“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya,

ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,

tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Matius 7:24-25)

Minggu, 15 Oktober 2023

 

BAHAN PEMAHAMAN ALKITAB

Yakobus 1:2-3

PENCOBAAN

2 Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, 3 sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. 

Dalam bahasa Yunani kata ujian diterjemahkan dari kata dokimion (kata benda) yang artinya sebuah ujian, percobaan dan apa yang asli. Kata ini juga berarti yang ditemukan dan disetujui asli setelah pengujian dengan fokus pada hasil yang tak terhindarkan atau pembuktian. Dari kata sifat dokimos atau dexomai yang artinya diterima dengan benar keasliannya setelah lolos atau lulus ujian. Dapat divalidasi atau dinyatakan sah; benar; sempurna; tiada cela (dusta, palsu); sesuai dengan hukum/peraturan. Dapat diverifikasi atau diperiksa tentang kebenaran laporan dan pernyataannya. Kata ini berasal dari kata dasar dokimazo dan dokime, kata yang digunakan untuk membuktikan (menguji, memeriksa, meneliti) dan mengkorfimasi (menyetujui dan menganggap layak) keaslian sesuatu. Kata itu semua berasal dari akar kata dokeo yang artinya menganggap dan menyatakan benar.

Sementara kata pencobaan diterjemahkan dari kata Yunani peirasmois yang artinya uji coba atau coba-coba. Kata ini berasal dari kata peirasmos yang artinya percobaan, godaan, masa percobaan, pengujian, dicobai, dan musibah atau penderitaan. Kata ini ada di antara godaan atau ujian, tergantung konteksnya (bdk. Kej. 4:7, Rm. 12:17-18). Jika itu perasaan positif, maka disebut ujian dan jika perasaan negatif maka itu godaan. Jika itu positif, maka ini adalah ujian atas kesetiaan, integritas, kebajikan atau keteguhan seseorang. Secara umum kata ini berarti percobaan dan membuktikan karakter dan ketabahan iman seseorang melalui kesulitan dan kesengsaraan.

Kata ini berasal dari kata dasar peirazo yang artinya untuk membuktikan, mencoba, menguji dan menggoda. Kata ini diartikan menggoda (arti negatif, bdk. Mat. 16:1, 19:3, 22:18, 35, Mrk. 8:11, 10:2, 12:15, Luk. 11:16, Yoh. 8:6, Yak. 1:13, 14). Kata ini diartikan menguji (arti positif, bdk. Mat. 4:1, Luk. 22:28, 1Kor. 10:13 dan Yak. 1:12)

Memperhatikan perikop Yakobus 1:2-3, pengertian tersebut menolong kita untuk memahami bahwa ada sebuah kebahagiaan jika seseorang jatuh (peripesete = mungkin jatuh ke dalam, dari kata peripipto = jatuh ke tengah-tengah, terlibat dalam, benar-benar dikelilingi oleh) ke dalam berbagai pencobaan (peirazo). Mengapa disebut bahagia? Karena jika dapat melihat pencobaan itu dari perasaan atau sudut pandang positif, maka itu adalah sebuah ujian (dokime) dan bukan godaan. Lebih tepat melihat hal itu dari sudut pandang iman sehingga menjadi ujian iman. Ujian atas iman ini menghasilkan (memproduksi) ketekunan (daya tahan, ketabahan dan kesabaran, bdk. Roma 5:3-4 dan 2Ptr. 1:5-8).

