“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Jumat, 22 Mei 2020

SIKAP IMAN KRISTEN TERHADAP PLURALISME AGAMA


SIKAP IMAN KRISTEN TERHADAP PLURALISME AGAMA
 Oleh: Niken DP Nababan

Pluralisme agama muncul sebagai reaksi terhadap eksklusivisme dan fundamentalisme agama. Pada awalnya merupakan suatu keterbukaan terhadap pluralitas (kemajemukan) namun kemudian berkembang menjadi inklusivisme yang ingin menggabungkan semua agama menjadi satu agama universalis. Pluralisme kelihatan seakan-akan merupakan jalan kompromi yang terbaik untuk menyatukan paham agama-agama yang acapkali menimbulkan pertikaian dan perang, namun pluralisme menjadi kurang menghargai keunikan agama-agama. Salah satu tokoh yang banyak berkontribusi menerbitkan hipotesis pluralisme adalah John Hick, seorang teolog Inggris dan filsuf analitik. Menurut John Hick semua agama adalah merupakan respon terhadap suatu keberadaan tertinggi yang bersifat transenden yang disebut The Real. Karena The Real melampaui semua kategori manusiawi maka semua agama tidak mungkin sempurna atau sepenuhnya benar. Keselamatan manusia digambarkan sebagai proses perubahan dari berpusat pada diri sendiri (self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Real-centered). Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau tidak dilihat pada kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan kekudusan. Pluralisme agama terlihat menjadi paham yang simpatik karena ingin membangun teologi yang terdengar amat toleran, yaitu ”semua agama benar” dan “semua agama menyelamatkan”, namun pada dasarnya bila dipandang dari iman Kristen pluralisme telah menyangkali Alkitab.
   Umat Kristen adalah gereja Tuhan yang harus berpikir terbuka dan menerima kenyataan bahwa ia hidup di bumi tidak sendirian tetapi berada di antara agama-agama lain. Sebagai umat Kristen kita harus bersikap inklusif terhadap masyarakat majemuk, tetapi di sisi lain harus bersikap eksklusif dalam pengakuan iman percaya kepada Allah Tritunggal. Sejarah agama Kristen yang dikandung dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru cukup meyakinkan umat Kristen untuk menerima keunikan Kristus. Kita dapat menerima kehadiran agama-agama lain dengan sikap terbuka bahwa semua penganut agama itu adalah umat manusia yang dikasihi Tuhan, namun penerimaan ini tidak harus diikuti dengan sikap yang menganggap bahwa semua jalan menuju surga itu sama.
Ketika Rasul Paulus berbicara di Athena dalam Kisah 17:16-34 ia menunjukkan sikap yang inklusif namun beriman eksklusif. Ia menunjukkan sikap inklusif dengan bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan para filsuf Epikuri dan Stoa. Ia mempelajari kitab suci dan tulisan para pujangga mereka. Ia tidak menolak kerinduan orang-orang dalam menyembah Allah Yang Tidak Dikenal tetapi Paulus sedih hatinya melihat banyaknya berhala dan kuil-kuil di kota itu. Karena itulah iman eksklusifnya menghasilkan suatu kesaksian bahwa Yang Tidak Dikenal itu diperjelasnya dengan memperkenalkan keunikan Allah yang menjadikan langit dan bumi, Tuhan atas langit dan bumi yang memberikan hidup dan nafas kepada semua orang, dan Injil tentang Yesus yang telah bangkit. Ia tidak memaksa orang lain mengikut Kristus (proselitisme) melainkan ia menceritakan imannya dan biarlah orang lain yang menentukan iman mereka sendiri. Hasilnya ada yang percaya dengan kesungguhan hati tanpa dipaksa atau terpaksa dan ada juga yang tidak percaya.
Kita dapat belajar dari sikap Paulus untuk memberitakan Injil di muka bumi dengan cara yang penuh damai. Sikap eksklusivisme merupakan sikap agama-agama yang menutup diri dan mengklaim agama yang dianutnya adalah paling benar seraya mengkafirkan atau menistakan agama lain. Apabila gereja memiliki sikap ini, kita perlu ingat akan perkataan Tuhan Yesus: “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! Harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” (Matius 5:22). Berita Injil tidak dapat disampaikan dengan cara memaksa apalagi menistakan sesama yang tidak seiman. Berita Injil juga tidak dapat disampaikan dengan bentuk spiritualitas yang merasa diri superior dan memandang inferior terhadap orang lain yang tidak seiman. Tuhan Yesus tidak pernah mendekati orang-orang yang tidak sepaham dengan pola pendekatan “superior-inferior”, bahkan kepada para musuh yang jelas-jelas membenciNya. Justru sebaliknya prinsip yang paling mendasar dari seluruh hidup dan pelayanan Tuhan Yesus adalah sikap “pengosongan diri” dan bersedia “mengambil rupa seorang hamba” dengan “merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati” (Filipi 2:6-8).
Di Indonesia kerap terjadi konflik antar suku, adat dan agama. Untuk menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah berupaya mencari jalan dalam bentuk dialog antar pimpinan dan umat beragama. Dialog dan diskusi agama biasanya dilakukan di antara para ahli agama untuk saling tukar-menukar informasi tentang kepercayaan dan amalan agama masing-masing, sehingga satu sama lain dapat tumbuh pengertian tentang persamaan dan perbedaan ajaran agama satu dengan lainnya. Diharapkan dengan pengertian ini akan terjadi saling menghargai dan menghormati.
Kita perlu memperluas wawasan untuk mengetahui pemahaman agama lain. Dialog keagamaan pun harus dapat kita terima dengan sikap tebuka. Kita dapat menggunakan dialog ini sebagai salah sayu kesempatan untuk memberitakan Injil. Dengan keterbukaan kita terhadap setiap orang dan semua agama, akan menjadi peluang yang baik bagi kita untuk menjadi saksi Kristus melalui perkataan dan perbuatan kita yang sesuai dengan keteladanan Kristus. Maka kita perlu terus-menerus membekali diri dan meneguhkan iman kita.
Bagi umat Kristen setidaknya ada tiga hal yang sungguh-sungguh harus kita imani, yaitu:

