“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Rabu, 23 Maret 2016

BAHAN PEMAHAMAN ALKITAB AYUB 1:12-22

PA PD Alumni PMKT 19 Maret 2016

BAGAIMANA JIKA SAYA KEHILANGAN SEMUANYA?

Bacaan Alkitab: Ayub 1:12-22



Ayub adalah kerabat Abraham, sebab mereka berdua adalah keturunan Sem. Meskipun bukan orang Israel, Ayub menyembah Tuhan. Dia adalah orang ”terbesar dari antara semua orang Timur”, karena hartanya banyak sekali. Dia mempunyai seorang isteri, tujuh lelaki, dan tiga perempuan [Ayub 1:1-3]. Dia dengan bersungguh-sungguh melaksanakan kewajibannya sebagai imam bagi keluarganya, mempersembahkan korban kepada Allah demi kepentingan mereka. [Ayub 1:4, 5]



Ayub adalah tokoh penting di gerbang kota, bahkan orang-orang yang sudah berumur dan para jemaat menghormati dia [Ayub 29:5-11]. Dia duduk sebagai hakim yang tidak berat sebelah, melaksanakan keadilan sebagai pembela para janda, dan menjadi seperti ayah bagi anak lelaki yatim, orang yang menderita, dan siapa pun yang tidak mempunyai penolong [Ayub 29:12-17]. Dia menjaga diri bersih dari perbuatan tidak bermoral, ketamakan akan harta benda, serta penyembahan berhala, dan ia murah hati kepada orang yang miskin dan berkekurangan. [Ayub 31:9-28]

Pertanyaan Diskusi:



1.        Ayub tertimpa bencana beruntun yang menghabiskan seluruh harta miliknya dan mengambil nyawa ketujuh anaknya. Perhatikan ayat 12. Menurut Anda, apakah Iblis adalah penyebab semua bencana yang menimpa Ayub?

2.        Jika di masa sekarang kita tertimpa bencana, apakah semuanya itu juga karena perbuatan Iblis? Mungkinkah kita sendiri juga adalah penyebab bencana? Pikirkan sebuah contoh, diskusikan dan sharingkan jika mempunyai pengalaman pribadi!

3.        Bagaimana reaksi Ayub terhadap bencana yang menimpanya? (ayat 20-22)

4.        Seandainya kita mengalami bencana seperti yang dialami Ayub, bagaimana reaksi kita? Sharingkan jika ada pengalaman pribadi.


Senin, 07 Maret 2016

BAHAN PEMAHAMAN ALKITAB KOLOSE 3



PA Kolose 3:18-25

Surat Kolose ditulis oleh Paulus, Rasul Yesus Kristus sekitar tahun 60-62 M (1:1, 23;  4:18). Surat ini ditulis Paulus saat dia di penjara di Roma. Paulus mengirimkan surat ini kepada orang-orang percaya di Kolose (1:2). Latar belakang Paulus menulis surat ini karena ada pengajaran sesat yang mempengaruhi jemaat Kolose. Rasul Paulus mengirim surat Kolose dengan dua sasaran:
1.       Mengajar jemaat Kolose untuk mengenal keIlahian dan keutamaan Kristus. Ia sebagai Kepala Jemaat (1:3-3:4). Sasaran ini bersifat doktrinal.
2.      Memberi nasehat kepada jemaat Kolose agar menerapkan ajaran Yesus dalam kehidupan praktis dengan benar (3:5-4:18). Sasaran ini bersifat aplikatif.
Tujuan Paulus menulis surat ini adalah agar jemaat Kolose bertumbuh dalam segala segala hal ke arah Kristus dalam segala hikmat dan pengertian yang benar. Hasil pertumbuhan rohani itu dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari (1:9, 28; 2:6-7).
Pertanyaan penolong PA:
1.       Apa nasihat Paulus untuk isteri? (18)
2.      Apa nasihat Paulus untuk suami? (19)
3.      Apa nasihat Paulus untuk anak? (20)
Mengapa anak harus taat kepada orang tua? (20)
Penerapan: Selidiki apakah Saudara sudah menjadi anak yang taat kepada orang tua. Jika belum atau kurang taat, selidiki apa penyebabnya.
4.      Apa nasihat Paulus untuk bapa? (21)
Mengapa bapa tidak boleh menyakiti hati anaknya? (21)
5.      Apa nasihat Paulus untuk hamba? (22)
Bagaimana seharusnya sikap seorang hamba kepada tuannya? (22)
Mengapa hamba harus bekerja dengan ketulusan hati? (22)
Penerapan: Apa tujuan Saudara menyelesaikan sekolah/kuliah? Selidiki seberapa besar keinginan Saudara untuk menyenangkan diri sendiri, menyenangkan orang tua, dan menyenangkan Tuhan? Siapakah yang menempati porsi terbesar?
6.      Bagaimana seharusnya sikap jemaat dalam melakukan setiap pekerjaannya? (23)
Penerapan: Selidiki sudahkah hidup Saudara berpusat kepada Tuhan?
7.      Siapa yang akan memberi upah atas pekerjaan jemaat? (24)
8.     Bagaimana hubungan Kristus dengan jemaat? (24)
9.      Apa konsekuensi orang yang melakukan kesalahan? (25)
Penerapan: Jika Saudara tahu bahwa setiap kesalahan ada konsekuensinya, pikirkanlah caranya agar tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Perhatikan pasal 4:2-6.

