FALSAFAH DALIHAN
NA TOLU DALAM MASYARAKAT BATAK
Oleh: Niken Nababan
Oleh: Niken Nababan
Suku Batak
merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang terdiri dari enam suku
cabang,
yaitu Toba, Simalungun,
Karo, Pakpak, Dairi, Mandailing, dan Angkola. Sebagian orang
Batak menganut agama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi ada pula
yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan Parmalim)
dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut
Pelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran
ini sudah semakin berkurang. Arti kata “batak” belum dapat
dijelaskan secara pasti. Menurut J.
Warneck, batak berarti ‘penunggang kuda yang lincah’, tetapi menurut
H. N. van der
Tuuk, batak berarti
‘kafir’, sedangkan yang lain mengartikannya
‘budak-budak yang bercap atau ditandai’.[i] Sedangkan menurut Kamus Batak Indonesia yang
ditulis oleh J. P. Sarumpaet, ”batak” berarti kukuh atau mantap.
Dalam masyarakat
Batak adat merupakan persatu-paduan kebudayaan kerohanian dan kemasyarakatan
yang meliputi kehidupan, keagamaan, hukum, kemasyarakatan atau kekerabatan,
bahasa, seni, tehnologi, dan sebagainya.[ii]
Orang Batak percaya bahwa adat
yang diturunkan oleh nenek-moyang
itu diilhami oleh Debata Mulajadi
Nabolon[iii].
Menurut mitologi suku Batak, Debata Mulajadi Nabolon adalah ilah
yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah
awal dari semua yang ada.[iv] Dia dipercaya sebagai Allah Yang Mahatinggi, yang menjadikan
langit, bumi dan
segala isinya, yang secara terus-menerus memelihara hidup ini.
Dengan demikian
sejak zaman berhala sesungguhnya orang Batak sudah mempercayai adanya Tuhan,
dilihat dari perumpamaan yang mengatakan:
Disi si
rungguk, disi sitata.
Disi hita
juguk, disi do Namartua Debata.
(di mana ada
rumput, di sana ada pisang;
di mana kita
duduk, di sana ada Tuhan)
Perumpamaan ini
menandakan bahwa orang Batak sudah mengenal Tuhan yang hadir di
mana-mana.[v] Tuhan yang
dipanggil dengan Debata
Mulajadi Nabolon menciptakan Debata Natolu melalui telur-telur raksasa burung Patiaraja atau disebut juga Hulambujati. Debata
Natolu adalah tiga dewa yang bernama Batara Guru, Soripada (Sori) dan Mangala Bulan
(Bala Bulan) yang masing-masing mempuyai kekuasaan dan tugas yang berbeda-beda.
Kepada Debata Natolu diberikan oleh Debata
Mulajadi Nabolon wewenang sebagai
penguasa kosmos: Benua Bawah, Benua Tengah dan Benua Atas.[vi]
Keyakinan itu
juga terlihat pada ungkapan doa pemujaan martonggo (memanggil sang
ilah):
“Daompung,
Debata na tolu, na tolu suhu, na tolu harajaon sian langit na pitu tindi,
sian ombun na
pitu lapis”. (Ompung[vii]
kami, Dewa Tritunggal,
yang berfungsi tiga, yang menguasai tiga wilayah kerajaan yang terdapat di
langit yang tujuh tingkat dan di atas awan-awan yang terdiri dari tujuh lapis).
Ketiga dewa itu
kemudian menikah dan melahirkan banyak keturunan. Dari Bataraguru, lahir anak
perempuan bernama Boru Deak-Parujar. Dari salah satu dewa yang lain, lahir anak
laki-laki bernama Raja Odap-odap. Boru Deak-Parujar menikah dengan Raja
Odap-odap dan pada generasi keenam lahirlah Raja Batak yang diakui sebagai
nenek moyang suku Batak.
Satu identitas khusus yang
meliputi seluruh orang Batak ̶ yang tak dipunyai oleh suku lain di Indonesia ̶ ialah
pembagian masyarakat atas tiga golongan fungsional, yang disebut dengan istilah
Dalihan Na Tolu.[viii]
Tiga golongan fungsional tersebut adalah: hula-hula,
dongan sabutuha dan boru.[ix] Hula-hula,
dongan sabutuha dan boru
mewakili (represent) dunia
bawah, tengah dan atas. Ketiganya bersama-sama membentuk sebuah komunitas
masyarakat (microcosmic).[x]
Sistem sosial Dalihan Na Tolu juga merupakan refleksi dari Debata Na
Tolu. Batara Guru, penguasa benua
bawah, diwakili hula-hula, memakai simbol ulos. Soripada,
penguasa Benua Tengah, diwakili dongan sabutuha, memakai simbol pustaha,
berisi aturan-aturan yang mengatur tata-tertib dan kerjasama keseluruhan
kosmos. Balabulan, penguasa Benua Atas, diwakili oleh boru,
memakai simbol piso[xi].
Masing-masing unsur tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda, namun saling
melengkapi satu sama lain.
Pengertian
Dalihan Na Tolu secara literal adalah satuan tungku tempat memasak yang
terdiri dari tiga batu. Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas
tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah Dalihan Na Tolu dimaknakan
sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital
karena digunakan untuk memasak makanan dan minuman
yang terkait dengan kebutuhan
untuk hidup keluarga. Dalam prakteknya,
kalau memasak di atas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ada ketimpangan
karena bentuk batu ataupun bentuk periuk yang ukurannya tidak sama persis. Maka
digunakanlah benda lain untuk mengganjal agar posisinya dapat sejajar. Dalam
bahasa Batak, benda itu disebut sihal-sihal. Maka kemudian muncul
istilah falsafah dalihan na tolu paopat sihal-sihal.
Dalihan Na Tolu
diuraikan dalam tiga tatanan adat: Somba marhula-hula, manat
mardongan tubu, elek marboru. Itulah tatanan adat Batak yang cukup
adil dan menjadi pedoman dalam
kehidupan sosial sejak lahir sampai meninggal dunia. Ketiga-tiganya saling berhubungan menurut
pola tertentu, sehingga menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Setiap
orang Batak akan menduduki semua posisi
dalam konteksnya masing-masing. Ada saatnya menjadi hula-hula, di saat lain bisa
menjadi boru atau dongan tubu. Semua posisi
ini memiliki kewajiban dan hak masing-masing yang harus dijalankan dengan
senang hati, bahkan sebelum diminta.
Somba
marhula-hula
Hula-hula
adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu (marga dari pihak
perempuan). Yang termasuk dalam golongan hula-hula:
1.
Simatua, yakni mertua (orang tua istri) beserta
abang dan adiknya, serta saudara-saudaranya semarga.
2.
Tulang atau Simatua ni Ama, yakni mertua
ayah beserta saudara-saudaranya semarga.
3.
Bona Tulang atau Simatua ni Ompung, yakni
mertua dari Ompung beserta saudara-saudaranya semarga.
4.
Bona ni ari[xii],
yakni mertua dari ayah ompung beserta saudara-saudaranya semarga. Bona ni ari merupakan lapisan hula-hula tingkat
teratas.
5.
Hula-hula pangalapan
boru, yakni mertua
dari putra-putri seseorang, yang telah berumah tangga beserta
saudara-saudaranya semarga.
Pihak hula-hula
menempati kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Batak. Penghormatan
tersebut harus selalu
ditunjukkan dalam sikap,
perkataan dan perbuatan. Orang Batak harus somba mar hula-hula, yang
berarti harus bersikap hormat, tunduk serta patuh terhadap hula-hula. Keputusan hula-hula dalam musyawarah adat, sulit ditentang. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan
adalah pihak lelaki. Pihak perempuan
pantas dihormati karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi
keturunan kepada suatu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada
tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung (kakek) dan seterusnya.
