahan bangsa Midian, orang Israel berseru pada Tuhan dan Ia mendengar keluh kesah itu. Ia mendengar dan mengutus seorang nabi dan mengingatkan mereka akan perbuatan-Nya yang dahsyat mengeluarkan mereka dari perbudakan di Mesir. Tentang kisah ini mereka telah mengetahuinya sejak turun temurun, termasuk pada Gideon. Namun semua itu jadi berbeda ketika Malaikat TUHAN datang dan bertemu dengannya secara personal. Kalau iman kita dikaitkan dengan iman mayoritas, kita merasa aman karena dapat bersembunyi dibaliknya. Namun jika harus dikaitkan dengan personal, maka menjadi sangat sulit bagi kita untuk menerimanya.
                        
Ketika Tuhan datang secara pribadi pada Gideon, maka ia segera mempertanyakan keberadaan Tuhan dan pemeliharaan-Nya seperti yang pernah ia dengar dari cerita nenek moyang (ayat 13). Dengan kata lain ia bertanya apakah Tuhan sekarang sama dengan Tuhan yang pernah ia dengar ceritanya dari nenek moyangnya. Pergumulan iman ini tidaklah mudah. Ia mencoba meminta penjelasan dengan mengutarakan semua fakta yang sebaliknya kepada Tuhan. Kenyataannya bangsa Israel tidak bebas, berada di bawah penjajahan bangsa Midian, dan hidup menderita.
                           
Dinamika iman Gideon menunjukkan sebuah kenyataan yang mungkin terjadi dalam hidup kita masing-masing. Pergumulan iman adalah pergumulan terhadap keberadaan dan janji Tuhan. Kita mudah menghadapinya jika ini menyangkut iman Kristen secara umum, tetapi sulit jika berkaitan dengan iman personal. Kita terlalu lemah untuk memahami Tuhan maka tidaklah heran kalau kita cenderung melakukan negosiasi dengan Tuhan seperti halnya yang dilakukan Gideon. Di satu sisi kita tahu bahwa Allah itu baik, tetapi di sisi lain kita tidak mampu memahami kehendak-Nya atas diri kita pribadi. Itu sebabnya di dalam pergumulan iman, kita sering mengalami keraguan akan karya Allah dalam kehidupan kita.


Keinginan Gideon akan sesuatu yang spektakuler dari Tuhan menjadi cerminan bagi kita bahwa manusia cenderung lebih suka pada sesuatu yang bersifat spektakuler, atau setidaknya yang nampak baik menurut ukuran mata dan pikiran kita. Orang yang hidup di jaman Perjanjian Lama berpendapat jika ada mujizat berarti Allah menyertai sehingga mereka menuntut Tuhan agar memberikan tanda untuk setiap permohonan mereka. Sekarang Tuhan pun memberikan tanda-tanda pada kita, yang pasti melalui Firman-Nya yang tertulis. Allah tidak selalu memberikan tanda-tanda yang spektakuler pada kita.

KELEMAHAN GIDEON ( ayat 13-21)

Respon Gideon terhadap panggilan Tuhan menunjukkan bahwa Gideon adalah seorang yang lemah imannya dan tidak mempunyai cukup pemahaman tentang Allah yang dapat berkarya dengan dahsyat dalam diri setiap umat-Nya.
                                                                 
Tiga hal yang menunjukkan kelemahan Gideon adalah:

1. Kenyataan bahwa bangsa Israel dalam keadaan sangat menderita akibat penjajahan oleh bangsa Midian. (ayat 14)
                 
Kenyataan ini membuat Gideon mempertanyakan kebaikan Allah dan pemeliharaan Allah terhadap bangsa Israel. Gideon ingin memastikan apakah janji Tuhan pada nenek moyangnya tetap berlaku sampai masa kehidupannya? Ia bertanya apakah Tuhan itu baik dan bagaimanakah pemeliharaan Tuhan itu. Jika Ia baik, apa buktinya? Jika Ia memelihara, bagaimana saya mengalaminya? Kenyataan yang ada membuatnya sulit menerima semua ini. Gideon mengemukakan pertanyaan penting yang akan mempengaruhi perjalanan imannya di kemudian hari. Pertanyaan ini menjadi semacam pertaruhan iman Gideon, yang juga menjadi pola seluruh perjalanan iman kita secara pribadi.

Begitu rapuhnya iman Gideon dan jauh sekali pengertiannya akan jalan Tuhan. Gideon menuntut Allah melakukan hal-hal yang baik bagi bangsa Israel namun dia tidak mengerti apa yang telah dilakukan bangsa Israel kepada Allah. Gideon tidak mengerti mengapa Allah membiarkan bangsa Israel jatuh ke dalam penjajahan bangsa Midian. Kita pun sering mengalami hal yang sama. Kita menuntut Allah melakukan hal-hal baik yang kasat mata, namun kita sering lupa apakah kita sudah cukup taat pada kehendak-Nya. Pertanyaan yang perlu ada untuk kita setiap saat adalah, apakah kita selalu dapat mengucap syukur atas karya-karya-Nya dalam hidup kita? Apakah kita selalu taat pada setiap firman-Nya bagi kita?

2. Kaumnya adalah kaum yang terkecil di antara semua kaum. (ayat 15)

Gideon mempertanyakan apakah mungkin kaum yang kecil ini dapat menyelamatkan bangsa Israel yang besar, yang dalam keadaan sudah demikian terpuruk. Secara bersama-sama saja bangsa Israel tidak dapat mengatasi penderitaannya, bagaimana mungkin kaum yang paling kecil dapat menyelamatkan bangsa yang demikian besar. Ini menunjukkan betapa Gideon tidak mampu memahami kuasa Allah yang dahsyat bagi kaumnya dan bagi dirinya sendiri padahal dia telah mengetahui cerita tentang kedahsyatan Allah dalam kehidupan bangsa Israel di masa lalu. Lalu bagaimana dengan keadaan kita sekarang? Kita sering menjadi kelompok yang terkecil dan itu sering membuat kita meragukan kekuatan yang akan Allah berikan pada kita untuk dapat mengatasi masalah seluruh kelompok yang besar.

3. Gideon adalah orang termuda di dalam kaumnya. (ayat 15)

Gideon mempertanyakan, sebagai kaum terkecil saja adalah hal yang sulit dipercaya bisa menyelamatkan bangsa Israel, bagaimana mungkin dia orang yang paling muda, paling tidak berpengalaman, dapat menyelamatkan bangsa yang besar? Gideon semakin ragu dengan dirinya sendiri, yang berarti dia telah meragukan Allah akan berkarya dalam hidupnya. Siapa Gideon dapat menjadi cerminan untuk melihat siapa kita. Kemudaan kita, kelemahan kita, kekurangan kita, tidak menjadi halangan bagi Allah untuk memilih kita menjadi pelaku misi Allah. Jika Allah telah memilih kita maka Allah pasti akan memberi kekuatan dan memperlengkapi kita dengan senjata-senjata yang diperlukan untuk mengatasi semua permasalahan kita.

ALLAH MEMENUHI JANJI DAN MENYERTAI UMATNYA (ayat 16 , 21, 23)

Gideon bukanlah seorang pemimpin yang penuh percaya diri, namun malaikat Tuhan menyebutnya sebagai pahlawan yang gagah berani. Di sini kita dapat melihat keunikan Allah dalam memilih hamba-Nya dan kesabaran-Nya untuk mengajar hamba-Nya itu. Panggilan Allah seringkali tidak dapat kita duga seperti apa yang kita pikirkan. Secara ukuran manusia, seorang pemimpin haruslah seorang yang kuat, cerdas, dan berani. Namun Allah justru sering memilih yang sebaliknya. Panggilan dan pilihan Allah tidak pernah salah karena Allah akan menyertai hamba-Nya dalam mengerjakan tugas panggilannya.