Jumat, 19 Februari 2016

DAMPAK DALIHAN NA TOLU TERHADAP SIKAP HIDUP ORANG BATAK KRISTEN


Oleh: Niken Nababan

Dampak Positif Dalihan Na Tolu Terhadap Sikap Hidup Orang Batak Kristen

1.    Falsafah Dalihan Na Tolu membuat orang Batak memiliki ­ikatan persaudaraan yang kuat. Orang Batak yang tetap memegang ajaran Dalihan Na Tolu akan rajin datang ke persekutuan-persekutuan orang Batak karena tiap-tiap orang ingin melakukan peran sesuai dengan posisinya dalam persekutuan itu.
2.    Dengan penerapan ajaran adat Dalihan Na Tolu masyarakat    Batak masih terikat kaidah hukum adat untuk menghindari perceraian dan  sengketa atas harta peninggalan orang tua.
3.    Dalam pergaulan masyarakat, tiang pokok ajaran Dalihan  Na Tolu mengharuskan seseorang saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Maka jika ajaran ini diterapkan dengan sungguh-sungguh, akan selalu    tercipta kerukunan dan kedamaian di kalangan masyarakat Batak, bahkan juga di kalangan masyarakat umum.
4.    Sikap hidup dalam ajaran Dalihan Na Tolu yang komunalistik (family atmosphere) akan dapat menghilangkan sifat-sifat individualistis dan materialistis  sehingga  terjadi  hubungan kekeluargaan yang sangat erat dan akrab.
5.    Prinsip saling mendoakan dan saling menolong dalam ajaran  Dalihan Na Tolu akan membuat segala sesuatu acara yang diadakan oleh orang Batak  ̶  baik itu acara pribadi maupun acara kelompok  ̶ , bebannya akan terasa lebih ringan karena dikerjakan bersama-sama sesuai peran masing-masing. Hal itu secara otomatis akan terjadi tanpa perlu ada peraturan yang harus dibuat atau pembentukan panitia khusus.
6.    Berkat yang diperoleh setiap orang Batak yang menerapkan    ajaran Dalihan Na Tolu akan mendatangkan suka cita yang tak dapat dinilai dengan harta. Bagi boru, doa, perlindungan dan kasih sayang dari hula-hula membuatnya merasa mantap untuk melangkah ke depan dengan penuh       pengharapan kepada Allah. Bagi hula-hula, penghormatan yang diberikan boru menimbulkan rasa bahagia yang tak terhingga. Sikap hati-hati dan dukungan yang diberikan oleh saudara semarga (dongan tubu) akan membuat orang Batak merasa tenang menghadapi setiap masalah yang dihadapi. Beban juga akan   terasa lebih ringan.
7.    Dalam diri orang Batak yang menerapkan ajaran Dalihan Na  Tolu akan terbentuk karakter yang penuh kesantunan. Menurut St. Binsar Napitu (Sintua/Majelis HKBP Yogyakarta), kebiasaan menghargai marga akan membuat orang Batak selalu menjaga sikap sopan dan santun, bahkan kepada orang yang baru dikenalnya. Orang Batak akan selalu menanyakan marga bila bertemu dengan orang yang belum dikenal, dan secara spontan akan terbina hubungan dekat jika terdapat hubungan marga di antara keduanya.  

Dampak Negatif Dalihan Na Tolu Terhadap Sikap Hidup Orang Batak Kristen

1.    Prof. Sahat Simbolon (jemaat GKI) berpendapat bahwa falsafah Dalihan Na Tolu, dalam kehidupan sehari-hari  kurang  cocok  untuk diterapkan  karena sering disalah gunakan oleh orang Batak untuk kepentingan pribadi. Aspek-aspek dalam Dalihan Na Tolu memicu terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme.  Begitupun  dalam dunia pekerjaan secara umum, profesionalitas sering terganggu akibat falsafah ini. Misalnya, pihak boru kadang sulit untuk menolak lamaran kerja hula-hula padahal hula-hulanya ini sama sekali tidak memenuhi syarat untuk pekerjaan itu.
2.    Penghormatan yang berlebihan terhadap hula-hula menyebabkan munculnya sikap fanatisme. Hal ini membuat orang Batak kehilangan unsur  obyektifitas dalam menilai sesuatu. Hula-hula bersalahpun tetap dianggap     benar, bahkan dibela habis-habisan sampai menimbulkan pertengkaran dengan saudaranya.
3.    Sikap boru yang menjadikan pihak hula-hula sebagai sumber berkat karena hula-hula dianggap sebagai wakil Tuhan, dapat menyebabkan orang Batak menduakan Tuhan. Sikap seperti ini sering membuat orang Batak meletakkan adat di atas firman Tuhan, bahkan rela mengeluarkan uang yang banyak, sampai berhutang, demi melaksanakan upacara adat untuk meminta berkat dari hula-hula.
4.    Pdt. Dr. Robinson Rajagukguk (Pendeta HKBP, Dosen Universitas Kristen Duta Wacana) berpendapat bahwa mengakarnya falsafah Dalihan Na Tolu dalam diri orang Batak, khususnya jemaat HKBP, membuat orang Batak menjadi bersikap eksklusif sehingga sukar berbaur dengan masyarakat yang berbeda suku. Orang Batak juga sering menganggap bahwa budayanya adalah yang paling baik sehingga membuat orang Batak sukar menerima budaya lain secara positif.