Hula-hula
diibaratkan sebagai sumber air kehidupan, karena dianggap merupakan pangalapan
pasu-pasu dohot pangalapan tua, yakni merupakan sumber berkat dan
kebahagiaan, terutama berkat berupa keturunan putra dan putri.[xiii]
Pihak boru tidak akan berani melawan hula-hulanya karena diyakini
perbuatan itu akan dikutuk oleh sahala hula-hula, sehingga dia tidak
akan memperoleh keturunan, sengsara, jatuh sakit, panen gagal, kemalangan dan sebagainya.[xiv]
Sahala
adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.[xv] Sahala
mencakup kewibawaan, kekayaan harta benda dan turunan, keberanian, kegagahan, kecerdasan,
kecerdikan, kemahiran bicara, keluhuran budi, rasa keadilan, kesaktian dalam
ilmu gaib, pengetahuan yang luas, dan lain sebagainya.[xvi] Sahala is the quality, natural
disposition as well as the destiny of man.[xvii]
Boru memandang hula-hula sebagai orang yang dikaruniai dengan sahala.
Sahala ini dapat memencarkan pengaruh yang berfaedah dan menyelamatkan bagi
boru, tetapi dalam pada itu, kekuasaannya menciptakan rasa takut dan
hormat kepadanya.[xviii]
Sekelompok kecil warga Batak masih menerapkan
ajaran Dalihan Na Tolu bersifat
spiritisme, yaitu kepercayaan akan adanya kuasa arwah (roh) nenek moyang,
karena adanya sahala tersebut.
Kualitas
hasangapon (kedudukan terhormat)
suatu keluarga tidak lepas dari penerapan ajaran Dalihan Na Tolu,
yaitu suatu proses adat melalui upaya mendapatkan doa berkat dari hula-hula.
Doa berkat itu umumnya diyakini suku Batak memberikan berkat hamoraon (kekayaan)
dan hagabeon (keturunan), suatu
keyakinan yang sulit dijelaskan tetapi nyata dalam kehidupan setiap warga
Batak, di mana saja, kapan saja dan kepada siapa saja yang menerapkan ajaran
adat Dalihan Na Tolu.[xix] T. M. Sihombing[xx]
menulis: Molo naeng ho gabe, somba/hormat ma ho marhula-hula.[xxi] Artinya:
“Kalau kamu mau mendapat keturunan, hormatlah kepada Hula-hula”.
Terdapat
juga umpasa (ungkapan): Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong
na. Gadong dalam masyarakat Batak adalah ubi yang dianggap sebagai salah satu makanan pokok pengganti
nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).
Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya
hambar, seakan-akan busuk dan isinya
berair. Pernyataan itu mengandung makna:
“Pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari
nafkah”.
Di
dalam satu wilayah, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru
yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah
apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan
diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula.
Apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran,
semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu terdapat
sikap-sikap yang tidak
menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna
dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu,
diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila
ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula-hula.
Manat mar Dongan
Tubu
Dongan
tubu (dongan sabutuha)[xxii] adalah
saudara semarga atau sekelompok
masyarakat dalam satu rumpun marga, yaitu orang-orang seketurunan menurut garis bapak; para turunan
laki-laki dari satu leluhur. Rumpun
marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya
diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri
menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat, mereka
menyatukan diri. Misalnya, Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat,
Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga
Sihombing, terdiri dari Silaban, Lumbantoruan, Nababan dan Hutasoit.
Gambaran
dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam
kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang,
bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Itulah sebabnya orang Batak
diperintahkan untuk manat mardongan tubu, yang artinya: menaruh hormat
dan bersikap hati-hati kepada saudara semarga agar tidak menyakiti hatinya.
Untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian), orang Batak selalu
membicarakannya terlebih dahulu dengan
saudara semarga. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat.
Apabila
dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman
semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan sampai pada
perkelahian. Masalah warisan juga sering menjadi penyebab pertikaian di
kalangan na mardongan tubu. Hal itu dapat dipahami, karena suatu
keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Karena dekatnya hubungan na mardongan
tubu, dapat selalu memanggil nama,
khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho” (kau),
“ampara” (saudara), “amani aha”
(bapa si …), dan lain-lain,
panggilan yang sangat akrab. Namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang
menimbulkan pertikaian atau perkelahian.
Sebuah nasihat
untuk mengingatkan orang
Batak: Molo naeng ho sangap manat ma ho mardongan sabutuha.[xxiii]
Maksudnya adalah: “Jika kamu ingin
dihormati maka bersikap hormatlah kepada saudara semarga”.
Atau dengan kata lain, “berikanlah hormat kepada orang yang menghormatimu”. Sebutlah “amang” (bapa) kepada saudara
semarga yang setingkat dengan ayah; “hahang” (abang) kepada saudara yang
lebih tua; “anggia” (adik) kepada saudara yang lebih muda. Jangan meninggikan
diri kepada saudara semarga meskipun lebih kaya atau memiliki pangkat lebih
tinggi. Jika nasihat ini diikuti maka
dengan sendirinya akan mendapatkan kehormatan di antara saudara semarga, bahkan
kehormatan di tengah-tengah masyarakat.
Elek Marboru
Yang termasuk Boru
adalah:
1.
Anak perempuan.
2.
Saudara perempuan dari laki-laki.
3.
Kelompok Marga dari menantu laki-laki (hela).
Elek marboru
adalah suatu sikap lemah lembut terhadap pihak “boru” agar dengan cara itu
mereka mampu secara ikhlas mendukung pelaksanaan acara adat.[xxiv]
Sebuah nasihat Batak berbunyi demikian: Molo naeng ho mamora elek ma ho
marboru. Artinya: “Jika kamu ingin memperoleh kekayaan, bersikap lembutlah
kepada boru”. Bersikap lembut ini memiliki arti luas yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Tidak boleh memperlakukan boru dengan sikap yang
tidak pantas.
2.
Tidak boleh menyuruh atau memerintah boru dengan
paksa di segala waktu dan segala hal.
3.
Tidak boleh membentak-bentak boru.
4.
Tidak boleh menolak keinginan boru. Jika
terpaksa harus menolak karena tidak tersedia apa yang diharapkan boru,
maka tidak boleh memarahinya tapi harus
menyampaikan dengan kata-kata
yang halus.
5.
Harus lemah-lembut dalam berkata-kata dan bersikap
santun saat menyuruh atau mengharapkan sesuatu dari boru.
6.
Harus bersikap baik dan menyapa dengan halus setiap
saat.
Konsep hamoraon dalam kultur Batak cenderung
bersifat materialistik. Ajaran adat Dalihan Na Tolu dapat berjalan
efektif, jika pelaksanaannya berorientasi pada ajaran hidup kekerabatan Batak
yang bersifat “family atmosphere”, artinya kekayaan materi itu tidak bersifat
individualistis dan selalu dikaitkan dengan kepentingan keluarga dekat.[xxv] Jika
orang Batak (hula-hula) bersikap lemah-lembut dan santun kepada borunya,
pasti boru berserta suami dan keluarganya akan
selalu mengasihi, mencari,
dan tidak akan tega melihat kerepotan Hula-hula. Mendapatkan kasih sayang dan pelayanan dari boru
itulah yang dimaksud dengan kekayaan (hamoraon) yang sesungguhnya.
INTI AJARAN ADAT DALIHAN
NA TOLU
No
|
Sikap Batin
|
Wujud
|
Sasaran
|
1.
|
Saling Menghormati (Marsihormatan)
|
Somba marhula-hula
|
Banyak Keturunan (Hagabeon)
|
2.
|
Saling Menghargai (Marsipangasapon)
|
Manat mardongan tubu
|
Kehormatan (Hasangapon)
|
3.
|
Saling Menolong (Marsiurupan)
|
Elek marboru
|
Kekayaan (Hamoraon)
|
*Tulisan ini adalah bagian dari Thesis yang ditulis untuk menyelesaikan Program Pasca Sarjana Magister Theologi STT Nazarene Indonesia Yogyakarta.
[i] Lumbantobing Andar M., Makna Wibawa Jabatan dalam
Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 2, 1996, h. 1.
[ii]
Marbun, M. A., Kamus Budaya Batak Toba, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, h.
13.
[iii] Lihat
catatan kaki BAB I halaman 9.
[iv] Lumbantobing Andar M., Makna Wibawa Jabatan dalam
Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 2, 1996, h. 7.
[v]
Yewangoe A. A., Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia: Buku Penghormatan
70 tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, h. 197.
[vi] Marbun, M. A., Kamus Budaya Batak Toba, Balai
Pustaka, Jakarta, 1987, h. 39.
[vii] Ompung
berarti kakek atau nenek. Tapi dalam konteks kalimat ini adalah merupakan
panggilan kepada orang yang sangat dihormati atau ditinggikan di antara
keluarga, atau kelompok marga atau seluruh orang Batak.
[viii] Marbun, M. A., Kamus Budaya Batak Toba, Balai
Pustaka, Jakarta, 1987, h. 28.
[ix]
Tobing O. L., Ph., The Structure of The
Toba-Batak Belief in The High God, South
and South-East Celebes Institute For Culture, Jakarta, Cet. 3, 1994, p.
148.
[x]
Ibid, p. 150.
[xi] Piso
adalah sebuah benda tajam yang ujungnya runcing, terbuat dari logam. Piso
melambangkan setiap pembicaraan pihak Boru kepada pihak Hula-hula
sesuai dengan bunyi cerita mitos yang mendasari filsafat tritunggal dalam
kebudayaan Batak. (Kamus Budaya Batak karya H. Marbun halaman
141).
Pisopiso
adalah uang yang diberikan oleh Boru dan Hela (suami dari Boru) kepada Hula-hula
setelah mereka menerima ulos pada pesta adat perkawinan. (Kamus Batak
Indonesia karya J. P. Sarumpaet halaman 216).
[xii] Bona
ni ari = asal atau sumber matahari kehidupan.
[xiii]
Dalam peribahasa disebut: hula-hula, mata ni mual si partio-tioon, mata ni
ari so suharon. Artinya Hula-hula adalah sumber air yang harus selalu
dipelihara supaya tetap jernih, dan matahari yang tak boleh ditentang. (Sumber:
Kamus Budaya Batak karya M. A. Marbun)
[xiv]
Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, h. 22.
[xv] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, Cet. 10, 1985, h. 114.
[xvi]
Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, h. 21.
[xvii]
Tobing O. L., Ph., The Structure of The
Toba-Batak Belief in The High God, p. 101.
[xviii]Vergouwen J. C., Masyarakat dan Hukum Adat Batak
Toba, Pustaka Azet, Jakarta, Cet. 1,
1985, h. 62.
[xix] Panggabean H. P., Pembinaan Nilai-nilai Adat
Budaya Batak Dalihan Na Tolu (Himpunan Karya Tulis), Penerbit Dian Utama,
Jakarta, 2007, h. 18.
[xx]
T. M. Sihombing adalah mantan Inspektur
Bahasa Batak Toba Sumatera Utara.
[xxi]
Sihombing T. M., Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat, C. V. Tulus Jaya,
1989, h. 276.
[xxii]
Dongan Tubu = Saudara semarga yang bukan kandung; Dongan Sabutuha
= Saudara semarga kandung.
[xxiii]
Sihombing T. M., Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat, h. 275.
[xxiv] Panggabean H. P., Pembinaan Nilai-nilai Adat
Budaya Batak Dalihan Na Tolu (Himpunan Karya Tulis), Penerbit Dian Utama,
Jakarta, 2007, h. 139.
[xxv] Ibid, h. 48.