1.    Percaya Allah Tritunggal (Allah Bapa, Anak, Roh Kudus).
Alkitab memang tidak memuat kata Tritunggal, namun ajaran mengenai Allah Tritunggal tersirat sebagai senuah kebenaran Alkitabiahyang tampak mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu. Realita ini dapat dibuktikan dengan cara melalui pernyataan-pernyataan dan kiasan-kiasan umum dan dengan menunjukkan adanya tiga pribadi keAllahan yang diakui sebagai Allah.

2.    Percaya Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat.
Pernyataan Allah dalam Yohanes 3:16 merupakan suatu anugerah bagi orang percaya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Hal ini pun sudah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama, Yesaya 43:11, “Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku.”

3.    Percaya Alkitab adalah Firman Allah.
Alkitab adalah Firman Allah, ditulis oleh para penulis yang diilhami oleh Roh Kudus. Alkitab mewujudkan tujuh keajaiban, yaitu:
-          Keajaiban formasinya.
Alkitab berkembang dari lima kitab pertama yang ditulis oleh Musa sampai menjadi 39 kitab Perjanjian Lama (PL) dan 27 kitab Perjanjian Baru (PB), merupakan sejarah perjalanan penuh misteri Allah yang tidak terjadi pada kitab yang lain.
-          Keajaiban kesatuannya.
Alkitab terdiri dari 66 kitab dan surat, ditulis oleh 44 penulis yang berbeda dalam kurun waktu 16 abad. Penulis-penulisnya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda dan tidak saling mengenal, di antaranya beberapa raja Israel, pejuang, gembala, penyair, tabib, dan nelayan. Meski demikian alkitab adalah buku yang paling menyatu di dunia, berisi suatu pewahyuan yang secara progresif menyampaikan pesan-pesan dari Allah tanpa sedikit pun saling berlawanan satu sama lain.
-          Keajaiban usianya.
Alkitab dapat dipastikan merupakan kitab yang paling tua di dunia, diawali dengan kelima kitab pertama yang ditulis oleh Musa sekitar 35 abad yang lalu.
-          Keajaiban penjualannya.
Alkitab buku yang paling laris di antara buku lainnya. Beberapa ratus juta terjual setiap tahun di seluruh dunia.
-          Keajaiban popularitasnya.
Setiap tahun Alkitab dibaca oleh lebih dari 1 miliar orang dewasa dan anak-anak dari segala bangsa dan klasifikasi manusia di planet bumi ini.
-          Keajaiban bahasanya.
Alkitab ditulis dalam tiga Bahasa: Ibrani, Aram, dan Yunani. Kebanyakan dari penulis Alkitab tidak pernah mengecap pendidikan tinggi secara formal namun Alkitab telah diakui sebagai hasil karya literatur yang terbesar di dunia.
-          Keajaiban pemeliharaannya.
Sepanjang sejarah peradaban manusia tidak ada buku lain yang demikian ditentang, dibenci, dianiaya, dan juga dibakar. Namun Alkitab selalu berhasil mempertahankan eksistensinya dimana Alkitab berkemenangan atas semua orang yang berusaha membungkam berita keselamatan melalui darah Yesus Kristus.

            Gereja tidak perlu cemas untuk bersikap inklusif terhadap realita dan tantangan pluralisme agama. Dengan sikap inklusif tersebut kita dapat membuka dialog dengan agama lain secara damai. Bahkan kini dialog menjadi kondisi yang tidak terelakkan di era komunikasi digital yang telah merasuk dalam kehidupan sehari-hari semua orang dari berbagai tingkat usia, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Kita harus berani selangkah lebih maju untuk “membandingkan” setiap ajaran iman dari tiap-tiap agama dengan rasa hormat yang tinggi, namun kita tidak boleh “mempertandingkan” agama-agama selayaknya atlet dalam arena pertandingan.
            Dengan mengetahui perbandingan ajaran-ajaran agama secara obyektif dan jernih, kita dapat memahami ajaran agama lain sehingga kita dapat bersikap bijaksana kepada penganutnya. Jikalau kita memiliki iman yang eksklusif yaitu percaya bahwa Yesus satu-satunya jalan keselamatan, maka kita harus membuktikan secara faktual dalam kehidupan nyata, bukan memperdebatkannya. Tuhan Yesus berkata dalam Matius 12:33, “Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” Jika gereja merupakan pohon yang baik maka harus terbukti dengan tindakan yang baik dan berkenan kepada Allah.
            Dalam Yohanes 15:2 Tuhan Yesus berkata, “Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah”. Dari buahnya yang nyata kita dapat mengoreksi diri kita, di samping kita juga dapat melihat bagaimana buah dari agama-agama yang ada. Karena itu kita harus terus-menerus meneguhkan iman kita agar dapat bersikap benar dalam menghadapi tantangan pluralisme dan memohon kekuatan dari Tuhan agar kita dimampukan menjadi saksi Kristus di tengah-tengah kemajemukan bangsa ini.


REFERENSI

Alkitab
Abel, Harnold, Pemahaman Tentang Allah dan Keselamatan, Sebuah Studi Perbandingan Pokok Ajaran Iman Kristen dan Agama Lain, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, 1997.
Aritonang, Jan S., Pdt., Dr., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 1, 1995.
Bedjo, SE., M.Div., Pluralisme Agama dalam Perspektif Kristen, Makalah Seminar bagi Guru-guru Pendidikan Agama Kristen, Surabaya, 24 Februari 2007.
Linneman, Eta, Prof., Dr., Theologi Kontemporer, Ilmu atau Praduga?, Persekutuan Pelayanan Injil Indonesia (PPII), Batu, Jawa Timur, 2006.
Lumintang, Stevri L., Pdt., Dr., Theologi Abu-abu, Pluralisme Agama, Gandum Mas, Bandung, Cet. 1, 2004.
Newbigin, Lesslie, Injil dalam Masyarakat Majemuk, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 5, 2006.
Octavianus, P., Dr., Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang, Cet. 1, 1985.
Smith, Huston, Agama-agama Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Ed. 5, 1999.
Song, Choan Seng, Allah yang Turut Menderita, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
Wijaya, Dede, Pesona Alkitab, PBMR ANDI, Yogyakarta, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar