“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Rabu, 01 September 2021

BAGAIMANA JIKA SAYA KEHILANGAN SEMUANYA? 


Tidak berlebihan bila masa pandemi Covid-19 ini disebut sebagai masa yang mencekam. Seluruh dunia tidak terluput dari serangan makhluk kasat mata itu. Berita duka terdengar setiap hari. Masyarakat berbagai kalangan tanpa terkecuali telah terkena dampak ekonomi dan sosial. Kekayaan tidak bisa membeli kesehatan, rumah besar tidak bisa memberikan kenyamanan, kendaraan mewah tidak bisa membawa pada kebebasan menuju ke tempat yang diinginkan. Banyak orang mengalami penderitaan bertubi-tubi karena pandemi Covid-19 ini, dan tak seorangpun tahu kapan akan berakhir.


Penderitaan dalam Alkitab adalah peristiwa nyata yang dialami umat Allah, bukan imajinasi, bukan pula ilusi. Ada tiga hal penyebab penderitaan. Pertama, penderitaan karena dosa warisan dari Adam dan Hawa. Kedua, penderitaan karena dosanya sendiri. Ketiga, penderitaan karena diijinkan Allah untuk suatu maksud yang baik. Yang harus kita percayai, penderitaan kita bukan datang dari Allah melainkan dari Iblis. Allah hanya mengijinkan penderitaan itu terjadi dan Allah ikut terlibat dalam penderitaan kita agar dapat melaluinya untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Firman-Nya dalam surat Ibrani menunjukkan bagaimana Allah menggunakan bagian-bagian hidup yang menyakitkan untuk pertumbuhan dan kebaikan orang percaya di masa yang akan datang. (Ibrani 12:2-6)


Salah satu tokoh yang ditulis dalam Alkitab dengan penderitaan dahsyatnya adalah Ayub. Alkitab menggambarkan Ayub sebagai seorang yang saleh, jujur, takut akan Allah, menjauhi kejahatan. (Ayub 1:8) Dia diberkati Tuhan dengan kekayaan yang luar biasa besarnya, bahkan disebutkan sebagai orang terkaya di wilayah kediamannya. Ayub bersungguh-sungguh melaksanakan kewajibannya sebagai imam bagi keluarganya. Ayub sangat memperhatikan kesejahteraan rohani anak-anaknya, memperhatikan kelakuan dan gaya hidup mereka, tekun mendoakan dan melakukan apa yang perlu agar anak-anaknya terhindar dari kehidupan dosa. (Ayub 1:4-5)


Oleh perbuatan Iblis, Ayub mengalami penderitaan dalam seluruh aspek hidupnya. Secara jasmaniah; ia kehilangan seluruh kekayaan, seluruh anak, dan kesehatannya. Secara sosial; ia dicemooh istrinya, dihakimi sahabatnya, diasingkan masyarakat. Secara rohani; ia kesepian, ketakutan, putus asa, merasa ditinggalkan Allah. Namun betapapun dahsyatnya penderitaan yang dialami, Ayub tetap setia dan menaruh pengharapan kepada Allah. Ayub tetap bersyukur, memuji Tuhan, dan tidak menyalahkan Allah. Ayub tetap mau mengoreksi diri dengan mempertanyakan kesalahan yang mungkin dilakukan tanpa diketahuinya. Itu menunjukkan bahwa Ayub memiliki sikap penerimaan penuh atas kedaulatan Allah pada dirinya. (Ayub 1:21-22; 9:1-4) Pada akhirnya oleh karena kesetiaan Ayub itu Allah memulihkan keadaannya.


Dari kisah Ayub ini kita dapat belajar untuk bersikap dengan benar apabila kita  kehilangan semua yang kita anggap berharga. Kita belajar menerima segala penderitaan yang terjadi dengan sikap tidak menyalahkan Allah, tetap bersyukur, tetap beriman kepada Allah, instropeksi diri, dan berpengharapan bahwa Allah telah menyediakan yang terbaik bagi kita. Bila demikian kita akan dapat menjalani kehidupan yang sangat sulit di masa pandemi ini dengan perasaan damai dan sukacita. Saya akhiri tulisan ini dengan satu ajakan, mari kita menaati protokol kesehatan dan aturan Pemerintah sehubungan dengan pandemi ini, sebagai wujud kasih kepada diri sendiri dan orang lain, serta wujud ketaatan kepada Allah. (NDP)