Dampak Positif Dalihan Na Tolu Terhadap Penggembalaan Jemaat di HKBP

Para pekabar Injil yang datang dari Inggris, Amerika dan Belanda dalam kurun waktu tiga puluh enam tahun (1820 – 1856) dapat dikatakan tidak  berhasil mempertobatkan masyarakat Batak. Hal itu dikarenakan para pekabar Injil itu mau mengganti budaya lokal dengan budaya yang dibawa dari negeri masing-masing. Pada tahun 1859, Van Asselt, Dammeboer dan Betz dari Belanda berupaya menyukseskan pekabaran Injil dengan cara membeli budak-budak untuk dibebaskan, diajar dan dididik dengan berbagai pengetahuan. Dalam perkembangan jemaat selanjutnya bekas-bekas budak itu memegang peranan yang sangat penting, terutama karena merekalah yang lebih dulu mendapat bimbingan dalam pengetahuan tentang Injil dan pelayanan jemaat dari misionaris.[i] Dalam usahanya ini para misionaris hanya berhasil membaptiskan dua orang, yaitu Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar pada tahun 1961.
Pengalaman para misionaris terdahulu menjadi pelajaran bagi I. L. Nommensen untuk melakukan perubahan strategi dalam pekerjaan penginjilannya mulai tahun 1862. Pelayanan yang dilakukan Nommensen bersifat holistik. Di samping kegiatan penginjilan dan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak, Nommensen juga melakukan perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan membangun sistem pertanian dan peternakan yang lebih baik, serta membangun sekolah-sekolah. Nommensen juga  mempertahankan unsur-unsur positif dari adat-istiadat Batak sehingga identitas kultural Batak Toba menjadi satu dengan identitas Kristen.[ii]
Usaha Nommensen yang membaur dengan budaya Batak mendapat  simpati dari Raja Pontas Lumbantobing, penguasa pada masa itu, yang          melindungi Nommensen dari para datu (dukun) yang mau membunuhnya. Raja Pontas dan masyarakat Batak lainnya tergerak hatinya untuk menerima ajaran Injil dari Nommensen sehingga kemudian dalam kurun waktu yang relatif cepat, banyak orang Batak bertobat dan menjadi Kristen. Bahkan selanjutnya warga Batak bukan hanya belajar Injil kepada Nommensen, mereka juga sering minta nasihat yang berhubungan dengan adat budaya. Adatpun mulai mengalami   pergeseran sesuai dengan pertumbuhan iman warga.
Bagi kebanyakan orang Batak Kristen, sulit memisahkan antara adat dan agama. Terutama orang Batak yang ada di perantauan, sulit memisahkan diri dari HKBP. Orang Batak Kristen menganggap HKBP adalah persekutuan yang kokoh karena berdiri di atas dua fondasi, yaitu rohani dan budaya.[iii] Sikap ini memudahkan Gereja mengajak orang Batak untuk membentuk persekutuan (punguan) di manapun berada. Sejak awal orang Batak sudah mempercayai adanya Tuhan. Maka persekutuan yang telah dibentuk inipun mudah untuk dibungkus dengan nilai-nilai kekristenan karena dalam diri orang Batak itu sendiri sudah ada dorongan  untuk mencari  Tuhan.  Gereja dapat memanfaatkan dorongan ini untuk memotivasi jemaat agar menekuni ajaran firman Tuhan.
Ketiga unsur dalam Dalihan Na Tolu, di mana terjadi hubungan yang dekat antara tiga pihak, yaitu hula-hula, dongan tubu dan boru, dapat mempermudah gembala Gereja dalam menyampaikan pengajaran firman Tuhan dan membimbing jemaat ke arah yang benar. Kuatnya ikatan persaudaraan pada warga Batak yang sungguh-sungguh menerapkan ajaran Dalihan Na Tolu telah menimbulkan tumbuhnya nilai-nilai kasih yang besar sehingga gembala tinggal menekankan saja nilai-nilai kekristenan di dalamnya. Menurut St. Binsar  Napitu, jika gembala dalam posisi hula-hula, pada umumnya apa yang diajarkan akan mudah diterima dan dilakukan oleh boru yang menghormati hula-hulanya. Sebaliknya jika penggembalaan dilakukan oleh boru kepada hula-hulanya, maka hula-hula juga akan menerimanya karena mengasihi borunya. Demikian juga sikap menghargai di antara dongan tubu membuat penggembalaan itu lebih mudah dikerjakan. Bagi St. Napitu, tidak ada masalah dalam falsafah ini yang bisa menghambat penggembalaan kepada jemaat.

Dampak Negatif Dalihan Na Tolu Terhadap Penggembalaan Jemaat di HKBP

Selain dampak positif, budaya yang tetap dipegang oleh orang Batak  juga memberikan dampak negatif. Adat yang sudah mengakar dalam diri orang Batak Kristen sering menjadi hambatan untuk menerima dan memahami firman Tuhan dengan leluasa. Adat itu juga sering menghambat para gembala Gereja dalam pelayanan jemaat. Seringkali Pendeta/Sintua (Penatua) merasa sungkan untuk menegur hula-hula yang melakukan kesalahan. Seringkali teguran dari Pendeta/Sintua yang berposisi sebagai boru tidak dapat diterima dengan positif oleh hula-hula. Karena harus bersikap hati-hati kepada dongan tubu, membuat Pendeta/Sintua seringkali sulit menyampaikan kebenaran firman Tuhan.
Suatu hal yang sangat ditakuti orang Batak ialah apabila dia tarduru  (dikucilkan) dari adat.[iv] Orang Batak akan dikeluarkan dari punguan           (persekutuan) komunitasnya jika tidak beradat atau melanggar adat. Datangnya berita Injil di tanah Batak menyebabkan terjadi pergeseran adat yang sering membuat ketegangan dalam kehidupan orang Batak. Orang Batak sulit memisahkan antara  adat  dan  budaya  maka pemahamannya terhadap firman Tuhan juga sering menjadi bercampur-aduk, dipengaruhi oleh pemahamannya terhadap adat budaya. Ini menyulitkan bagi gembala untuk mengarahkan orang Batak Kristen kepada pemahaman yang benar. Pdt. Monang Silaban (Pendeta HKBP Resort Yogyakarta (mulai tahun 2008) selalu menekankan agar jemaat melakukan adat di dalam terang firman Tuhan.  Pada dasarnya jemaat mengerti kebenaran itu namun sulit mempraktekkan dengan murni.
Sebagai contoh adalah jika ada yang menjadikan hula-hula sebagai sumber berkat karena pemahaman bahwa “hula-hula do Debata na niida” (hula-hula sebagai Allah yang kelihatan)[v], masih menjadi masalah bagi orang Batak.  Sebuah acara adat akan batal dilaksanakan jika hula-hula tidak datang, bahkan untuk acara sederhana sekalipun. Seandainya acara tetap berlangsung akan dianggap tidak sah secara adat. Hal ini berarti bahwa meskipun sudah mengerti bahwa sumber berkat adalah Allah, namun orang Batak tetap saja menganggap bahwa hanya doa dari hula-hulalah yang didengar Tuhan dan  menjadi berkat bagi boru. Orang Batak baru merasa tenang dan mantap menjalani kehidupannya jika mendapat doa dari hula-hula.
HKBP tidak pernah tuntas membicarakan hubungan antara adat dan Injil walaupun di tingkat HKBP Pusat sudah tiga (3) kali mengadakan seminar Adat (I: 27 Juli – 1 Agustus 1968; II: 6 – 9 Agustus 1976 dan III: 16 – 20 November 1976 di Pematang Siantar). Tidak pernah ada suatu tuntunan yang jelas dan   tegas mengenai adat mana yang boleh tetap dijalankan maupun yang harus    ditinggalkan dan yang harus diseleksi. Di dalam berbagai kotbah, artikel,    pembinaan dan seminar yang diadakan baik di tingkat Gereja HKBP pusat maupun HKBP lokal, selalu hanya disampaikan secara umum bahwa jemaat harus berada dalam terang Kristus sewaktu menerapkan adat. Meskipun dalam Almanak HKBP tertulis bahwa jati diri HKBP adalah gereja yang mengikut Kristus, namun  sangat  jarang  dinyatakan  secara tegas bahwa Kristus harus menjadi yang lebih utama dibanding dengan adat. Hal itu membuat jemaat mempunyai interpretasi masing-masing yang bisa berbeda-beda, dan mungkin juga salah.
Fakta di HKBP Yogyakarta memperlihatkan betapa sedikitnya jemaat yang mau terlibat dalam persekutuan di Gereja dibanding jika jemaat diundang ke persekutuan marga. Itu terjadi pada persekutuan kaum bapak, ibu, pemuda maupun keluarga. Hal itu sudah dapat menjadi bukti bahwa persekutuan marga seakan-akan  menjadi  lebih  berharga dibanding persekutuan doa. Demikian juga keterlibatan jemaat dalam bidang pelayanan sosial seperti posko bencana alam dan bantuan pendidikan, serta pembangunan fisik, juga masih sangat     kurang. Dengan menganut ajaran adat Dalihan Na Tolu masyarakat Batak telah menikmati kebahagiaan kesukuan sehingga menganggap sudah cukup dengan hanya mengikuti persekutuan marga dan ibadah setiap hari Minggu, dan tidak perlu lagi mengikuti acara-acara persekutuan lain di Gereja.
Keterlibatan jemaat yang sangat kurang dalam acara kerohanian khususnya persekutuan doa dan kelompok pemahaman Alkitab membuat     pengertian jemaat terhadap firman Tuhan juga sangat minim. Secara umum   jemaat HKBP kurang berminat untuk membaca Alkitab.[vi] Pemahaman teologi hanya didapat dari khotbah yang didengar pada hari Minggu. Khotbah         cenderung menekankan individualisme yang bersifat “moralis” dan “fundamentalis”, sedangkan orang Batak sulit menerima individualisme sebab mereka hidup dalam kolektifisme. Khotbah yang seperti ini tidak menolong  pertumbuhan iman jemaat.
Beberapa pengajaran firman Tuhan yang sangat mendasar seringkali   dipahami sebagaimana pemahamannya terhadap adat, atau terjadi percampuran pemahaman. Misalnya tentang keselamatan, masyarakat Batak memiliki      pengertian selamat dalam istilah hipas, malua, horas, sonang dan dame.[vii] Untuk mencapai keselamatan ini masyarakat Batak cenderung melakukan berbagai macam upacara  adat dan wajib mengundang hula-hula.  Seakan-akan kunci  keselamatan terletak pada doa dari hula-hula. Orang Batak lebih mendahulukan pengertian adat sebab lebih sakit dikenakan hukuman ada daripada hukuman Tuhan.[viii]
 Dalam hal dosa, sangat jelas tertulis dalam Konfessi HKBP Bab 3, bahwa manusia itu telah diampuni dosanya karena kasih Allah,  melalui  penebusan oleh Jesus Kristus yang menjadi jalan kehidupan bagi setiap orang. Holan sian asi ni roha ni Debata do, marhite panobusion ni Jesus Kristus tubu dalan haluaon tu ganup jolma. [ix] Persoalannya, dalam bahasa Batak tidak dikenal istilah dosa; yang ada adalah kata “salah” (sala). Dalam Bahasa Batak juga tidak terdapat kata “maaf”. Maka sebagian orang ada yang mengartikan bahwa dia belum mendapat keampunan dosa.
Dalam buku Impola Jamita[x] dari tahun 2007 – 2011, buku Ruhut   Parmahanion dohot Paminsangon[xi], dan buku Tohonan Sintua[xii], tidak ada   satupun khotbah maupun pengajaran yang menguraikan relevansi antara adat budaya Batak dan firman Tuhan. Berbagai seminar tentang adat yang diadakan di HKBP Yogyakarta, yang pernah diikuti Penulis, juga tidak pernah mengulas hubungan adat dengan Alkitab. Seakan-akan keduanya berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menyebabkan jemaat kesulitan melakukan transformasi kekristenan ke dalam budaya Batak. Kristus seakan-akan terlepas dari hidup orang Batak ketika melaksanakan adat. Jika tuntunan Roh Kudus diabaikan, maka wajar saja jika dalam pelaksanaan adat muncul hal-hal yang menyimpang dari kasih Allah, sehingga terjadi pertengkaran, mabuk oleh tuak, ataupun berjudi.[xiii][xiv] Hal ini dapat terjadi baik dalam upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari.


*Tulisan ini adalah bagian dari Tesis sebagai syarat kelulusan Program Pasca Sarjana, Program Studi Magister Teologi, Konsentrasi Leadership/Biblical, pada Sekolah Tinggi Teologi Nazarene Yogyakarta.





[i][i] Lumbantobing Andar M., Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, h. 68.
  [ii] Materi B2B Course: Your Way To The Nations, 2009, hlm. VI-5.
[iii] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia:, h. 197.
[iv] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia:, h. 196.
[v] Sagala Mangapul, Injil dan Adat Batak, h. 79.
[vi] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, h. 199.
[vii] Hipas = sehat, segar; Malua = bebas, lepas; Horas = selamat, senang, makmur, sehat; Sonang = senang, bahagia, tenang; Dame = damai.
viii] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, h. 212.
[ix] Simanjuntak P. W. T., Panindangion Haporseaon (Konfessi): Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tarutung, 1996, h. 26.
[x] Impola Jamita adalah buku berisi uraian khotbah di HKBP selama setahun, yang diterbitkan oleh Kantor Pusat HKBP setiap enam bulan, untuk dijadikan buku pegangan bagi para pendeta dan sintua dalam berkhotbah.
[xi] Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon adalah buku Tatanan Penggembalaan dan Teguran (Penghukuman).
[xii] Tohonan Sintua: Tohonan Parmahanion adalah buku Jabatan Penatua: Jabatan Penggembalaan.
[xiii] [xiv][xiv] Lihat halaman 41: pendapat Robert Simarmata.