Oleh: Niken Nababan
1.
Falsafah Dalihan Na Tolu
membuat orang Batak memiliki ikatan persaudaraan yang kuat. Orang Batak yang
tetap memegang ajaran Dalihan Na Tolu
akan rajin datang ke persekutuan-persekutuan orang Batak karena tiap-tiap orang
ingin melakukan peran sesuai dengan posisinya dalam persekutuan itu.
2.
Dengan penerapan ajaran adat Dalihan Na Tolu masyarakat Batak masih terikat kaidah hukum adat untuk
menghindari perceraian dan sengketa atas
harta peninggalan orang tua.
3.
Dalam pergaulan masyarakat,
tiang pokok ajaran Dalihan Na Tolu mengharuskan
seseorang saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Maka jika ajaran
ini diterapkan dengan sungguh-sungguh, akan selalu tercipta kerukunan dan kedamaian di kalangan
masyarakat Batak, bahkan juga di kalangan masyarakat umum.
4.
Sikap hidup dalam ajaran Dalihan
Na Tolu yang komunalistik (family atmosphere) akan dapat
menghilangkan sifat-sifat individualistis dan materialistis sehingga
terjadi hubungan kekeluargaan
yang sangat erat dan akrab.
5.
Prinsip saling mendoakan dan
saling menolong dalam ajaran Dalihan
Na Tolu akan membuat segala sesuatu acara yang diadakan oleh orang
Batak ̶ baik itu acara pribadi maupun acara
kelompok ̶ , bebannya
akan terasa lebih ringan karena dikerjakan bersama-sama sesuai peran
masing-masing. Hal itu secara otomatis akan terjadi tanpa perlu ada peraturan
yang harus dibuat atau pembentukan panitia khusus.
6.
Berkat yang diperoleh setiap
orang Batak yang menerapkan ajaran Dalihan
Na Tolu akan mendatangkan suka cita yang tak dapat dinilai dengan harta.
Bagi boru, doa, perlindungan dan kasih sayang dari hula-hula membuatnya
merasa mantap untuk melangkah ke depan dengan penuh pengharapan kepada Allah. Bagi hula-hula,
penghormatan yang diberikan boru menimbulkan rasa bahagia yang tak
terhingga. Sikap hati-hati dan dukungan yang diberikan oleh saudara semarga (dongan
tubu) akan membuat orang Batak merasa tenang menghadapi setiap masalah yang
dihadapi. Beban juga akan terasa lebih
ringan.
7.
Dalam diri orang Batak yang
menerapkan ajaran Dalihan Na Tolu
akan terbentuk karakter yang penuh kesantunan. Menurut St. Binsar Napitu (Sintua/Majelis HKBP Yogyakarta), kebiasaan
menghargai marga akan membuat orang Batak selalu menjaga sikap sopan dan
santun, bahkan kepada orang yang baru dikenalnya. Orang Batak akan selalu
menanyakan marga bila bertemu dengan orang yang belum dikenal, dan secara
spontan akan terbina hubungan dekat jika terdapat hubungan marga di antara
keduanya.
Dampak
Negatif Dalihan Na Tolu Terhadap Sikap Hidup Orang
Batak Kristen
1.
Prof. Sahat Simbolon (jemaat
GKI) berpendapat bahwa falsafah Dalihan Na Tolu, dalam kehidupan
sehari-hari kurang cocok
untuk diterapkan karena sering
disalah gunakan oleh orang Batak untuk kepentingan pribadi. Aspek-aspek dalam Dalihan
Na Tolu memicu terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Begitupun
dalam dunia pekerjaan secara umum, profesionalitas sering terganggu
akibat falsafah ini. Misalnya, pihak boru kadang sulit untuk menolak
lamaran kerja hula-hula padahal hula-hulanya ini sama sekali
tidak memenuhi syarat untuk pekerjaan itu.
2.
Penghormatan yang berlebihan
terhadap hula-hula menyebabkan munculnya sikap fanatisme. Hal ini
membuat orang Batak kehilangan unsur obyektifitas
dalam menilai sesuatu. Hula-hula bersalahpun tetap dianggap benar, bahkan dibela habis-habisan sampai
menimbulkan pertengkaran dengan saudaranya.
3.
Sikap boru yang
menjadikan pihak hula-hula sebagai sumber berkat karena hula-hula
dianggap sebagai wakil Tuhan, dapat menyebabkan orang Batak menduakan Tuhan.
Sikap seperti ini sering membuat orang Batak meletakkan adat di atas firman
Tuhan, bahkan rela mengeluarkan uang yang banyak, sampai berhutang, demi
melaksanakan upacara adat untuk meminta berkat dari hula-hula.
4.
Pdt. Dr. Robinson Rajagukguk (Pendeta HKBP, Dosen Universitas Kristen
Duta Wacana) berpendapat bahwa mengakarnya falsafah Dalihan Na Tolu
dalam diri orang Batak, khususnya jemaat HKBP, membuat orang Batak menjadi
bersikap eksklusif sehingga sukar berbaur dengan masyarakat yang berbeda suku. Orang
Batak juga sering menganggap bahwa budayanya adalah yang paling baik sehingga
membuat orang Batak sukar menerima budaya lain secara positif.
Dampak
Positif Dalihan Na Tolu Terhadap Penggembalaan Jemaat di
HKBP
Para pekabar Injil yang datang dari Inggris, Amerika dan Belanda
dalam kurun waktu tiga puluh enam tahun (1820 – 1856) dapat dikatakan tidak berhasil mempertobatkan masyarakat Batak. Hal
itu dikarenakan para pekabar Injil itu mau mengganti budaya lokal dengan budaya
yang dibawa dari negeri masing-masing. Pada tahun 1859, Van Asselt, Dammeboer
dan Betz dari Belanda berupaya menyukseskan pekabaran Injil dengan cara membeli
budak-budak untuk dibebaskan, diajar dan dididik dengan berbagai pengetahuan.
Dalam perkembangan jemaat selanjutnya bekas-bekas budak itu memegang peranan
yang sangat penting, terutama karena merekalah yang lebih dulu mendapat
bimbingan dalam pengetahuan tentang Injil dan pelayanan jemaat dari misionaris.[i]
Dalam usahanya ini para misionaris hanya berhasil membaptiskan dua orang, yaitu
Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar pada tahun 1961.
Pengalaman para misionaris terdahulu menjadi pelajaran bagi I. L.
Nommensen untuk melakukan perubahan strategi dalam pekerjaan penginjilannya
mulai tahun 1862. Pelayanan yang dilakukan Nommensen bersifat holistik. Di
samping kegiatan penginjilan dan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak,
Nommensen juga melakukan perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan
membangun sistem pertanian dan peternakan yang lebih baik, serta membangun
sekolah-sekolah. Nommensen juga mempertahankan
unsur-unsur positif dari adat-istiadat Batak sehingga identitas kultural Batak
Toba menjadi satu dengan identitas Kristen.[ii]
Usaha Nommensen yang membaur dengan budaya Batak mendapat simpati dari Raja Pontas Lumbantobing,
penguasa pada masa itu, yang melindungi
Nommensen dari para datu (dukun) yang mau membunuhnya. Raja Pontas dan
masyarakat Batak lainnya tergerak hatinya untuk menerima ajaran Injil dari
Nommensen sehingga kemudian dalam kurun waktu yang relatif cepat, banyak orang
Batak bertobat dan menjadi Kristen. Bahkan selanjutnya warga Batak bukan hanya
belajar Injil kepada Nommensen, mereka juga sering minta nasihat yang
berhubungan dengan adat budaya. Adatpun mulai mengalami pergeseran sesuai dengan pertumbuhan iman
warga.
Bagi kebanyakan orang Batak Kristen, sulit memisahkan antara adat
dan agama. Terutama orang Batak yang ada di perantauan, sulit memisahkan diri
dari HKBP. Orang Batak Kristen menganggap HKBP adalah persekutuan yang kokoh
karena berdiri di atas dua fondasi, yaitu rohani dan budaya.[iii]
Sikap ini memudahkan Gereja mengajak orang Batak untuk membentuk persekutuan (punguan)
di manapun berada. Sejak awal orang Batak sudah mempercayai adanya Tuhan. Maka
persekutuan yang telah dibentuk inipun mudah untuk dibungkus dengan nilai-nilai
kekristenan karena dalam diri orang Batak itu sendiri sudah ada dorongan untuk mencari
Tuhan. Gereja dapat memanfaatkan
dorongan ini untuk memotivasi jemaat agar menekuni ajaran firman Tuhan.
Ketiga unsur dalam Dalihan Na Tolu, di mana terjadi hubungan
yang dekat antara tiga pihak, yaitu hula-hula, dongan tubu dan boru,
dapat mempermudah gembala Gereja dalam menyampaikan pengajaran firman Tuhan dan
membimbing jemaat ke arah yang benar. Kuatnya ikatan persaudaraan pada warga
Batak yang sungguh-sungguh menerapkan ajaran Dalihan Na Tolu telah
menimbulkan tumbuhnya nilai-nilai kasih yang besar sehingga gembala tinggal
menekankan saja nilai-nilai kekristenan di dalamnya. Menurut St. Binsar Napitu, jika gembala dalam posisi hula-hula,
pada umumnya apa yang diajarkan akan mudah diterima dan dilakukan oleh boru
yang menghormati hula-hulanya. Sebaliknya jika penggembalaan dilakukan
oleh boru kepada hula-hulanya, maka hula-hula juga akan
menerimanya karena mengasihi borunya. Demikian juga sikap menghargai di
antara dongan tubu membuat penggembalaan itu lebih mudah dikerjakan.
Bagi St. Napitu, tidak ada masalah dalam falsafah ini yang bisa menghambat
penggembalaan kepada jemaat.
Dampak
Negatif Dalihan Na Tolu Terhadap Penggembalaan Jemaat di
HKBP
Selain dampak positif, budaya yang tetap dipegang oleh orang Batak juga memberikan dampak negatif. Adat yang
sudah mengakar dalam diri orang Batak Kristen sering menjadi hambatan untuk
menerima dan memahami firman Tuhan dengan leluasa. Adat itu juga sering
menghambat para gembala Gereja dalam pelayanan jemaat. Seringkali Pendeta/Sintua
(Penatua) merasa sungkan untuk menegur hula-hula yang melakukan
kesalahan. Seringkali teguran dari Pendeta/Sintua yang berposisi sebagai boru
tidak dapat diterima dengan positif oleh hula-hula. Karena harus
bersikap hati-hati kepada dongan tubu, membuat Pendeta/Sintua
seringkali sulit menyampaikan kebenaran firman Tuhan.
Suatu hal yang sangat ditakuti orang Batak ialah apabila dia tarduru
(dikucilkan) dari adat.[iv]
Orang Batak akan dikeluarkan dari punguan (persekutuan) komunitasnya jika
tidak beradat atau melanggar adat. Datangnya berita Injil di tanah Batak
menyebabkan terjadi pergeseran adat yang sering membuat ketegangan dalam
kehidupan orang Batak. Orang Batak sulit memisahkan antara adat
dan budaya maka pemahamannya terhadap firman Tuhan juga
sering menjadi bercampur-aduk, dipengaruhi oleh pemahamannya terhadap adat
budaya. Ini menyulitkan bagi gembala untuk mengarahkan orang Batak Kristen
kepada pemahaman yang benar. Pdt. Monang Silaban (Pendeta HKBP Resort
Yogyakarta (mulai tahun 2008) selalu menekankan agar jemaat melakukan adat di
dalam terang firman Tuhan. Pada dasarnya
jemaat mengerti kebenaran itu namun sulit mempraktekkan dengan murni.
Sebagai contoh adalah jika ada yang menjadikan hula-hula
sebagai sumber berkat karena pemahaman bahwa “hula-hula do Debata na niida” (hula-hula
sebagai Allah yang kelihatan)[v],
masih menjadi masalah bagi orang Batak.
Sebuah acara adat akan batal dilaksanakan jika hula-hula tidak
datang, bahkan untuk acara sederhana sekalipun. Seandainya acara tetap
berlangsung akan dianggap tidak sah secara adat. Hal ini berarti bahwa meskipun
sudah mengerti bahwa sumber berkat adalah Allah, namun orang Batak tetap saja
menganggap bahwa hanya doa dari hula-hulalah yang didengar Tuhan dan menjadi berkat bagi boru. Orang Batak
baru merasa tenang dan mantap menjalani kehidupannya jika mendapat doa dari hula-hula.
