BERBAGAI PANDANGAN TERHADAP FALSAFAH DALIHAN NA TOLU
Oleh: Niken Nababan
Telah
muncul banyak pandangan mengenai adat budaya Batak, khususnya Dalihan Na Tolu, melalui
karya-karya tulis di berbagai media, buku-buku, bahkan berbagai seminar. Dari
pengamatan penulis baik yang diperoleh dari pengamatan langsung terhadap
orang-orang Batak sejak bergabung dalam komunitas kumpulan (punguan) marga pada
tahun 1994 di Yogyakarta; pengamatan
dari berbagai referensi yang telah dibaca; serta hasil wawancara dengan
beberapa orang Batak dari berbagai Gereja di Yogyakarta; maka setidaknya secara
umum orang Batak dibagi menjadi tiga kelompok besar. Pertama, kelompok orang
Batak yang menerima dan melakukan adat tanpa
penyaringan. Kedua, kelompok yang menolak adat karena menganggap adat
adalah sesat. Ketiga, kelompok yang selektif dalam menerima dan melaksanakan
adat.
Pandangan yang Mendukung
Pada
umumnya orang Batak hidup di dalam adat meskipun sudah lama meninggalkan kampung
halaman. Bahkan di daerah asal orang Batak di Tapanuli, dapat dilihat bahwa
hampir setiap hari ada acara adat. Untuk
mendukung tetap terpeliharanya adat budaya Batak, pada tahun 1991 Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Tapanuli Utara memutuskan pembentukan Lembaga Adat Dalihan
Na Tolu sebagai wadah pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah.
Kelompok orang Batak yang mendukung adat, pada umumnya mengagungkan adat Batak
secara membabi buta, dan menjadikannya seolah-olah sesuatu yang tanpa salah,
yang setara dengan Alkitab. Bahkan ada yang memperlakukan adat Batak berada di
atas Alkitab.[i]
Kelompok
yang menerapkan budaya Batak secara ekstrim biasanya terjadi pada orang Batak
yang masih menetap di kampung. Sementara orang Batak yang sudah merantau, pada
umumnya tidak lagi menerapkan adat secara ekstrim meskipun sebagian besar
cenderung hanya mengikuti apa yang sudah diatur oleh para pendahulu tanpa
mengkaji apakah adat itu masih relevan untuk dilaksanakan oleh orang Batak
Kristen masa kini. Sesungguhnya budaya Batak sudah mengalami pergeseran
khususnya dalam pelaksanaan upacara adat. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh
faktor kesulitan ekonomi, sehingga upacara adat dilaksanakan dengan prinsip
rasional dan efisien, namun tetap efektif dan proporsional. Artinya, semua
aspek dalam Dalihan Na Tolu harus tetap ada.
Penulis
G. M. P. Simangunsong mengartikan adat Batak itu sebagai norma yang mengatur
kehidupan masyarakat Batak yang sudah ada sejak nenek moyang suku bangsa Batak.[ii] Adat adalah patokan yang menentukan sikap,
perilaku, tata tertib, pola
pikir dan etika
hidup. Raja Patik Tampubolon menyatakan bahwa ajaran adat Dalihan Na
Tolu terdiri dari patik dan uhum. Patik adalah pagar
pembatas yang baik untuk mencegah seseorang berperilaku salah dengan tiga
kaidah moral yang diperuntukkan bagi anak-anak, muda-mudi dan orang dewasa. Uhum
adalah aturan penindakan atau penerapan hukum untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Ketaatan
melaksanakan ajaran adat Dalihan Na Tolu akan memberikan pengharapan bagi
warga Batak untuk mampu mencapai derajat hatuaon,
yaitu konsep kebahagiaan dalam wujud kehormatan/hasangapon dalam diri seseorang. Tatanan Dalihan Na Tolu
dilihat sebagai suatu nilai luhur di dalam masyarakat Batak. Hal itu terbukti
dari kenyataan hidup sehari-hari komunitas Batak, yang telah mampu mengatur
kehidupannya dengan mempraktikkan
nilai-nilai luhur di dalam Dalihan Na Tolu tersebut. Karena itu,
sangatlah berlebihan jika menilai Dalihan Na Tolu itu sebagai sepenuhnya
merupakan penjelmaan dari dewa-dewa dan melihatnya sebagai hasil karya Lucifer.[iii]
Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena
setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut; ada saatnya menjadi hula-hula,
ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi boru.
Semua posisi itu harus dijalani dengan
sukarela oleh setiap orang Batak. Jadi Dalihan Na Tolu mencerminkan
sebuah sistem yang sangat adil untuk diikuti. Dengan Dalihan Na Tolu,
adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status
seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci
piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang
Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan
Na Tolu merupakan “Sistem Demokrasi” orang Batak karena sesungguhnya
mengandung nilai-nilai yang universal.
Pergeseran
nilai akibat kemajuan teknologi yang mengglobal saat ini ternyata tidak cukup
dihadapi dengan aspek Ilahi saja karena di dalam kehidupan berbangsa melalui
ajaran adat istiadat Dalihan Na Tolu, bangsa Batak memiliki suatu nilai
peradaban yang dapat menghantar suku bangsa Batak mencapai kebahagiaan insan
dan ilahi. Kepatuhan masyarakat Batak atas ajaran Dalihan Na Tolu termasuk
kepatuhan terhadap system kekerabatan patrilineal telah menempatkan suku Batak
itu sebagai salah satu komunitas suku bangsa yang tingkat perceraian dan
sengketa harta warisannya tergolong terendah dari berbagai komunitas suku-suku
di Indonesia.[iv]
Kaidah
moral dalam Dalihan Na Tolu juga berperan untuk menempatkan posisi
setiap warga Batak dalam semua bidang kegiatan kemasyarakatan di manapun dia berada.
Inti ajaran Dalihan Na Tolu dapat diformulasikan sebagai nilai moralitas
adat budaya Batak yang timbul dan tumbuh
berkembang dalam pergaulan hidup warga Batak dengan berpatokan pada ikatan
kekerabatan marga di manapun dan kapanpun dia berada. Hukum adat dalam ajaran Dalihan
Na Tolu adalah tergolong hukum positif yang bertujuan mengatur pergaulan
hidup secara damai.[v]
Suatu kenyataan
bahwa adat Batak tetap dilaksanakan oleh sebagian besar orang Batak, di manapun berada, tanpa
mengurangi ketekunannya mengikuti aturan-aturan gereja sebagai orang Kristen.
Bagi orang Batak yang masih memegang adat, menjadi orang Kristen yang taat
tidak harus melepaskan identitasnya sebagai orang Batak.[vi]
Ir. Rishon Tua Siallagan (jemaat HKBP Yogyakarta) berpendapat bahwa adat Dalihan
Natolu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Batak selama
berabad-abad dan tentu tetap dirasakan manfaat positif dari pelaksanaan adat
itu dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sampai saat ini. Prinsip Dalihan
Na Tolu dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, misalnya
dengan bersikap hormat kepada atasan di kantor, menghargai rekan sekerja yang
satu level, serta bersikap rendah hati di hadapan para bawahan. Dalihan Na
Tolu masih sangat relevan untuk diterapkan di masa sekarang dan masa yang
akan datang. Justru dengan menerapkan Dalihan Na Tolu orang Batak akan
lebih akrab dan dekat satu sama lain.
Pendapat senada
juga diutarakan oleh B. Isti br. Sirait (jemaat GKJ Kotagede). Baginya Dalihan
Na Tolu sejalan dengan Firman Tuhan karena di dalamnya terdapat unsur
saling mengasihi satu sama lain. Menghormati hula-hula sama dengan menghormati orang tua dan itu benar menurut Alkitab.
Yohana E. S. br. Simaremare (jemaat HKBP Yogyakarta) dan Yetty br. Sigiro
(jemaat Gereja Katholik Kotabaru) berpendapat bahwa Dalihan Na Tolu
masih relevan untuk dijalankan pada masa kini karena di dalamnya terkandung
aspek kebersamaan dalam keluarga sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.
Jika setiap orang Batak menerapkan Dalihan Na Tolu dengan konsekuen
sesuai konteksnya maka akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang tinggi satu sama
lain. Di dalamnya juga terdapat aspek melayani dan menolong. Ini merupakan
berkat dari Allah karena mencontoh apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. “Anak
Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45).
Tanpa manfaat
yang jelas yang diberikan oleh adat dalam kehidupan, mungkin sejak lama adat
Batak punah sendiri dari kehidupan masyarakat Batak. Adat Dalihan Na Tolu
menjadi tata tertib sosial dalam masyarakat Batak, yang mengatur hubungan-hubungan
kekerabatan dengan rapi dan sekalikgus membangun rasa kebersamaan, rasa
tanggung jawab bersama dalam berbagai aspek kehidupan mereka, tanpa merasa diri
eksklusif di dalam masyarakat yang semakin pluralistik. Kepatuhan terhadap
ajaran Dalihan Na Tolu telah menempatkan komunitas Batak sebagai communicative
society yang akan mampu membina karakter warga Batak menghadapi tantangan
era globalisasi yang bersifat individual.
Adat istiadat
itu memang lahir dalam masa kekafiran, akan tetapi tidak mustahil manfaat-manfaat
positifnya dapat dibersihkan oleh iman kekristenan dalam Tuhan Yesus Kristus.
Jika setiap warga Batak mampu menerapkan tata hidup Dalihan Na Tolu
untuk mengejar tujuan kebahagiaan (hatuaon), lembaga Gereja akan lebih
mudah mendampingi jemaatnya untuk juga mengejar pengharapan (keselamatan
Ilahi). Upaya transformasi gereja
sering mengalami benturan konflik karena para Imam (Pendeta) kurang memahami
inti ajaran Dalihan Na Tolu. Tanpa dukungan ajaran adat budaya,
hidup kekristenan itu rapuh.[vii]
Pandangan yang Menolak
Adat Dalihan
Natolu yang memang lahir dalam masa kekafiran orang Batak kuno dan diciptakan
oleh para nenek moyang pada zaman itu, membuat beberapa kalangan dewasa ini
menjadi anti adat Batak. Kelompok yang menolak ini menyatakan bahwa falsafah Dalihan Na Tolu bertentangan dengan iman
kekristenan dan sama sekali tidak boleh dilakukan lagi. Bahkan oleh sebagian
masyarakat Batak seolah-olah difatwakan bahwa adat Batak adalah haram bagi
orang Batak Kristen, bersama segala sesuatu yang berhubungan dengan tatalaksana
adat itu.
Struktur Dalihan Na Tolu diciptakan oleh iblis
yang diilhamkan kepada leluhur Batak, kemudian diajarkan kepada keturunannya.
Ciptaan iblis akan memberikan kemuliaan kepada si iblis sendiri. Struktur
Dalihan Na Tolu merupakan gambaran atau peta dari dewa sembahan leluhur yang
hidup di banua ginjang (dunia atau langit atas). Keberadaan ketiga dewa Batak
di langit atas digambarkan atau dipetakan di bumi (banua tonga) oleh unsur
pembentuk Dalihan Na Tolu. Perbuatan ini merupakan pelanggaran terhadap Hukum
Taurat pertama, yaitu: “Akulah Tuhanmu, yang membawa engkau keluar dari tanah
Mesir, tanah perbudakan. Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku.” (Ulangan
5:6-7).
Dengan melakukan
upacara adat kita memberikan jalan masuk pada
kehadiran roh sembahan leluhur di dalam kehidupan kita. Artinya,
kita menerima ilah lain di luar Tuhan
(Bapa di dalam nama Yesus Kristus) yaitu Debata Mulajadi Nabolo, Batara Guru,
Mangala Sori, Mangala Bulan, dan Debata Asiasi. Kita bahkan telah memberi diri
kita sebagai “Peta dari Roh Sembahan Leluhur” itu sendiri, yaitu “Peta Iblis”.
Pelaksanaan upacara adat Batak juga
membuat kita melanggar Hukum Taurat yang kedua. Upacara adat Batak merupakan
upacara religius yang menggambarkan atau memetakan roh sembahan para
leluhur. Peta ini dapat
terlihat dalam struktur
masyarakat Batak yang disusun dengan prinsip Dalihan Na Tolu.
Setiap unsur
dalam Dalihan Na Tolu memiliki hak dan kewajiban yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Pada tatanan sosial, Dalihan Na Tolu menata
hak dan kewajiban antara seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok
lainnya. Setiap orang dalam masyarakat Batak harus menjalankan perannya sesuai
statusnya dalam konteks upacara adat. Pada tatanan rohani, Dalihan Na Tolu
menggambarkan relasi antara manusia dengan alam gaib, antara Banua Tonga dengan
Banua Ginjang. Dr. Annicetus Sinaga menjelaskan struktur Dalihan Na Tolu
menggambarkan hubungan tiga roh dewa sembahan leluhur yaitu Batara Guru, Sori,
dan Mangala Bulan (Bala Bulan).
Dengan demikian, Dalihan Na Tolu merupakan tatanan rohani yang dimulai
dari dunia atas (banua ginjang) dan
harus dilakukan di bumi. Tiga roh dewa sembahan leluhur ini dikenal sebagai Debata
Na Tolu.
Hula-hula merupakan
personifikasi dari Batara Guru, Dongan Sabutuha personifikasi dari Sori
dan Boru merupakan personifikasi dari Mangala Bulan. Tiga dewa ini juga
melahirkan pola berpikir triade dalam tenunan Ulos dengan representasi
warna-warnanya yang disebut bonang manalu yaitu tiga warna magis; hitam, putih, merah. Warna hitam
melambangkan dunia atas; warna putih melambangkan dunia tengah; warna merah
melambangkan dunia bawah. Struktur ini merupakan pola yang menata hubungan di
dunia atas dan ditetapkan oleh Mulajadi Na Bolon untuk juga diberlakukan
di dunia manusia (banua tonga).
Sehingga struktur itu merupakan kehendak Debata (malaikat Iblis sembahan leluhur Batak) bagi manusia, dalam
hal ini bagi orang Batak.[viii]
Manusia sebagai
pelaku upacara adat adalah sarana yang dijadikan untuk memproyeksikan
eksistensi dan peranan roh sembahannya. Selama upacara adat Batak dilakukan,
ketiga dewa tersebut tetap mendapat tempat untuk diproyeksikan eksistensinya
dalam kehidupan bangsa Batak, sekalipun mereka tercatat sebagai orang yang
beragama Kristen. Rheinhard Sinaga berpandangan bahwa Dalihan Na Tolu
itu bukan hanya sebagai pengklasifikasian dari status dan peranan sosial dari anggota masyarakat saja,
namun melalui struktur itu Iblis memanipulasi diri kita untuk kepentingan dirinya
sendiri.
Tuhan Yesus
tidak akan pernah berkenan hadir dalam suatu upacara adat, sekalipun
dibungkus dengan doa kristiani dan memakai nama Tuhan Yesus.
Karena Tuhan tidak akan pernah membagikan kemuliaan-Nya kepada yang lain.
Bagaimana Tuhan Yesus berkenan hadir dalam suatu upacara adat yang Dia tahu
untuk kemuliaan Iblis. Yesaya 42:8 menegaskan “Aku tidak akan memberikan
kemuliaan-Ku kepada yang lain atau kemahsyuran-Ku kepada patung.
Ada sebagian
orang yang membenarkan upacara itu dengan alasan bahwa mereka melakukan doa dan umpasa
yang memakai nama Yesus. Ada juga yang beranggapan bahwa dengan menyebut nama Yesus
dalam acara adat istiadat (apalagi kalau yang memimpin doa itu seorang pendeta)
maka sahlah acara adat itu. Membungkus upacara adat dengan membawa nama Yesus
sama dengan menghujat Tuhan dengan menyebut nama-Nya dengan sembarangan.
Ulangan 5 ayat 11;
“Jangan menyebut
nama TUHANmu dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang
menyebut nama-Nya dengan sembarangan”.
Menurut
Robert Simarmata (jemaat GBI Aletheia Yogyakarta), banyak orang Batak
(khususnya yang masih tinggal di kampung), telah mengaku mengenal Tuhan, tetapi jika
dilihat dari perbuatan, sama sekali tidak menunjukkan sebagai orang yang
mengenal Tuhan. Ini dibuktikan dari seringnya terjadi pertengkaran dan
keributan. Jika Dalihan Na Tolu mengajarkan kasih, mengapa orang Batak
tidak bisa mengasihi dan berbuat baik kepada saudara atau sesamanya? Pertanyaan
ini terus menjadi pemikiran dan perenungan sampai kemudian ditarik sebuah
kesimpulan bahwa adat Batak harus
ditentang dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan. Bagi R. Simarmata, perbuatan
orang Batak itu sudah demikian melenceng maka harus diperbaiki supaya benar,
sebagaimana yang tertulis dalam
Titus 1:13-14:
“Karena
itu tegorlah mereka dengan tegas supaya mereka menjadi sehat dalam iman, dan tidak mengindahkan
dongeng-dongeng Yahudi dan hukum-hukum manusia yang berpaling dari kebenaran.”
Pandangan yang Selektif
Melalui
penciptaan maupun pemeliharaan, Allah telah memberikan kepada manusia karunia-karunia artistik dan
kebudayaan untuk memungkinkan manusia menciptakan kebudayaan yang bervariasi
dan kaya untuk kepentingan manusia selama di dunia ini.[ix]
Kebudayaan itu tidak bernilai kekal namun bisa dipergunakan untuk tujuan yang
kekal. Manusia telah jatuh ke dalam dosa, semua karya yang indah dan baik itupun
tercemar dengan dosa dan sebagian mengandung unsur kuasa gelap. Pernyataan
tersebut dikeluarkan dalam konferensi hamba-hamba Tuhan Injili sedunia yang
tercantum dalam The Lausanne Covenant.[x]
Pernyataan ini mengarahkan orang Batak untuk tidak menolak adat atau menerima
semuanya, melainkan harus bersikap selektif.
Orang Batak
sulit untuk tidak terlibat dengan budayanya. Maka orang Batak dapat menjalani
kehidupan budayanya dengan semaksimal mungkin
menurut ketuhanan Kristus. Itu berarti, menerapkankan adat dengan hati dan
pikiran serta kehendak yang diperbaharui dan dikontrol sejauh yang disadari
melalui penyataan Allah.[xi]
Allah itu di atas budaya, dan melalui budaya pula Allah menggunakan
elemen-elemen kebudayaan untuk berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui Allah, maka
inti kebudayaannya juga dibaharui (II Korintus 5:17).[xii]
Maka adat Batak juga harus diubahkan dan terus-menerus diperbarui agar selaras
dengan Injil Kristus. Sebagaimana penelitian Richard Niebuhr, Tuhan Yesus tidak
hanya menerima adat di zaman-Nya, tetapi juga memperbaharui adat dan tradisi
tersebut.[xiii]
Secara umum
dapat dikatakan bahwa semua gereja yang berlatar belakang sub etnis Batak
menerima keberadaan ajaran adat Dalihan Na Tolu sebagai ajaran moral
yang turut berperan membina tata hidup kekerabatan warganya. Mewakili berbagai
sikap gereja diajukan di sini beberapa pendapat:
1.
Pdt.
Rudolf Pasaribu meminta warga Batak mengantisipasi berbagai upacara adat Dalihan
Na Tolu untuk tidak menerapkan paham
okultisme, yaitu ajaran yang mempercayai adanya kekuatan gaib yang
tersembunyi dalam benda atau arwah.[xiv]
Misalnya, kekuatan roh kesaktian (sahala) dalam ulos yang diberikan hula-hula
kepada boru.
2.
G.
M. P. Simangunsong dalam buku Ruhut-ruhut Adat menekankan harus ada
penafsiran atas ajaran adat Dalihan Na Tolu itu sesuai dengan keimanan
agama, sehingga pelaksanaan adat harus diperluas yakni Kristen yang rohani harus sekaligus menjadi
Kristen yang beradat.[xv]
Contoh adat Dalihan Na Tolu yang tidak mengandung paham okultisme adalah
penebaran “beras sipir ni tondi” oleh hula-hula di atas kepala boru
(bnd. Yoh. 14:27; Mat. 84:12).
3.
Lothar
Schreiner memberikan pernyataan bahwa persekutuan Kristen berkembang secara
wajar melalui pertumbuhan yang berangsur-angsur.[xvi]
Maka adat yang sudah berlangsung selama ini tidak harus dihapuskan atau
ditolak. Titik pegangan dalam segala persoalan dan bukanlah firman Allah yang
dinyatakan dalam Yesus Kristus melainkan kebenaran Kristen yang timbul dari
pengalaman manusia yang sudah diperbaharui di dalam Kristus.
4.
Kenyataan
bahwa utusan Zending tidak dapat merubah susunan adat, maka Pdt. J. Warneck[xvii]
berpendapat bahwa Gereja harus membiarkan adat tetap hidup dalam masyarakat
Batak. Hubungan adat Batak dan Injil dipandang sebagai suatu perembesan yang
satu terhadap yang lain. Tidak perlu ada usaha untuk mengkonfrontasikan adat
itu terhadap Firman Allah.[xviii]
5.
Sinode
Gereja Batak tahun 1934 menghasilkan suatu pernyataan bahwa agama harus berdiri
di atas adat, dan bukan adat di atas agama. Sikap yang tepat terhadap persoalan
adat haruslah dicari dengan bertolak dari kepercayaan Kristen.[xix]
6.
Ludwig
Ingwer Nommensen[xx]
mengabarkan Injil di tanah Batak tanpa menolak tradisi yang sudah ada. Menurut
Nommensen, Injil mengubah seluruh kehidupan rakyat; tidak ada pemisahan antara
yang “rohani” dan “jasmani”,[xxi]
termasuk di dalamnya adalah budaya lokal. Pengembangan ajaran agama Kristen
dilakukan dengan kemasan penerapan ajaran Dalihan Na Tolu yang tidak bertentangan dengan ajaran Injil.
7.
Pdt.
Mangapul Sagala berpendapat bahwa pelaku prinsip Dalihan Na Tolu harus
sungguh-sungguh memperhatikan agar dalam penerapannya tidak merampas kemuliaan
Allah, khususnya dalam hal memberi berkat. Satu-satunya sumber berkat hanya
Tuhan, sedangkan hula-hula hanyalah sebagai saluran berkat yang datang
dari Tuhan. Ketiga unsur dalam Dalihan Na Tolu boleh saling memohon
datangnya berkat dari Tuhan dengan saling mendoakan satu sama lain.[xxii]
8.
Prof.
Sahat Simbolon (jemaat GKI) berpendapat bahwa falsafah Dalihan Na Tolu sejalan
dengan Alkitab maka bisa diterapkan oleh orang Batak. Namun dalam
pelaksanaannya harus selektif, disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat. Simbolon lebih menekankan pada masalah pelaksanaan upacara adat
yang sering dilaksanakan dengan berlebihan, terkesan memaksakan diri karena
faktor harga diri dan kehormatan.
9.
Rishon
Tua Siallagan berpendapat
bahwa penerapan falsafah Dalihan Na
Tolu harus disesuaikan dengan konteks kekinian. Adat budaya itu bersifat
dinamis, selalu ada perubahan sesuai dengan zamannya. Sebagai contoh, ulos
yang diberikan oleh Hula-hula kepada Boru yang tidak terlalu
dekat hubungan kekerabatannya dapat diganti dengan uang. Yang penting alasan
dan tujuannya jelas. Siallagan menekankan penerapan nilai-nilai dari falsafah itu yang harus tetap dipegang orang
Batak, sedangkan dalam hal upacara adat dapat dilakukan dengan fleksibel sesuai
dengan kondisi dan kepentingan masing-masing. Contohnya, Siallagan tidak
pernah mengadakan adat mangompoi jabu,
yaitu mengundang Hula-hula untuk mendoakan
rumah baru karena baginya itu tidak terlalu penting. Hula-hula memang
alat untuk meminta berkat dari Allah, namun doa bisa dilakukan oleh siapa saja,
tidak harus oleh Hula-hula.
10.
Yetty
br. Sigiro (jemaat Gereja Katholik Kotabaru) berpendapat bahwa orang Batak seharusnya
menyeleksi adat yang
cocok untuk tetap
diterapkan pada masa sekarang. Falsafah Dalihan Na Tolu
menurutnya hanya cocok untuk diterapkan dalam upacara adat. Sedangkan untuk
kehidupan sehari-hari, tidak bisa diterapkan sepenuhnya karena akan membuat
orang Batak tidak dapat menempatkan diri secara proporsional, dalam berbagai
hal.
*Tulisan ini adalah bagian dari Thesis untuk
menyelesaikan Program Studi Magister Theologi STT Nazarene Indonesia di Yogyakarta,
September 2011.
[i] Sagala Mangapul, Injil dan Adat Batak,
Yayasan Bina Dunia, Jakarta, Cet. 2, 2008, h. 18.
[ii] Panggabean H. P., Pembinaan Nilai-nilai
Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu, h. 138.
[iii] Sagala, Injil dan Adat Batak, h. 51.
[iv] Panggabean, Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na
Tolu, hlm. 59.
[v] Ibid, hlm. 79.
[vi] Pendapat Duaman Panjaitan dalam tulisannya di Google Blog berjudul:
Dalihan Na Tolu dan Kekafiran.
[vii] Panggabean, Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na
Tolu), h. 103.
[viii] Rheinhard Sinaga dalam artikel berjudul Siapakah Debata (Dewata)
Itu?
[ix] Barclay Oliver R., Akal Budi Kristiani:
Bukan Hanya Soal Intelek, Penerbit Gandum Mas, Malang, Cet. 1, 1993, h.
228.
[x] Sagala, Injil dan Adat Batak, h. 58.
[xi] Barclay Oliver, Akal Budi Kristiani, h. 231.
[xii] Tomatala Y., Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar),
Penerbit Gandum Mas, Malang, Cet. 1, 1993, h. 79.
[xiii] Sagala, Injil dan Adat Batak, h. 60.
[xiv] Panggabean, Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na
Tolu, h. 82.
[xv] Ibid.
[xvi] Schreiner Lothar, Adat dan Injil,
Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, Cet. 6, 2002, h. 62.
[xvii] Pdt. Johannes Warneck adalah Ephorus HKBP yang ditahbiskan pada
tahun 1920 (Sumber: Almanak HKBP 2011, h. 457).
[xviii] Schreiner Lothar, Adat dan Injil,
Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, Cet. 6, 2002, h. 61.
[xix] Ibid.
[xx] Ludwig Ingwer Nommensen (Jerman) adalah pekabar Injil pertama yang
berhasil mempertobatkan orang Batak pada tahun 1834, setelah sebelumnya
pekabar-pekabar Injil dari Inggris dan Amerika gagal dalam pekabaran Injil
sejak tahun 1824. Nommensen ditahbiskan sebagai Ephorus HKBP (Pimpinan
tertinggi Gereja) yang pertama pada tahun 188. (Sumber: Harta Dalam Bejana,
h. 271-274 dan Almanak HKBP
2011, h. 456).
Nommensen sendiri menerima gelar Ompui yang diberikan
kepadanya dan dianggap sebagai raja oleh orang Batak karena sudah membuktikan
sanggup membangun sebuah kampung Huta Dame yang mandiri. (Sumber: Lumbantobing
Andar M., Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, h. 73).
[xxi] End Th. van den, Harta Dalam Bejana:
Sejarah Gereja Ringkas, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 21, 2009, h. 273.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar