Prinsip Komunikasi Kristiani
Oleh: Niken Nababan
Oleh: Niken Nababan
Komunikasi kristiani adalah elemen yang
sangat fundamental dari kekristenan. Sejak awal penciptaan dunia ini, manusia
tidak dimaksudkan untuk hidup sendiri. Orang Kristen harus hidup di dalam
komunitasnya, yaitu gereja. “Demikianlah
kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari
orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah,.. “ (Efesus 2:19).
Sejak menerima Kristus sebagai Juruselamat maka setiap orang Kristen menjadi
bagian dari keluarga Allah, yang juga digambarkan Paulus sebagai bagian dari
tubuh Kristus yang saling membutuhkan satu sama lain. “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah
anggotanya.” (1 Korintus 12:27).
Selain bersekutu kita juga ditugaskan untuk mengerjakan Amanat Agung
Tuhan Yesus, yaitu mengajar, menjadi saksi Kristus, dan menjadikan murid. Maka
komunikasi menjadi sangat vital dalam persekutuan Kristiani bagaikan urat nadi
dalam tubuh manusia, sebagaimana ungkapan Jonathan L. Parapak[1]
dalam buku Kepemimpinan Kristiani (STT
Jakarta 2003).
Alkitab penuh dengan contoh-contoh
komunikasi. Pesan Allah kepada Adam dan Hawa sangat jelas dan tegas,
komunikasinya langsung dan mudah dipahami. Semua persoalan komunikasi berakar
di Taman Eden. Allah memilih hubungan yang sangat intim dengan manusia, yang Ia
ciptakan sebagai makhluk yang dapat berkomunikasi. Adam berkomunikasi secara
pribadi dengan menggunakan bahasa. Kemudian Iblis mengupayakan tipu daya untuk
memunculkan keraguan akan firman Allah kepada Hawa hingga akhirnya menjatuhkan
manusia. Maka komunikasi dengan Allah dan sesamanya menjadi retak.
Bagi seorang Kristen, kualitas komunikasi dengan Tuhan
berperan penting dalam komunikasinya dengan sesama. Semakin dalam komunikasinya
dengan Tuhan, semakin ia memahami apa yang Tuhan ingin ia perbuat terhadap
diri, sesama, dan lingkungannya. Bila komunikasi dengan Sang Pencipta tidak
berjalan lancar dan baik, komunikasi dengan sesama menjadi tidak efektif karena
ia tidak bisa memahami sesamanya. Banyak masalah terjadi yang disebabkan oleh kegagalan seseorang
dalam berkomunikasi. Kunci keberhasilan seseorang dalam berkomunikasi adalah kejernihan
pikiran dan kejelasan akan apa yang hendak disampaikan, bukan sekadar
kalimat-kalimat indah yang tak jelas maknanya.
Kita akan mempelajari komunikasi yang dilakukan Tuhan
Yesus dalam perjalanan-Nya untuk menyelesaikan misi Allah. Yesus
adalah komunikator yang agung. Ia memahami keadaan manusia (Yohanes 2:25). Ia,
tahu setiap orang adalah berdosa dan membutuhkan Juruselamat (Lukas 5:30-32).
Yesus berjalan bersama dengan orang- orang berdosa, berbicara dengan mereka,
dan ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Ia mendatangi orang-orang itu di
pinggir jalan, di ladang, di pesta pernikahan. Ia betul-betul mengenal
audience-Nya.
Kedatangan Yesus ke dalam dunia merupakan metode
Allah untuk berkomunikasi dengan manusia. Allah mempunyai berita, pesan, firman
yang harus disampaikan kepada manusia. Tetapi Ia juga tidak mengabaikan metode
penyampaiannya. Cara Tuhan menyampaikan firman kepada manusia pun beraneka
ragam. Kepada Adam dan Hawa, Allah menyampaikan perintah-Nya dengan suara yang
jelas. Kepada Raja Daud, Allah menegur melalui Nabi Natan dengan sindiran yang
tegas dan keras. Kepada orang banyak, Yesus banyak menyampaikan
perumpamaan-perumpamaan. Saat berkhotbah di bukit, Yesus
menggunakan bahasa yang sederhana. Namun ketika berbicara dengan Nikodemus,
seseorang yang terpelajar, Ia menggunakan bahasa yang filosofis. Dan itu baru sebagian dari cara Tuhan kita
berkomunikasi.
Tetapi di balik semua metode yang kreatif itu,
Yesus memulai dari pengenalan dan pemahaman mengenai manusia yang dihadapi-Nya.
Berita yang disampaikan-Nya selalu berorientasi kepada kebutuhan audience-Nya.
Perhatikanlah bagaimana Ia mendekati perempuan Samaria sebagaimana yang
dikisahkan dalam kitab Injil Yohanes pasal 4. Yesus tidak mulai dengan
"message" atau berita atau firman yang hidup itu. Memang Kabar Baik
itulah yang menjadi kebutuhan utama wanita Samaria tersebut. Itu juga yang
menjadi kebutuhan yang sebenarnya (real
need) dari manusia. Tetapi dalam pendekatan-Nya, Yesus mulai dengan apa
yang dirasakan (felt need) perempuan
Samaria itu. "Berilah Aku minum" adalah kata-kata pembukaan Yesus ketika
Ia mendekati perempuan Samaria itu pada waktu terik matahari di pinggir sumur
Yakub. Kalimat itu tidak sekadar menyatakan bahwa Yesus membutuhkan air minum,
tetapi kata-kata itu bisa juga berarti "Aku mau bersahabat denganmu".
Ungkapan ini sungguh menggetarkan hati perempuan Samaria itu. Sebab baginya
tidak mungkin seorang Yahudi mengungkapkan kata-kata seperti yang Yesus ucapkan
kepada seorang Samaria.
Pendekatan Yesus kepada perempuan Samaria langsung
menyentuh kebutuhannya. Rupanya wanita Samaria itu merasa tertolak oleh kaum
Yahudi yang, sebagaimana kebanyakan kita, tidak senang dengan sikap penolakan
oleh orang lain. Manusia membutuhkan penerimaan dan pengakuan orang lain. Ia
akan merasa tidak aman kalau ditolak. Nah, Yesus mengetahui keadaan ini. Karena
itu, Ia mulai dengan suatu sikap bersahabat, "Berilah Aku minum."
Komunikasi dikatakan sukses bila pihak lain (dalam
hal ini pendengar atau audience, ada juga yang mengistilahkannya dengan
komunikan), mengerti maksud kita sebagai pembawa pesan (komunikator) dan
bertindak sesuai dengan keinginan kita terhadapnya. Namun untuk sampai kepada
taraf itu, kita harus mulai memahami kebutuhan audience.
[1] Ir. Jonathan Parapak, M. Eng., adalah seorang pakar
telekomunikasi nasional yang aktif melayani sejumlah komunitas Kristen di
Indonesia. Chairman Across Asia Multimedia, dan Ketua Dewan Penyantun STT
Jakarta.