Dalam rangka membedakan peirazo sebagai godaan dan ujian dibutuhkan hikmat (sophias, sophia) yaitu kebijaksanaan, wawasan, keterampilan dan kecerdasan yang dari Allah (bdk. Dan. 1:4). Hikmah itu bersumber bukan hanya dari pengalaman iman tetapi juga ketajaman membedakan apa yang baik dan yang jahat (bdk. Rm. 12:2). Hikmat yang lahir dan bersumber dari hidup yang saleh di hadapan Allah pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan, dan buah-buah yang baik [bdk. Gal. 5:22-23], tidak memihak dan tidak munafik [3:17]) serta yang tidak lahir dari nafsu manusia, dari setan-setan, dari iri hati, dari mementingkan diri sendiri dan dari dusta (bdk. 3:14-16). Hikmah yang dimaksud adalah hikmat yang ada dalam Kristus Yesus (bdk. 1 Kor. 1:30-31, 2 Korintus 13:5).

Karena ini adalah ujian iman, maka selain melihat hal itu dari sudut pandang iman, dibutuhkan hikmah dari Allah yang murah hati dengan cara meminta hal itu dengan iman, dengan kesungguhan dan tidak dalam kebimbangan.

DISKUSI:

1.  1. Jika penulis surat Yakobus menganggap sebuah kebahagiaan jika jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, bagaimana perasaan Saudara? Ceritakanlah pengalaman Saudara sendiri!

2. Bagaimana membedakan peirazo sebagai godaan dan peirazo sebagai ujian? Berikanlah contoh nyata yang pernah Saudara alami atau Saudara lihat melalui pengalaman orang lain!

3. Berdasarkan pengalaman dan cara pandang  Saudara, apa yang membuat Saudara menjadi tekun dan mengalami kematangan iman? (Iman yang matang = dewasa, bdk. Ef. 4:12-15, 1 Korintus 13:11-12 dan Ibrani 5:12-14).

Rabu, 01 September 2021

BAGAIMANA JIKA SAYA KEHILANGAN SEMUANYA? 


Tidak berlebihan bila masa pandemi Covid-19 ini disebut sebagai masa yang mencekam. Seluruh dunia tidak terluput dari serangan makhluk kasat mata itu. Berita duka terdengar setiap hari. Masyarakat berbagai kalangan tanpa terkecuali telah terkena dampak ekonomi dan sosial. Kekayaan tidak bisa membeli kesehatan, rumah besar tidak bisa memberikan kenyamanan, kendaraan mewah tidak bisa membawa pada kebebasan menuju ke tempat yang diinginkan. Banyak orang mengalami penderitaan bertubi-tubi karena pandemi Covid-19 ini, dan tak seorangpun tahu kapan akan berakhir.


Penderitaan dalam Alkitab adalah peristiwa nyata yang dialami umat Allah, bukan imajinasi, bukan pula ilusi. Ada tiga hal penyebab penderitaan. Pertama, penderitaan karena dosa warisan dari Adam dan Hawa. Kedua, penderitaan karena dosanya sendiri. Ketiga, penderitaan karena diijinkan Allah untuk suatu maksud yang baik. Yang harus kita percayai, penderitaan kita bukan datang dari Allah melainkan dari Iblis. Allah hanya mengijinkan penderitaan itu terjadi dan Allah ikut terlibat dalam penderitaan kita agar dapat melaluinya untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Firman-Nya dalam surat Ibrani menunjukkan bagaimana Allah menggunakan bagian-bagian hidup yang menyakitkan untuk pertumbuhan dan kebaikan orang percaya di masa yang akan datang. (Ibrani 12:2-6)


Salah satu tokoh yang ditulis dalam Alkitab dengan penderitaan dahsyatnya adalah Ayub. Alkitab menggambarkan Ayub sebagai seorang yang saleh, jujur, takut akan Allah, menjauhi kejahatan. (Ayub 1:8) Dia diberkati Tuhan dengan kekayaan yang luar biasa besarnya, bahkan disebutkan sebagai orang terkaya di wilayah kediamannya. Ayub bersungguh-sungguh melaksanakan kewajibannya sebagai imam bagi keluarganya. Ayub sangat memperhatikan kesejahteraan rohani anak-anaknya, memperhatikan kelakuan dan gaya hidup mereka, tekun mendoakan dan melakukan apa yang perlu agar anak-anaknya terhindar dari kehidupan dosa. (Ayub 1:4-5)


Oleh perbuatan Iblis, Ayub mengalami penderitaan dalam seluruh aspek hidupnya. Secara jasmaniah; ia kehilangan seluruh kekayaan, seluruh anak, dan kesehatannya. Secara sosial; ia dicemooh istrinya, dihakimi sahabatnya, diasingkan masyarakat. Secara rohani; ia kesepian, ketakutan, putus asa, merasa ditinggalkan Allah. Namun betapapun dahsyatnya penderitaan yang dialami, Ayub tetap setia dan menaruh pengharapan kepada Allah. Ayub tetap bersyukur, memuji Tuhan, dan tidak menyalahkan Allah. Ayub tetap mau mengoreksi diri dengan mempertanyakan kesalahan yang mungkin dilakukan tanpa diketahuinya. Itu menunjukkan bahwa Ayub memiliki sikap penerimaan penuh atas kedaulatan Allah pada dirinya. (Ayub 1:21-22; 9:1-4) Pada akhirnya oleh karena kesetiaan Ayub itu Allah memulihkan keadaannya.


Dari kisah Ayub ini kita dapat belajar untuk bersikap dengan benar apabila kita  kehilangan semua yang kita anggap berharga. Kita belajar menerima segala penderitaan yang terjadi dengan sikap tidak menyalahkan Allah, tetap bersyukur, tetap beriman kepada Allah, instropeksi diri, dan berpengharapan bahwa Allah telah menyediakan yang terbaik bagi kita. Bila demikian kita akan dapat menjalani kehidupan yang sangat sulit di masa pandemi ini dengan perasaan damai dan sukacita. Saya akhiri tulisan ini dengan satu ajakan, mari kita menaati protokol kesehatan dan aturan Pemerintah sehubungan dengan pandemi ini, sebagai wujud kasih kepada diri sendiri dan orang lain, serta wujud ketaatan kepada Allah. (NDP)

Jumat, 22 Mei 2020

SIKAP IMAN KRISTEN TERHADAP PLURALISME AGAMA


SIKAP IMAN KRISTEN TERHADAP PLURALISME AGAMA
 Oleh: Niken DP Nababan

Pluralisme agama muncul sebagai reaksi terhadap eksklusivisme dan fundamentalisme agama. Pada awalnya merupakan suatu keterbukaan terhadap pluralitas (kemajemukan) namun kemudian berkembang menjadi inklusivisme yang ingin menggabungkan semua agama menjadi satu agama universalis. Pluralisme kelihatan seakan-akan merupakan jalan kompromi yang terbaik untuk menyatukan paham agama-agama yang acapkali menimbulkan pertikaian dan perang, namun pluralisme menjadi kurang menghargai keunikan agama-agama. Salah satu tokoh yang banyak berkontribusi menerbitkan hipotesis pluralisme adalah John Hick, seorang teolog Inggris dan filsuf analitik. Menurut John Hick semua agama adalah merupakan respon terhadap suatu keberadaan tertinggi yang bersifat transenden yang disebut The Real. Karena The Real melampaui semua kategori manusiawi maka semua agama tidak mungkin sempurna atau sepenuhnya benar. Keselamatan manusia digambarkan sebagai proses perubahan dari berpusat pada diri sendiri (self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Real-centered). Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau tidak dilihat pada kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan kekudusan. Pluralisme agama terlihat menjadi paham yang simpatik karena ingin membangun teologi yang terdengar amat toleran, yaitu ”semua agama benar” dan “semua agama menyelamatkan”, namun pada dasarnya bila dipandang dari iman Kristen pluralisme telah menyangkali Alkitab.
   Umat Kristen adalah gereja Tuhan yang harus berpikir terbuka dan menerima kenyataan bahwa ia hidup di bumi tidak sendirian tetapi berada di antara agama-agama lain. Sebagai umat Kristen kita harus bersikap inklusif terhadap masyarakat majemuk, tetapi di sisi lain harus bersikap eksklusif dalam pengakuan iman percaya kepada Allah Tritunggal. Sejarah agama Kristen yang dikandung dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru cukup meyakinkan umat Kristen untuk menerima keunikan Kristus. Kita dapat menerima kehadiran agama-agama lain dengan sikap terbuka bahwa semua penganut agama itu adalah umat manusia yang dikasihi Tuhan, namun penerimaan ini tidak harus diikuti dengan sikap yang menganggap bahwa semua jalan menuju surga itu sama.
Ketika Rasul Paulus berbicara di Athena dalam Kisah 17:16-34 ia menunjukkan sikap yang inklusif namun beriman eksklusif. Ia menunjukkan sikap inklusif dengan bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan para filsuf Epikuri dan Stoa. Ia mempelajari kitab suci dan tulisan para pujangga mereka. Ia tidak menolak kerinduan orang-orang dalam menyembah Allah Yang Tidak Dikenal tetapi Paulus sedih hatinya melihat banyaknya berhala dan kuil-kuil di kota itu. Karena itulah iman eksklusifnya menghasilkan suatu kesaksian bahwa Yang Tidak Dikenal itu diperjelasnya dengan memperkenalkan keunikan Allah yang menjadikan langit dan bumi, Tuhan atas langit dan bumi yang memberikan hidup dan nafas kepada semua orang, dan Injil tentang Yesus yang telah bangkit. Ia tidak memaksa orang lain mengikut Kristus (proselitisme) melainkan ia menceritakan imannya dan biarlah orang lain yang menentukan iman mereka sendiri. Hasilnya ada yang percaya dengan kesungguhan hati tanpa dipaksa atau terpaksa dan ada juga yang tidak percaya.
Kita dapat belajar dari sikap Paulus untuk memberitakan Injil di muka bumi dengan cara yang penuh damai. Sikap eksklusivisme merupakan sikap agama-agama yang menutup diri dan mengklaim agama yang dianutnya adalah paling benar seraya mengkafirkan atau menistakan agama lain. Apabila gereja memiliki sikap ini, kita perlu ingat akan perkataan Tuhan Yesus: “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! Harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” (Matius 5:22). Berita Injil tidak dapat disampaikan dengan cara memaksa apalagi menistakan sesama yang tidak seiman. Berita Injil juga tidak dapat disampaikan dengan bentuk spiritualitas yang merasa diri superior dan memandang inferior terhadap orang lain yang tidak seiman. Tuhan Yesus tidak pernah mendekati orang-orang yang tidak sepaham dengan pola pendekatan “superior-inferior”, bahkan kepada para musuh yang jelas-jelas membenciNya. Justru sebaliknya prinsip yang paling mendasar dari seluruh hidup dan pelayanan Tuhan Yesus adalah sikap “pengosongan diri” dan bersedia “mengambil rupa seorang hamba” dengan “merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati” (Filipi 2:6-8).
Di Indonesia kerap terjadi konflik antar suku, adat dan agama. Untuk menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah berupaya mencari jalan dalam bentuk dialog antar pimpinan dan umat beragama. Dialog dan diskusi agama biasanya dilakukan di antara para ahli agama untuk saling tukar-menukar informasi tentang kepercayaan dan amalan agama masing-masing, sehingga satu sama lain dapat tumbuh pengertian tentang persamaan dan perbedaan ajaran agama satu dengan lainnya. Diharapkan dengan pengertian ini akan terjadi saling menghargai dan menghormati.
Kita perlu memperluas wawasan untuk mengetahui pemahaman agama lain. Dialog keagamaan pun harus dapat kita terima dengan sikap tebuka. Kita dapat menggunakan dialog ini sebagai salah sayu kesempatan untuk memberitakan Injil. Dengan keterbukaan kita terhadap setiap orang dan semua agama, akan menjadi peluang yang baik bagi kita untuk menjadi saksi Kristus melalui perkataan dan perbuatan kita yang sesuai dengan keteladanan Kristus. Maka kita perlu terus-menerus membekali diri dan meneguhkan iman kita.
Bagi umat Kristen setidaknya ada tiga hal yang sungguh-sungguh harus kita imani, yaitu:

1.    Percaya Allah Tritunggal (Allah Bapa, Anak, Roh Kudus).
Alkitab memang tidak memuat kata Tritunggal, namun ajaran mengenai Allah Tritunggal tersirat sebagai senuah kebenaran Alkitabiahyang tampak mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu. Realita ini dapat dibuktikan dengan cara melalui pernyataan-pernyataan dan kiasan-kiasan umum dan dengan menunjukkan adanya tiga pribadi keAllahan yang diakui sebagai Allah.

2.    Percaya Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat.
Pernyataan Allah dalam Yohanes 3:16 merupakan suatu anugerah bagi orang percaya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Hal ini pun sudah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama, Yesaya 43:11, “Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku.”

3.    Percaya Alkitab adalah Firman Allah.
Alkitab adalah Firman Allah, ditulis oleh para penulis yang diilhami oleh Roh Kudus. Alkitab mewujudkan tujuh keajaiban, yaitu:
-          Keajaiban formasinya.
Alkitab berkembang dari lima kitab pertama yang ditulis oleh Musa sampai menjadi 39 kitab Perjanjian Lama (PL) dan 27 kitab Perjanjian Baru (PB), merupakan sejarah perjalanan penuh misteri Allah yang tidak terjadi pada kitab yang lain.
-          Keajaiban kesatuannya.
Alkitab terdiri dari 66 kitab dan surat, ditulis oleh 44 penulis yang berbeda dalam kurun waktu 16 abad. Penulis-penulisnya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda dan tidak saling mengenal, di antaranya beberapa raja Israel, pejuang, gembala, penyair, tabib, dan nelayan. Meski demikian alkitab adalah buku yang paling menyatu di dunia, berisi suatu pewahyuan yang secara progresif menyampaikan pesan-pesan dari Allah tanpa sedikit pun saling berlawanan satu sama lain.
-          Keajaiban usianya.
Alkitab dapat dipastikan merupakan kitab yang paling tua di dunia, diawali dengan kelima kitab pertama yang ditulis oleh Musa sekitar 35 abad yang lalu.
-          Keajaiban penjualannya.
Alkitab buku yang paling laris di antara buku lainnya. Beberapa ratus juta terjual setiap tahun di seluruh dunia.
-          Keajaiban popularitasnya.
Setiap tahun Alkitab dibaca oleh lebih dari 1 miliar orang dewasa dan anak-anak dari segala bangsa dan klasifikasi manusia di planet bumi ini.
-          Keajaiban bahasanya.
Alkitab ditulis dalam tiga Bahasa: Ibrani, Aram, dan Yunani. Kebanyakan dari penulis Alkitab tidak pernah mengecap pendidikan tinggi secara formal namun Alkitab telah diakui sebagai hasil karya literatur yang terbesar di dunia.
-          Keajaiban pemeliharaannya.
Sepanjang sejarah peradaban manusia tidak ada buku lain yang demikian ditentang, dibenci, dianiaya, dan juga dibakar. Namun Alkitab selalu berhasil mempertahankan eksistensinya dimana Alkitab berkemenangan atas semua orang yang berusaha membungkam berita keselamatan melalui darah Yesus Kristus.

            Gereja tidak perlu cemas untuk bersikap inklusif terhadap realita dan tantangan pluralisme agama. Dengan sikap inklusif tersebut kita dapat membuka dialog dengan agama lain secara damai. Bahkan kini dialog menjadi kondisi yang tidak terelakkan di era komunikasi digital yang telah merasuk dalam kehidupan sehari-hari semua orang dari berbagai tingkat usia, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Kita harus berani selangkah lebih maju untuk “membandingkan” setiap ajaran iman dari tiap-tiap agama dengan rasa hormat yang tinggi, namun kita tidak boleh “mempertandingkan” agama-agama selayaknya atlet dalam arena pertandingan.
            Dengan mengetahui perbandingan ajaran-ajaran agama secara obyektif dan jernih, kita dapat memahami ajaran agama lain sehingga kita dapat bersikap bijaksana kepada penganutnya. Jikalau kita memiliki iman yang eksklusif yaitu percaya bahwa Yesus satu-satunya jalan keselamatan, maka kita harus membuktikan secara faktual dalam kehidupan nyata, bukan memperdebatkannya. Tuhan Yesus berkata dalam Matius 12:33, “Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” Jika gereja merupakan pohon yang baik maka harus terbukti dengan tindakan yang baik dan berkenan kepada Allah.
            Dalam Yohanes 15:2 Tuhan Yesus berkata, “Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah”. Dari buahnya yang nyata kita dapat mengoreksi diri kita, di samping kita juga dapat melihat bagaimana buah dari agama-agama yang ada. Karena itu kita harus terus-menerus meneguhkan iman kita agar dapat bersikap benar dalam menghadapi tantangan pluralisme dan memohon kekuatan dari Tuhan agar kita dimampukan menjadi saksi Kristus di tengah-tengah kemajemukan bangsa ini.


REFERENSI

Alkitab
Abel, Harnold, Pemahaman Tentang Allah dan Keselamatan, Sebuah Studi Perbandingan Pokok Ajaran Iman Kristen dan Agama Lain, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, 1997.
Aritonang, Jan S., Pdt., Dr., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 1, 1995.
Bedjo, SE., M.Div., Pluralisme Agama dalam Perspektif Kristen, Makalah Seminar bagi Guru-guru Pendidikan Agama Kristen, Surabaya, 24 Februari 2007.
Linneman, Eta, Prof., Dr., Theologi Kontemporer, Ilmu atau Praduga?, Persekutuan Pelayanan Injil Indonesia (PPII), Batu, Jawa Timur, 2006.
Lumintang, Stevri L., Pdt., Dr., Theologi Abu-abu, Pluralisme Agama, Gandum Mas, Bandung, Cet. 1, 2004.
Newbigin, Lesslie, Injil dalam Masyarakat Majemuk, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 5, 2006.
Octavianus, P., Dr., Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang, Cet. 1, 1985.
Smith, Huston, Agama-agama Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Ed. 5, 1999.
Song, Choan Seng, Allah yang Turut Menderita, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
Wijaya, Dede, Pesona Alkitab, PBMR ANDI, Yogyakarta, 2007.

Sabtu, 16 Mei 2020

MENGHADAPI BADAI KEHIDUPAN


MENGHADAPI BADAI KEHIDUPAN
Oleh: Niken Nababan

Saat ini dunia sedang menghadapi suatu badai kehidupan yang sangat dahsyat, yaitu wabah pandemi virus Corona. Pandemi ini berdampak besar bagi kehidupan semua orang, bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Orang yang miskin menjadi semakin miskin, pengusaha kecil banyak yang menutup usahanya, bahkan pengusaha besarpun mulai terdampak. Ribuan karyawan bukan hanya dirumahkan tapi bahkan di PHK. Di sektor pemerintahan dan BUMN mungkin dampaknya tidak terlalu besar, namun di sektor swasta dampaknya sudah sangat luar biasa. Kondisi perekononomian masyarakat saat ini sudah sangat memprihatinkan. Sebagai contoh di kota Yogyakarta yang mengandalkan sektor pariwisata bagi sebagian besar warganya pun sudah banyak yang terpuruk. Baru dua minggu Covid merebak di kota ini, tercatat 98 hotel ditutup, termasuk hotel berbintang empat sekalipun.
Bagaimana kita harus menghadapi kondisi ini sedangkan untuk keluar rumahpun sangat dibatasi. Mungkin di antara kita sudah berusaha dengan berbagai cara untuk memperoleh penghasilan namun hanya sedikit yang dapat dihasilkan untuk sekedar bertahan hidup atau bahkan belum membuahkan hasil apapun. Mungkin sejuta pertanyaan memenuhi benak kita. Takutkah kita akan hari esok? Benarkah Tuhan memelihara hidup kita sepenuhnya? Bila Tuhan memelihara kita dengan kasih setia-Nya lalu mengapa penderitaan ini tak kunjung berakhir? Iman kita kepada Tuhan Sang Pencipta dan Pemilik hidup ini sedang diuji.
        Peristiwa ini mengingatkan kita pada suatu kisah dalam Injil Markus 4:35-41. Badai yang dahsyat menerjang danau Galilea di saat Yesus bersama murid-murid-Nya sedang berlayar dengan sebuah perahu. Kejadian yang menimpa murid-murid di danau Galilea, yang sebagian besar di antara mereka adalah nelayan, merupakan peristiwa yang biasa terjadi. Mereka pasti sudah mengetahui bahwa badai bisa datang kapan saja. Namun kita mendapatkan fakta bahwa sebagai nelayan tangguh seperti merekapun tidak siap menghadapi badai yang sangat dahsyat. Mereka sangat ketakutan melihat dahsyatnya amukan badai itu. Sangat menarik jika kita perhatikan bagaimana Yesus tetap tidur dalam amukan badai yang dahsyat. Secara logika perahu tersebut pasti bergoncang dengan hebat. Bagaimana mungkin seseorang bisa tetap tidur dalam kondisi demikian. Apakah Yesus sengaja membiarkan murid-murid-Nya menghadapi badai itu? Lalu apa yang dilakukan murid-murid Yesus? Dalam perasaan takut yang sangat besar murid-murid membangunkan Yesus dengan sebuah pernyataan protes karena Yesus seolah-olah tidak peduli dengan mereka.
            Saat ini kita ditantang hal yang sama. Tidak seorangpun tahu kapan wabah ini akan berakhir dan apa yang akan terjadi pada hari-hari mendatang. Jika kita hanya melihat sisi negatifnya saja maka kita akan beranggapan bahwa Tuhan berdiam diri dalam penderitaan kita. Namun jika melihat sisi positifnya maka kita memahami bahwa Tuhan selalu merencanakan hal yang terbaik bagi anak-anak-Nya. Melalui badai hidup ini kita dituntut melakukan transformasi hidup dalam segala hal. Perubahan gaya hidup, pola pikir, kreatifitas, kepekaan, ketekunan bekerja, dan banyak hal lainnya. Siap atau tidak kita harus merubah hidup kita. Perubahan ini bukan hanya meliputi hal jasmani tetapi juga hal rohani. Sekalipun kita dituntut untuk berpikir dan bekerja lebih keras namun usaha kita itu akan sia-sia jika kita tidak memperteguh iman kita kepada Yesus.
Sebagaimana teguran Yesus kepada murid-murid-Nya dalam peristiwa badai di danau Galilea, demikian juga kiranya menjadi teguran bagi kita di masa kini. Apakah sejauh ini kita masih sepenuhnya mengandalkan iman kepada Yesus, ataukah kita sudah mulai mengandalkan pikiran dan kekuatan kita sendiri? Marilah kita tetap memusatkan hidup kita kepada Yesus dan beriman bahwa Yesus telah menyediakan hal-hal yang baik bagi kita meskipun harus melalui penderitaan badai hidup yang sangat dahsyat. Iman itu akan menghasilkan pengharapan bahwa waktu Tuhan adalah yang terbaik dan itulah saatnya badai ini berhenti.