HKBP tidak pernah tuntas membicarakan hubungan antara adat dan Injil
walaupun di tingkat HKBP Pusat sudah tiga (3) kali mengadakan seminar Adat (I:
27 Juli – 1 Agustus 1968; II: 6 – 9 Agustus 1976 dan III: 16 – 20 November 1976
di Pematang Siantar). Tidak pernah ada suatu tuntunan yang jelas dan tegas mengenai adat mana yang boleh tetap
dijalankan maupun yang harus ditinggalkan
dan yang harus diseleksi. Di dalam berbagai kotbah, artikel, pembinaan dan seminar yang diadakan baik di
tingkat Gereja HKBP pusat maupun HKBP lokal, selalu hanya disampaikan secara
umum bahwa jemaat harus berada dalam terang Kristus sewaktu menerapkan adat.
Meskipun dalam Almanak HKBP tertulis bahwa jati diri HKBP adalah gereja yang
mengikut Kristus, namun sangat jarang
dinyatakan secara tegas bahwa
Kristus harus menjadi yang lebih utama dibanding dengan adat. Hal itu membuat
jemaat mempunyai interpretasi masing-masing yang bisa berbeda-beda, dan mungkin
juga salah.
Fakta di HKBP Yogyakarta memperlihatkan betapa sedikitnya jemaat
yang mau terlibat dalam persekutuan di Gereja dibanding jika jemaat diundang ke
persekutuan marga. Itu terjadi pada persekutuan kaum bapak, ibu, pemuda maupun
keluarga. Hal itu sudah dapat menjadi bukti bahwa persekutuan marga
seakan-akan menjadi lebih
berharga dibanding persekutuan doa. Demikian juga keterlibatan jemaat
dalam bidang pelayanan sosial seperti posko bencana alam dan bantuan
pendidikan, serta pembangunan fisik, juga masih sangat kurang. Dengan menganut ajaran adat Dalihan
Na Tolu masyarakat Batak telah menikmati kebahagiaan kesukuan sehingga
menganggap sudah cukup dengan hanya mengikuti persekutuan marga dan ibadah
setiap hari Minggu, dan tidak perlu lagi mengikuti acara-acara persekutuan lain
di Gereja.
Keterlibatan jemaat yang sangat kurang dalam acara kerohanian khususnya
persekutuan doa dan kelompok pemahaman Alkitab membuat pengertian jemaat terhadap firman Tuhan
juga sangat minim. Secara umum jemaat
HKBP kurang berminat untuk membaca Alkitab.[vi]
Pemahaman teologi hanya didapat dari khotbah yang didengar pada hari Minggu.
Khotbah cenderung menekankan
individualisme yang bersifat “moralis” dan “fundamentalis”, sedangkan orang
Batak sulit menerima individualisme sebab mereka hidup dalam kolektifisme.
Khotbah yang seperti ini tidak menolong pertumbuhan
iman jemaat.
Beberapa pengajaran firman Tuhan yang sangat mendasar seringkali dipahami sebagaimana pemahamannya terhadap
adat, atau terjadi percampuran pemahaman. Misalnya tentang keselamatan,
masyarakat Batak memiliki pengertian
selamat dalam istilah hipas, malua, horas, sonang dan dame.[vii]
Untuk mencapai keselamatan ini masyarakat Batak cenderung melakukan berbagai
macam upacara adat dan wajib mengundang hula-hula. Seakan-akan kunci keselamatan terletak pada doa dari hula-hula.
Orang Batak lebih mendahulukan pengertian adat sebab lebih sakit dikenakan
hukuman ada daripada hukuman Tuhan.[viii]
Dalam hal dosa, sangat jelas
tertulis dalam Konfessi HKBP Bab 3, bahwa manusia itu telah diampuni dosanya
karena kasih Allah, melalui penebusan oleh Jesus Kristus yang menjadi
jalan kehidupan bagi setiap orang. Holan sian asi ni roha ni Debata do,
marhite panobusion ni Jesus Kristus tubu dalan haluaon tu ganup jolma. [ix]
Persoalannya, dalam bahasa Batak tidak dikenal istilah dosa; yang ada adalah
kata “salah” (sala). Dalam Bahasa Batak juga tidak terdapat kata “maaf”.
Maka sebagian orang ada yang mengartikan bahwa dia belum mendapat keampunan
dosa.
Dalam buku Impola Jamita[x]
dari tahun 2007 – 2011, buku Ruhut Parmahanion
dohot Paminsangon[xi],
dan buku Tohonan Sintua[xii],
tidak ada satupun khotbah maupun
pengajaran yang menguraikan relevansi antara adat budaya Batak dan firman
Tuhan. Berbagai seminar tentang adat yang diadakan di HKBP Yogyakarta, yang
pernah diikuti Penulis, juga tidak pernah mengulas hubungan adat dengan
Alkitab. Seakan-akan keduanya berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menyebabkan
jemaat kesulitan melakukan transformasi kekristenan ke dalam budaya Batak.
Kristus seakan-akan terlepas dari hidup orang Batak ketika melaksanakan adat.
Jika tuntunan Roh Kudus diabaikan, maka wajar saja jika dalam pelaksanaan adat
muncul hal-hal yang menyimpang dari kasih Allah, sehingga terjadi pertengkaran,
mabuk oleh tuak, ataupun berjudi.[xiii][xiv]
Hal ini dapat terjadi baik dalam upacara adat maupun dalam kehidupan
sehari-hari.
*Tulisan ini adalah bagian dari Tesis sebagai syarat kelulusan Program Pasca Sarjana, Program Studi Magister Teologi, Konsentrasi Leadership/Biblical, pada Sekolah Tinggi Teologi Nazarene Yogyakarta.
[i][i] Lumbantobing Andar M., Makna Wibawa
Jabatan dalam Gereja Batak, h. 68.
[ii] Materi B2B Course: Your Way To The Nations, 2009, hlm. VI-5.
[iii] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia:, h. 197.
[iv] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia:, h. 196.
[v] Sagala Mangapul, Injil dan Adat Batak, h. 79.
[vi] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, h. 199.
[vii] Hipas = sehat, segar; Malua = bebas, lepas; Horas = selamat, senang, makmur, sehat; Sonang = senang, bahagia, tenang; Dame = damai.
viii] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, h. 212.
[ix] Simanjuntak P. W. T., Panindangion Haporseaon (Konfessi): Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tarutung, 1996, h. 26.
[x] Impola Jamita adalah buku berisi uraian khotbah di HKBP selama setahun, yang diterbitkan oleh Kantor Pusat HKBP setiap enam bulan, untuk dijadikan buku pegangan bagi para pendeta dan sintua dalam berkhotbah.
[xi] Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon adalah buku Tatanan Penggembalaan dan Teguran (Penghukuman).
[xii] Tohonan Sintua: Tohonan Parmahanion adalah buku Jabatan Penatua: Jabatan Penggembalaan.
[xiii] [xiv][xiv] Lihat halaman 41: pendapat Robert Simarmata.
[ii] Materi B2B Course: Your Way To The Nations, 2009, hlm. VI-5.
[iii] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia:, h. 197.
[iv] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia:, h. 196.
[v] Sagala Mangapul, Injil dan Adat Batak, h. 79.
[vi] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, h. 199.
[vii] Hipas = sehat, segar; Malua = bebas, lepas; Horas = selamat, senang, makmur, sehat; Sonang = senang, bahagia, tenang; Dame = damai.
viii] Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, h. 212.
[ix] Simanjuntak P. W. T., Panindangion Haporseaon (Konfessi): Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tarutung, 1996, h. 26.
[x] Impola Jamita adalah buku berisi uraian khotbah di HKBP selama setahun, yang diterbitkan oleh Kantor Pusat HKBP setiap enam bulan, untuk dijadikan buku pegangan bagi para pendeta dan sintua dalam berkhotbah.
[xi] Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon adalah buku Tatanan Penggembalaan dan Teguran (Penghukuman).
[xii] Tohonan Sintua: Tohonan Parmahanion adalah buku Jabatan Penatua: Jabatan Penggembalaan.
[xiii] [xiv][xiv] Lihat halaman 41: pendapat Robert Simarmata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar