“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Selasa, 12 April 2011

ETIKA KRISTEN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

ETIKA KRISTEN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

Refleksi dari Matius 13:31-32.

            Biji sesawi, benih yang sangat kecil, tapi kemudian tumbuh menjadi pohon yang sangat besar, dan pohon itu menjadi tempat perlindungan bagi burung-burung. Demikianlah seharusnya setiap orang percaya, terus-menerus bertumbuh, dari semula merupakan bayi yang hanya bisa menangis, seiring dengan pertumbuhan tubuhnya, bertumbuh pula kerohaniannya, dan menjadi seorang dewasa yang menjadi berkat bagi orang lain selama hidupnya.  Pertumbuhan rohani ini merupakan suatu proses yang tidak pernah berakhir. 

            Di dalam pertumbuhan pasti mengalami jatuh dan bangun. Namun prosesnya harus menunjukkan suatu peningkatan. Seperti seorang yang sedang naik gunung, di dalam usaha mencapai puncaknya dia akan mengalami peristiwa terpeleset dan terpaksa turun dua langkah, tapi dia harus naik lagi tiga langkah. Maka pertumbuhannya menunjukkan kenaikan menuju ke arah puncak. Jadi, perubahan yang harus dialami oleh setiap orang Kristen untuk menjadi lebih baik tidaklah selalu merupakan jalan yang mulus tanpa hambatan. Prinsipnya, di dalam bertumbuh, setiap orang Kristen harus meletakkan dirinya di bawah otoritas Tuhan sebagai Sang Pencipta agar selalu ditolong untuk bertumbuh ke arah yang benar.

            Globalisasi adalah penyebab perubahan hebat yang sudah dialami manusia berabad-abad lamanya. Sebagian manusia dengan cepat mengikuti perubahan ini. Tapi sebagian lain lambat atau bahkan tidak mau berubah. Beberapa alasan penyebab manusia sukar berubah, yaitu 1) tidak mau meninggalkan kenyamanan yang sudah dimiliki, 2) takut menghadapi hal yang baru, 3) budaya yang mengikat, 4) malas atau tidak mau repot.

            Manusia adalah pembentuk budaya. Budaya dibentuk supaya ada peraturan agar manusia bisa hidup bersama dan berhubungan satu sama lain dengan harmonis. Tapi manusia sering menjadi terikat dengan budaya ini dan sulit untuk melepaskan diri dari budayanya. Kita sering lupa pada hakikat dibentuknya budaya itu. Selama budaya itu masih relevan untuk membangun hidup kita ke arah yang lebih baik, maka kita boleh tetap mempertahankannya. Namun jika budaya itu sudah mengganggu pertumbuhan rohani kita, atau bahkan merusaknya, maka seharusnya kita meninggalkannya dan membentuk budaya yang baru atau masuk ke dalam budaya yang lain. Berubah memang bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Tetapi bukan tidak bisa. Semua bergantung pada diri kita sendiri apakah kita mau berubah. Tuhan sudah memberikan kuasa kepada kita untuk mengelola dunia ini, kita tinggal memilih mau atau tidak.

            Bagaimana kita menyikapi alat-alat globalisasi? Jika kita mengalami dampak yang baik dari alat-alat globalisasi itu, maka kita akan memujinya. Tapi jika kita mengalami dampak yang buruk, kita juga  menyalahkannya. Alat-alat globalisasi tidak ada yang salah. Benar atau salah, baik atau buruk dampaknya, semua adalah tanggung jawab kita sendiri. Maka, di dalam menyikapi alat-alat globalisasi, seperti komputer, handphone, televisi, dan lain-lain, kita harus selalu minta hikmat Roh agar kita mendapat perlindungan dari Tuhan untuk bisa menyaring mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak, serta diberi kemampuan untuk menahan diri menghadapi tawaran-tawaran yang nampaknya indah namun menyesatkan.

            Bagaimana kita menerapkannya dalam konteks Indonesia? Indonesia adalah negara dengan banyak suku sehingga beragam pula budayanya. Kita bisa membuat perubahan yang baik dengan pencampuran/perkawinan budaya. Contohnya, budaya Batak dikawinkan dengan budaya Jawa. Jika hal yang baik dari kedua budaya itu disatukan dan yang buruk dibuang, maka akan timbul suatu perubahan yang baik. Orang Batak dengan karakternya yang tegas dan prinsip yang kuat, jika ia mau belajar bersikap lemah lembut seperti orang Jawa, akan menghasilkan karakter manusia yang lebih baik. Pemberian marga kepada orang Jawa yang sering dilakukan karena perkawinan antar budaya ini, bisa membuat perubahan yang semakin baik jika dia menerimanya dengan sikap terbuka dan mau berubah untuk menjadi lebih baik. Sifat orang Jawa yang suka berbasa-basi sehingga tidak menampilkan dirinya yang sesungguhnya, dapat dirubah menjadi lebih baik jika ia mau belajar berbicara sesuai isi hatinya seperti orang Batak. 

            Agama mayoritas di Indonesia adalah Islam. Fakta sejarah di Indonesia, kelompok ini nampaknya telah memberi tekanan yang keras pada orang Kristen. Mengapa? Karena Kristen, walaupun minoritas, tetap mempunyai pengaruh yang besar dan eksis dalam pembentukan budaya di Indonesia sehingga menjadi komunitas yang disegani Islam, bahwa jika tidak dibatasi pergerakannnya, budaya Kristen akan menyingkirkan Islam. Setidaknya, itulah  mungkin yang banyak kita rasakan sebagai kelompok minoritas di negara ini. Sebagai orang percaya kita harus bisa menyikapi hal ini dengan bijak. Sikap yang terbuka dan mau berbaur akan memberi peluang bagi kita untuk menyampaikan nilai-nilai yang baik dan menjadi terang di antara mereka. Bukan malah bersikap memusuhi yang akan berpotensi memicu konflik.

2 komentar:

  1. Pandangan yang dikemukakan di dalam tulisan di atas seluruhnya bersifat individual, bukan bersifat komunal. Kalau kita berbicara budaya Batak atau budaya lainnya, maka kita melihat Batak sebagai orang banyak, sehingga ketika kita berbicara perubahan, maka itu adalah perubahan orang banyak. Nah, inilah yang menjadi permasalahan bahwa perubahan haruslah terjadi dan berlangsung dari waktu ke waktu secara transformatif dalam perspektif "langit baru dan bumu baru" di dalam Wahyu 21.

    Kemudian kalau kita berbicara perubahan individual, maka ada kendala yang dihadapi berupa terutama yang berhubungan dengan filosofi dan world-view, karena hal ini membentuk cara berpikir dan perilaku. Selain itu masih ada lagi yang berhubungan dengan kebiasaan yang sudah mendarah daging, sehingga sangat sulit untuk berubah seperti makan dengan masakan yang sangat kental dengan rasa pedas, asin, dan asam. Belum lagi dengan bumbu masakan yang menggunakan a-n-d-a-l-i-m-a-n yang tidak kita temukan pada masakan di dalam budaya lain.

    Mungkin yang bisa berubah ialah hanya bagian luarnya saja, sehingga seorang Batak tidak akan pernah bisa berubah menjadi Jawa atau setengah Jawa. Sedang perubahan bisa terjadi oleh nilai-nilai di dalam Alkitab dan karya pembaharuan Roh Kudus menuju serupa seperti gambar Yesus (Roma 8:29), sehingga bukan menuju seperti budaya lain. Sekianlah dulu. Horas.

    BalasHapus