SIKAP
IMAN KRISTEN TERHADAP PLURALISME AGAMA
Oleh Niken DP Nababan
Oleh Niken DP Nababan
Pluralisme
agama muncul sebagai reaksi terhadap eksklusivisme dan fundamentalisme agama.
Pada awalnya merupakan suatu keterbukaan terhadap pluralitas (kemajemukan)
namun kemudian berkembang menjadi inklusivisme yang ingin menggabungkan semua
agama menjadi satu agama universalis. Pluralisme kelihatan seakan-akan
merupakan jalan kompromi yang terbaik untuk menyatukan paham agama-agama yang
acapkali menimbulkan pertikaian dan perang, namun pluralisme menjadi kurang
menghargai keunikan agama-agama. Salah satu tokoh yang banyak berkontribusi
menerbitkan hipotesis pluralisme adalah John Hick, seorang teolog Inggris dan
filsuf analitik. Menurut John Hick semua agama adalah merupakan respon terhadap
suatu keberadaan tertinggi yang bersifat transenden yang disebut The Real.
Karena The Real melampaui semua
kategori manusiawi maka semua agama tidak mungkin sempurna atau sepenuhnya
benar. Keselamatan manusia digambarkan sebagai proses perubahan dari berpusat
pada diri sendiri (self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi
(Real-centered). Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan
atau tidak dilihat pada kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan
kekudusan. Pluralisme agama terlihat menjadi paham yang simpatik karena ingin
membangun teologi yang terdengar amat toleran, yaitu ”semua agama benar” dan “semua
agama menyelamatkan”, namun pada dasarnya bila dipandang dari iman Kristen pluralisme
telah menyangkali Alkitab.
Umat Kristen adalah gereja Tuhan yang harus berpikir terbuka dan menerima kenyataan bahwa ia hidup di bumi tidak sendirian tetapi berada di antara agama-agama lain. Sebagai umat Kristen kita harus bersikap inklusif terhadap masyarakat majemuk, tetapi di sisi lain harus bersikap eksklusif dalam pengakuan iman percaya kepada Allah Tritunggal. Sejarah agama Kristen yang dikandung dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru cukup meyakinkan umat Kristen untuk menerima keunikan Kristus. Kita dapat menerima kehadiran agama-agama lain dengan sikap terbuka bahwa semua penganut agama itu adalah umat manusia yang dikasihi Tuhan, namun penerimaan ini tidak harus diikuti dengan sikap yang menganggap bahwa semua jalan menuju surga itu sama.
Ketika Rasul Paulus berbicara di Athena dalam Kisah 17:16-34 ia menunjukkan sikap yang inklusif namun beriman eksklusif. Ia menunjukkan sikap inklusif dengan bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan para filsuf Epikuri dan Stoa. Ia mempelajari kitab suci dan tulisan para pujangga mereka. Ia tidak menolak kerinduan orang-orang dalam menyembah Allah Yang Tidak Dikenal tetapi Paulus sedih hatinya melihat banyaknya berhala dan kuil-kuil di kota itu. Karena itulah iman eksklusifnya menghasilkan suatu kesaksian bahwa Yang Tidak Dikenal itu diperjelasnya dengan memperkenalkan keunikan Allah yang menjadikan langit dan bumi, Tuhan atas langit dan bumi yang memberikan hidup dan nafas kepada semua orang, dan Injil tentang Yesus yang telah bangkit. Ia tidak memaksa orang lain mengikut Kristus (proselitisme) melainkan ia menceritakan imannya dan biarlah orang lain yang menentukan iman mereka sendiri. Hasilnya ada yang percaya dengan kesungguhan hati tanpa dipaksa atau terpaksa dan ada juga yang tidak percaya.