Sebagaimana yang dialami Gideon, di masa sekarang kita pun sering mengalami hal yang sama. Tuhan memilih bukan karena siapa dan apa kita tapi karena Tuhan mengasihi dan mempercayai kita untuk melakukan tugas besar pelayanan. Tuhan punya maksud tertentu untuk kita secara pribadi dan untuk umat-Nya secara keseluruhan. Dan Tuhan berjanji selalu menyertai kita. Jika Tuhan telah menepati janji penyertaan-Nya pada Gideon, maka Tuhan juga akan memenuhi janji-Nya untuk menyertai kita dalam mengerjakan tugas pelayanan kita. Sebab janji Tuhan kepada Gideon juga merupakan janji Tuhan kepada kita.
                                                      
Setelah melalui pergumulan iman yang dimuai dari keraguan dan ketidak percayaan diri, Gideon sampai pada titik pemahaman bahwa dia telah salah dalam merespon panggilan Tuhan. Gideon menyesali sikapnya itu dan pandangan-Nya tentang Allah berubah seketika (ayat 22-23). Penyesalan ini bukan hanya dalam kata-kata namun ditunjukkannya dengan perbuatan yang nyata. Dengan Mezbah yang didirikannya menunjukkan bahwa Gideon kini memiliki iman yang teguh akan kebaikan dan pemeliharaan Tuhan atas bangsa Israel. Bahkan dia menyatakan bahwa Tuhan itu keselamatan, seakan-akan Tuhan telah menyelamatkan bangsa Israel padahal itu belum terjadi (ayat 24).

PELAJARAN POSITIF DARI KARAKTER GIDEON

Pelajaran yang dapat kita petik dari dinamika iman Gideon untuk kita terapkan dalam kehidupan kita, adalah sebagai berikut:
            
1.   Peduli dan tanggung jawab kepada bangsa.
                 
Gideon cukup memiliki kepedulian kepada bangsanya dan merasa perlu ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah bangsa. Gideon tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Meskipun diawali dengan keraguan dan tidak percaya diri, dia merespon panggilan Tuhan dengan sepenuh hati. Dalam kelemahannya dia berjuang untuk memiliki keberanian mengerjakan tugas panggilan Tuhan demi keselamatan bangsanya. 

PENERAPAN
Kita belajar untuk tidak mementingkan diri sendiri. Setiap hal yang kita kerjakan dalam tugas panggilan pelayanan hendaklah kita peduli pada teman di bagian yang lain, bukan hanya melihat pada bagian kita sendiri.

2.   Rendah hati.

Gideon mengakui kelemahan dirinya. Di satu sisi dia tidak percaya diri dan takut, tapi di sisi lain menunjukkan bahwa Gideon seorang yang rendah hati. Dia menyadari kelemahannya dan hal itu membuat dia berserah pada pertolongan Tuhan. 

PENERAPAN
1.      Kita belajar rendah hati mengakui kelemahan kita pada teman sepelayanan agar terbentuk satu tim pelayanan yang bisa saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
2.      Kita belajar rendah hati di hadapan Tuhan agar kita tidak merasa dapat berjalan dengan kekuatan sendiri melainkan memiliki penyerahan diri penuh akan pertolongan Tuhan.

3.  Bersyukur atas karunia Tuhan.

Gideon menyadari kelemahannya dan menerima apa yang dikaruniakan Tuhan pada dirinya. Dia tidak minta kekuatan yang lebih besar dan tidak berambisi menjadi seorang pemimpin. Dia melakukan tugas dengan apa yang ada pada dirinya dan taat pada pimpinan Tuhan.

PENERAPAN
Kita belajar bersyukur dengan karunia dan talenta yang diberikan Tuhan kepada kita serta menggunakan karunia dan talenta itu dengan maksimal untuk mengerjakan tugas pelayanan kita, menurut kapasitas kita masing-masing.

4.  Membuat perubahan dari kesalahan yang dilakukan.
                                
Setelah Gideon tahu bahwa keraguannya kepada Tuhan itu salah, diapun segera merubah sikapnya. Dia tidak ragu lagi akan panggilan Tuhan dan menaati semua yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Keraguannya berubah menjadi keyakinan yang teguh kepada janji Tuhan. Meskipun bangsa Israel belum selamat tapi dia sudah meneguhkan imannya dan memiliki pengharapan yang kuat bahwa Tuhan akan menyelamatkan bangsa Israel. 

PENERAPAN
1.      Kita belajar untuk mau mengakui kesalahan, menyadarinya dan tidak putus asa.
2.      Kita belajar dari kesalahan itu untuk membuat perubahan yang lebih baik.