Kita dapat belajar dari sikap Paulus untuk memberitakan Injil di muka bumi dengan cara yang penuh damai. Sikap eksklusivisme merupakan sikap agama-agama yang menutup diri dan mengklaim agama yang dianutnya adalah paling benar seraya mengkafirkan atau menistakan agama lain. Apabila gereja memiliki sikap ini, kita perlu ingat akan perkataan Tuhan Yesus: “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! Harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” (Matius 5:22). Berita Injil tidak dapat disampaikan dengan cara memaksa apalagi menistakan sesama yang tidak seiman. Berita Injil juga tidak dapat disampaikan dengan bentuk spiritualitas yang merasa diri superior dan memandang inferior terhadap orang lain yang tidak seiman. Tuhan Yesus tidak pernah mendekati orang-orang yang tidak sepaham dengan pola pendekatan “superior-inferior”, bahkan kepada para musuh yang jelas-jelas membenciNya. Justru sebaliknya prinsip yang paling mendasar dari seluruh hidup dan pelayanan Tuhan Yesus adalah sikap “pengosongan diri” dan bersedia “mengambil rupa seorang hamba” dengan “merendahkan diriNya dan taat sampai mati” (Filipi 2:6-8).
Di Indonesia kerap terjadi konflik antar suku, adat dan agama. Untuk menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah berupaya mencari jalan dalam bentuk dialog antar pimpinan dan umat beragama. Dialog dan diskusi agama biasanya dilakukan di antara para ahli agama untuk saling tukar-menukar informasi tentang kepercayaan dan amalan agama masing-masing, sehingga satu sama lain dapat tumbuh pengertian tentang persamaan dan perbedaan ajaran agama satu dengan lainnya. Diharapkan dengan pengertian ini akan terjadi saling menghargai dan menghormati.
Kita perlu memperluas wawasan untuk mengetahui pemahaman agama lain. Dialog keagamaan pun harus dapat kita terima dengan sikap tebuka. Kita dapat menggunakan dialog ini sebagai salah satu kesempatan untuk memberitakan Injil. Dengan keterbukaan kita terhadap setiap orang dan semua agama, akan menjadi peluang yang baik bagi kita untuk menjadi saksi Kristus melalui perkataan dan perbuatan kita yang sesuai dengan keteladanan Kristus. Maka kita perlu terus-menerus membekali diri dan meneguhkan iman kita.
Bagi umat Kristen setidaknya ada tiga hal yang sungguh-sungguh harus kita imani, yaitu:
1.
Percaya
Allah Tritunggal (Allah Bapa, Anak, Roh Kudus).
Alkitab
memang tidak memuat kata Tritunggal, namun ajaran mengenai Allah Tritunggal
tersirat sebagai sebuah kebenaran Alkitabiah yang tampak mulai dari kitab
Kejadian hingga Wahyu. Realita ini dapat dibuktikan dengan cara melalui
pernyataan-pernyataan dan kiasan-kiasan umum dan dengan menunjukkan adanya tiga
pribadi keAllahan yang diakui sebagai Allah yang Esa.
2.
Percaya
Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat.
Pernyataan
Allah dalam Yohanes 3:16 merupakan suatu anugerah bagi orang percaya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Hal
ini pun sudah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama, Yesaya 43:11, “Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat
selain dari pada-Ku.”
3.
Percaya
Alkitab adalah Firman Allah.
Alkitab
adalah Firman Allah, ditulis oleh para penulis yang diilhami oleh Roh Kudus.
Alkitab mewujudkan tujuh keajaiban, yaitu:
-
Keajaiban
formasinya.
Alkitab
berkembang dari lima kitab pertama yang ditulis oleh Musa sampai menjadi 39
kitab Perjanjian Lama (PL) dan 27 kitab Perjanjian Baru (PB), merupakan sejarah
perjalanan penuh misteri Allah yang tidak terjadi pada kitab yang lain.
-
Keajaiban
kesatuannya.
Alkitab
terdiri dari 66 kitab dan surat, ditulis oleh 44 penulis yang berbeda dalam kurun
waktu 16 abad. Penulis-penulisnya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda
dan tidak saling mengenal, di antaranya beberapa raja Israel, pejuang, gembala,
penyair, tabib, dan nelayan. Meski demikian alkitab adalah buku yang paling
menyatu di dunia, berisi suatu pewahyuan yang secara progresif menyampaikan
pesan-pesan dari Allah tanpa sedikit pun saling berlawanan satu sama lain.
-
Keajaiban usianya.
Alkitab
dapat dipastikan merupakan kitab yang paling tua di dunia, diawali dengan
kelima kitab pertama yang ditulis oleh Musa sekitar 35 abad yang lalu.
-
Keajaiban
penjualannya.
Alkitab
buku yang paling laris di antara buku lainnya. Beberapa ratus juta terjual
setiap tahun di seluruh dunia.
-
Keajaiban
popularitasnya.
Setiap
tahun Alkitab dibaca oleh lebih dari 1 miliar orang dewasa dan anak-anak dari
segala bangsa dan klasifikasi manusia di planet bumi ini.
-
Keajaiban
bahasanya.
Alkitab
ditulis dalam tiga Bahasa: Ibrani, Aram, dan Yunani. Kebanyakan dari penulis
Alkitab tidak pernah mengecap pendidikan tinggi secara formal namun Alkitab
telah diakui sebagai hasil karya literatur yang terbesar di dunia.
-
Keajaiban
pemeliharaannya.
Sepanjang
sejarah peradaban manusia tidak ada buku lain yang demikian ditentang, dibenci,
dianiaya, dan juga dibakar. Namun Alkitab selalu berhasil mempertahankan
eksistensinya dimana Alkitab berkemenangan atas semua orang yang berusaha
membungkam berita keselamatan melalui darah Yesus Kristus.
Gereja tidak perlu cemas untuk
bersikap inklusif terhadap realita dan tantangan pluralisme agama. Dengan sikap
inklusif tersebut kita dapat membuka dialog dengan agama lain secara damai.
Bahkan kini dialog menjadi kondisi yang tidak terelakkan di era komunikasi
digital yang telah merasuk dalam kehidupan sehari-hari semua orang dari
berbagai tingkat usia, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Kita harus berani
selangkah lebih maju untuk “membandingkan”
setiap ajaran iman dari tiap-tiap agama dengan rasa hormat yang tinggi, namun
kita tidak boleh “mempertandingkan” agama-agama
selayaknya atlit dalam arena pertandingan.
Dengan mengetahui perbandingan ajaran-ajaran agama secara obyektif dan jernih, kita dapat memahami ajaran agama lain sehingga kita dapat bersikap bijaksana kepada penganutnya. Jikalau kita memiliki iman yang eksklusif yaitu percaya bahwa Yesus satu-satunya jalan keselamatan, maka kita harus membuktikan secara faktual dalam kehidupan nyata, bukan memperdebatkannya. Tuhan Yesus berkata dalam Matius 12:33, “Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” Jika gereja merupakan pohon yang baik maka harus terbukti dengan tindakan yang baik dan berkenan kepada Allah.
Dalam Yohanes 15:2 Tuhan Yesus berkata, “Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah”. Dari buahnya yang nyata kita dapat mengoreksi diri kita, di samping kita juga dapat melihat bagaimana buah dari agama-agama yang ada. Karena itu kita harus terus-menerus meneguhkan iman kita agar dapat bersikap benar dalam menghadapi tantangan pluralisme dan memohon kekuatan dari Tuhan agar kita dimampukan menjadi saksi Kristus di tengah-tengah kemajemukan bangsa ini.
Referensi:
Alkitab
Abel,
Harnold, Pemahaman Tentang Allah dan
Keselamatan, Sebuah Studi Perbandingan Pokok Ajaran Iman Kristen dan Agama
Lain, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, 1997.
Aritonang,
Jan S., Pdt., Dr., Berbagai Aliran di
Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 1, 1995.
Bedjo,
SE., M.Div., Pluralisme Agama dalam
Perspektif Kristen, Makalah Seminar bagi Guru-guru Pendidikan Agama
Kristen, Surabaya, 24 Februari 2007.
Linneman,
Eta, Prof., Dr., Theologi Kontemporer,
Ilmu atau Praduga?, Persekutuan Pelayanan Injil Indonesia (PPII), Batu,
Jawa Timur, 2006.
Lumintang,
Stevri L., Pdt., Dr., Theologi Abu-abu,
Pluralisme Agama, Gandum Mas, Bandung, Cet. 1, 2004.
Newbigin,
Lesslie, Injil dalam Masyarakat Majemuk,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 5, 2006.
Octavianus,
P., Dr., Identitas Kebudayaan Asia dalam
Terang Firman Allah, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang,
Cet. 1, 1985.
Smith,
Huston, Agama-agama Manusia, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, Ed. 5, 1999.
Song,
Choan Seng, Allah yang Turut Menderita,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
Wijaya,
Dede, Pesona Alkitab, PBMR ANDI, Yogyakarta, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar